Bahwa Mimpi Harus Diwujudkan

Ulasan Alaya | #03

Dhani Pratiknyo
Pembaca, tinggal di Jakarta

Saya selalu percaya, apa yang ditulis dari hati, akan sampai pula ke hati pembacanya. Dan inilah yang saya rasakan setelah tuntas membaca ‘Alaya, Cerita Dari Negeri Atap Dunia’, karya Daniel Mahendra. Di 403 halamannya, saya menikmati runut kisahnya.

Berawal dari membaca Tintin saat masih kanak kanak, penulis punya impian tentang sebuah negeri yang ingin dikunjunginya, Tibet. Tapi hanya sebatas mimpi, sampai berbilang tahun setelahnya.

Ketika seorang sahabatnya, mengingatkan Daniel tentang mimpinya, ada yang mulai berubah dari sekadar mimpi, menjadi tekad dan keinginan kuat. Lantas apakah itu akan menjadikan segalanya mudah? Tidak sama sekali. Penulis bahkan harus “jatuh bangun”, mulai dari mencari biaya, menentukan tanggal keberangkatan sampai itinerary yang paling masuk akal, ditinjau dari banyak sisi, bil khusus sisi biaya.

Lantas setelah akhirnya penulis sampai di Tibet, purna melakukan perjalanan kereta api menuju tempat tertinggi di dunia, apakah segalanya sesuai ekspektasinya? Juga apakah Nepal yang kemudian dikunjungi setelahnya, berhasil memikat hatinya?

Salah satu yang menarik dari buku ini, bagi saya, adalah kemampuan penulis melibatkan pembacanya, dengan tulisan yang sarat emosi. Jangan bayangkan tulisannya adalah kisah traveling yang pepat itinerary, melainkan akan kau temui penggal-penggal kisah manis tentang orang orang yang ditemuinya di perjalanan.Tentang Juan, tentang Narayan, tentang seorang bapak tua pemilik sebuah warung kecil di terminal Pokhara, Nepal, juga tentang Jeane, gadis Perancis yang sempat menambat hati penulis.

Banyak renungan-renungan yang dibagikan sepanjang halaman. Tentang bahagia, tentang pulang, tentang perjalanan. Juga ada kisah-kisah menyentuh yang dibagi buat anaknya Sekala (sekilas mirip dengan yang dilakukan Agustinus Wibowo di Titik Nol, tapi dengan perspektif yang berbeda).

Dan demi apa, saya bahkan googling tentang banyak hal yang diceritakan di buku ini.

Kalau pun ada yang saya sesali, tak ada di buku ini, adalah foto sebagai penunjang sebuah kisah traveling. Bukan, saya tak hendak bilang perjalanan ini jadi “kurang kuat”, tapi saya kok merasa penulis “agak pelit” berbagi kisahnya lewat kamera.

Apa pun, buku ini adalah buku yang layak baca. Sebagai pengingat bahwa mimpi harus diwujudkan. Juga sebagai rujukan, setiap dari kita harus punya Alaya, tempat di mana setiap sudutnya, betapa carut marutnya, tetap bikin kangen untuk pulang…

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di Facebook penulis [29 Oktober 2018].