Cerita Perjalanan dan Pedoman Mewujudkan Mimpi

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #56

Sudury Septa Mardiah
Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Pasundan, Bandung

Judul: Perjalanan ke Atap Dunia
Penulis: Daniel Mahendra
Penerbit: Medium
Tahun Terbit: Mei 2012
Halaman: 354 halaman

Atap dunia memang sebuah kata yang cocok untuk menggambarkan Tibet yang memang memiliki ketinggian lebih tinggi dari negara lain. Kotanya saja kira-kira ada di ketinggian 2000 mdpl sehingga tak aneh bila pegunungan Himalaya dan Everest diselimuti salju. Sesunggunya buku berjudul Perjalanan ke Atap Dunia ini hanya berawal dari 28 cerita perjalanan yang dimuat dalam blog penganyamkata ditulis dari Mei hingga September 2011.

Pada awalnya tak terbersit sama sekali dalam benak Daniel Mahendra atau akrab disapa DM bahwa catatan perjalanan yang telah ia tulis akan menjadi sebuah buku meskipun sebenarnya memang diniatkan untuk menjadi materi dalam membuat novel. Kemudian setelah menimbang-nimbang, perjalanan ke berbagai kota yang ia lalui saat itu mungkin dapat dibagi, sehingga akhirnya terbitlah buku yang diberi judul Perjalanan Ke Atap Dunia pada Mei 2012 lalu.

Gol A Gong, penulis serial novel Balada Si Roy yang juga berbau perjalanan memberikan sambutan hangat dalam buku tersebut. Dalam tulisannya di buku tersebut, Gol A Gong mengatakan bahwa ketika membaca naskah buku tersebut ia tenggelam dan merasakan menjadi bagian dari paragraf-paragrafnya.

“Saya merasakan tersedot ke detail-detail yang ditulis Daniel, mengalir deras menantang untuk diarungi…….. saya merasakan menjadi traveler bersama Daniel! Saya bisa seorang Tan, Chen, atau Juan Carlos!” (hal 10-11)

Bahkan ia pun merasa adrenalin di tubuhnya mendidih ketika Daniel yang baru saja ke Tibet sudah menulis buku. Ia pun sudah tidak sabar untuk segera pergi menyandang ransel menuju ke Tibet dan menulis buku juga.

Buku ini tak hanya mengisahkan perjalanannya saja seperti yang terpampang dalam judul, namun lebih dalam lagi ketika Daniel dapat memaknai setiap perjalanan yang dilalui dan menjawab sebuah pertanyaan yang sempat membuatnya atau mungkin para traveler lain bingung untuk menjawabnya.

“Apa yang kamu cari, Daniel?”

Pada bagian awal, ada sepenggal kisah dalam buku ini yang mirip dengan cerita Arlene Blum dalam bukunya yang berjudul Annapurna. Biaya yang diperlukan untuk transportasi, logistik dll ke Gunung Everest tidaklah kecil, padahal kondisinya Arlene bersama timnya yang seluruhnya perempuan memiliki dana yang kurang dari yang diperlukan. Sehingga mencari dana dengan menjual baju yang bertuliskan The Woman Place Is On Top Annapurna.

Begitu pula dengan Daniel dalam persiapannya untuk berangkat menuju Tibet. Dapat dikatakan modal awal untuk berangkat dari Rp. 0. Namun ia memiliki kepercayaan bahwa ketika ia inggin mengejar mimpinya, maka semesta akan bahu membahu untuk mewujudkannya melalui cara yang tak diduga.  Hingga akhirnya ia berhasil berangkat ke Tibet berkat dukungan temannya Ijul yang sayangnya gagal untuk traveling bersamanya.

Buku ini dibuka dengan bab pertama yang diberi nama Sangga. Dalam penuturan penulisannya pembaca seolah diajak berdialog aktif bersama Daniel. Kata-kata Ibn Baittuta cukup menarik inti cerita dalam bab tersebut “Traveling, all you have to do is take a first step.”.

Mimpinya untuk traveling ke Tibet berawal dari buku yang ia baca saat kecil yaitu buku TinTin di Tibet. Keinginannya semakin melekat ketika ia menonton film Seven Years In Tibet. Daniel telah beberapa kali menulis dalam blognya mengenai keinginannya untuk pergi ke Tibet, namun tak pernah menentukan kapan akan pergi. Sehingga ia berpikir bahwa keinginannya mengunjungi Tibet ternyata hanya angan. Daniel bahkan menganggap dirinya seperti anak kecil yang memiliki cita-cita, namun ketika tiba di alam dewasa, berhadapan dengan kenyataan hidup, lantas tak kunjung berusaha mewujudkannya. (hal 23)

Sebenarnya buku ini dapat dilihat dari sudut pandang lain, tidak hanya dari sisi perjalanannya saja. Buku ini dapat menyadarkan pembacanya dan memotivasi mengingat bahwa mimpi ada untuk diwujudkan bukan untuk menjadi sebuah angan-angan. Dan semuanya dimulai dari sebuah langkah dan keyakinan. Selain itu dalam setiap perjalanan yang dilakukan terdapat berbagai goal yang tersembunyi. Salah satunya seperti kisah Daniel yang akhirnya berhenti merokok setelah keberaniannya mengambil keputusan yang didorong oleh Juan, kawan seperjalanannya.

Membaca buku ini akan membuat pembacanya menikmati juga perjalanan di Tibet, Nepal, dan Cina karena gaya penulisannya ditulis dengan teknik menulis fiksi. Buku ini pun dapat dinikmati oleh berbagai usia terutama remaja. Dengan cerdiknya Daniel menyelipkan sebuah cerita cinta lokasi dengan gadis asal Prancis bernama Jeanette Marie Claude yang bertemu pada senja di tepi Danau Phewa.

Sayangnya kisah itu berhenti ketika Jean harus meneruskan perjalanannya ke India. Ketika akan berpisah, Jean masih berusaha untuk mengajak Daniel ke India bersamanya namun tak berhasil. Daniel memberikan sebuah kecupan saat bis yang akan membawa Jean pergi telah berada di depan mata.

Sejatinya buku ini memberikan gambaran melalui cerita Daniel yang memperlihatkan realita bagaimana seorang pemimpi mewujudkan mimpi-mimpinya. Kita tidak hanya menikmati destinasi wisata yang digambarkan dalam buku tersebut. Namun ada hal terpenting yang perlu diingat bahwa ada sebuah proses yang mendasari berhasilnya Daniel pergi ke Tibet. Bukankah benar bahwa hasil akhir tidak akan pernah mengkhianati prosesnya?

Dengan melakukan traveling, seorang traveler akan belajar bagaimana rasanya menaklukan diri sendiri dan bagaimana membuat sebuah keputusan dalam hidupnya. Terlebih lagi yang mengagumkan adalah menjadi seorang travel writer karena ia dapat mengajak ratusan bahkan ribuan pembacanya untuk menikmati perjalanan bersama penulisnya.

Travel Writer! Perjalanan itu ibarat sebuah cara untuk menemukan jati diri.” Gol A Gong.

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di Tabloid Jumpa, Edisi 45, halaman 13 [2016]