Cerminan Sosial Pengarang Pada Novel “Niskala” Karya Daniel Mahendra

Ulasan Niskala | #6

Oleh Enung Nurjanah

Pendahuluan

Pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Seperti yang dikemukan oleh Endraswara bahwa sosiologi sastra adalah penelitian sastra yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2013:79).

Pendekatan sosiologi sastra terbagi dalam tiga perspektif sebagaimana yang dikemukakan oleh Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara (2013:79) yang menyatakan bahwa tedapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu:

  1. Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial
  2. Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya
  3. Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

Pendekatan sosiologi sastra dengan perspektif pengarang dilakukan dengan pendekatan ekstrinsik. Dalam sosiologi pengarang ditelaah latar belakang pengarang, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.

Latar belakang pemilihaan pendekatan sosiologi pengarang dalam kajian  novel ini adalah latar tempat, peristiwa dan gaya penceritaan pengarang dalam novel “Niskala” hampir sama dengan kehidupan pengarang. Ketika membaca novel “Niskala” karya Daniel Mahendra ini, kita sebagai pembaca akan merasa tokoh Galang sebagai tokoh utama dalam novel ini adalah Daniel Mahendra sendiri, sang pengarang. Oleh karena itu, novel ini akan dikaji dengan pendekatan sosiologi dengan perspektif pengarang.

Adapun yang menjadi pemikiran sosiologi dalam pengkajian ini meliputi tiga hal. Pertama,  pengarang adalah bagian dari masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wellek & Warren (1989:121) bahwa setiap pengarang adalah warga masyarakat dan dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Kedua, berdasarkan telaahan Jakob Sumardjo (1981:34) yang menyatakan bahwa di Indonesia hidup kepengarangan boleh dikatakan hanya terbatas pada dua dunia, yaitu dunia kewartawanan dan dunia keguruan. Ketiga, seseorang dapat menuangkan obsesinya, perasaannya, dan pengalamannya melalui menulis. Daniel Mahendra sebagai pengarang  “Niskala”  adalah seorang warga masyarakat dan juga berada dalam dunia jurnalistik atau kewartawanan.

Pengkajian novel ini dimulai dengan mengumpulkan data berupa hasil telaahan novel serta  pengumpulan data biografis dan sosiologis pengarang. Pengumpulan data seputar pengarang  dilakukan dengan menjalin komunikasi dengan pengarangnya. Upaya itu dilakukan untuk mengumpulkan data pengarang di luar karyanya yang sedang diteliti. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren bahwa pendekatan sosiologi  dengan perspektif pengarang dapat dilakukan dengan  mengkaji kehidupan pengarang di luar karya.

Selain itu, upaya pengkajian novel dengan pendekatan sosiologi pengarang ini dilakukan dengan menelaah  dan membandingkan buku “Niskala” dengan buku-buku lain yang sudah pengarang tulis baik dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Dalam bentuk nonfiksi diambil buku berjudul “Perjalanan ke Atap Dunia” yang terbit pada tahun 2012 dan novel berjudul “Epitaph” yang terbit pada tahun 2009. Dari perbandingan itu kemudian akan ditarik  benang merah diantara  ketiganya yang dapat mengisyaratkan adanya hubungan antara karya sastra dengan pengarang dan kehidupannya.

Pembahasan

Daniel Mahendra dalam karyanya yang berjudul “Niskala” bercerita tentang seorang  petualang dan juga penulis  perjalanan (travel writer) yang  bernama Galang. Galang beserta beberapa teman dari berbagai negara sedang melakukan perjalanan keliling dunia. Kali ini ia sedang  menyusuri Pegunungan Everest, Tibet. Sesampainya di Everest Base Camp ia terserang AMS (acute mountain sickness). Badannya kaku, napas tersenggal-senggal, disertai batuk yang datang bergerombol tanpa permisi.

Teman-temanya menjadi tertahan perjalanannya karena kondisi Galang. Hal ini menyulut pertikaian diantara mereka. Joshua, pejalan asal Israel, merasa keberatan agenda perjalanannya menjadi terganggu karena menunggu kondisi Galang yang sedang sakit. Ia marah pada Galang sampai mengucapkan kalimat “Kamu payah, Indonesia!” . Kalimat yang diucapkan Joshua menyulut api kelelakian dan nasionalisme Galang hingga hampir saja terjadi perkelahian.

Pertikaian itu berhasil ditengahi oleh Juan, pejalan asal Kolombia yang menetap di Amerika. Setelah pertikaian itu, Juan dan Galang menjadi dekat sampai akhirnya Galang bercerita tentang tujuannya melakukan perjalanan itu untuk memenuhi janji pada seseorang yang bernama Sanggita.

Perkenalannya dengan Sanggita terjadi pada Maret 2010 saat launching bukunya di Istora Senayan. Sanggita diundang dan dikenalkan kepada Galang oleh penerbit. Sanggita nampak manis dan sederhana. Galang merasa tertarik hingga dia setiap hari mencari tahu tentang Sanggita lewat geogle, facebook, twitter sampai akhirnya bisa komunikasi melaui jejaring sosial.  Mereka kerap diskusi tentang film, filsafat, sastra, atau apa saja. Sanggita terkesan sangat cerdas, pengetahuannya sangat luas bahkan seperti perpustakaan berjalan, ia serbatahu  tetapi ia tidak pernah terkesan menggurui. Tidak pernah ia menempatkan dirinya di atas atau di bawah lawan bicaranya. Cara pandangnya egaliter.

Komunikasi tanpa pertemuan itu berlangsung selama dua tahun. Menjelang diterbitkannya buku hasil perjalanan Galang menyusuri jalur kereta api di Indonesia, Sanggita mengundang Galang pada acara radio yang dia asuh. Usai acara talkshow mereka berbinacang tentang traveling. Ternyata mereka punya impian yang sama, yaitu Machu Picchu. Mereka ingin ke sana dan mulai merencana travelling bareng ke Machu Picchu.

Dari pertemuan kedua itu barulah diketahui bahwa Sanggita lulusan Universitas of Stuttgart di Kota Stuttgart di barat daya Jerman, dan kini menjadi dosen tamu di sana. Ia pun mengajar di UI dan beberapa Negara Asia.

Komunikasi  mereka bertambah intens walaupun masih di dunia maya. Begitu pun saat Sanggita tinggal di luar negeri perjalanan dan kegiatannya selalu diceritakannya pada Galang. Ketika Sanggita sedang di Jerman ia minta tolong pada Galang untuk mengantarnya ke Kawah Putih pada saat pulang nanti. Hal ini dilakukannya karena  ia berkenalan dengan orang Jerman yang pernah keliling Indonesia yang  sangat terkesan dengan Kawah Putih, Ciwidey. Sanggita terhenyak saat si Jerman menanyainya tentang Kawah Putih karena ia sama sekali belum pernah ke sana. Tentu saja permintaan Sanggita langsung disanggupi Galang dan menjadi pintu pembuka  pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Sanggita.

Beberapa kali Sanggita menghabiskan akhir pekannya di Bandung, tinggal bersama keluarga Mas Hendra, teman dekat Galang. Selesai berakhir pekan, Gita diantar Galang ke rumahnya di kawasan elite di Depok. Di perjalanan Gita mengajak Galang belanja perabotan dan furniture untuk mengisi rumahnya yang masih kosong.

Sanggita mendapat tawaran dari Jerman untuk menetap di sana. Tawaran itu disampaikannya kepada Galang. Di depan Gita, Galang memberikan support untuk mengambil kesempatan itu. Padahal dalam hatinya berkecamuk perasaan was-was. Atas usulan Mas Hendra, Galang disuruh mengajak Gita menikah agar dia tidak jadi ke Jerman karena menurutnya  perempuan itu butuh kepastian. Kalau di sini dia punya kepastian, dengan segala kecerdasanya dia akan memilih tinggal di Indonesia (hal 109).

Saran Mas Hendra dilaksanakanya. Ketika berakhir pekan di rumah Mas Hendra, di Sitinggil Bandung, Galang mengutarakan maksudnya ingin menikahi Sanggita. Esok harinya ajakan itu baru direspon Gita. Mereka mau menikah dan menolak tawaran dari Jerman.

Sehari setelah pernyataan cinta mereka, mereka melakukan perjalanan ke Gunung Padang Cianjur. Di sana terbuka satu tabir  bahwa Gita seorang agnostik dari keluarga sahitya. Tentu saja hal ini sangat mengagetkan dan menjadi masalah besar bagi Galang. Lebih besar dan lebih rumit dari perbedaaan agama. Terlebih lagi, keluarga Gita mengharuskan semua keluarganya mendapat jodoh dari golongan sahitya lagi. Inilah awal luka-liku perjalanan cinta mereka.

Sepulang dari Gunung Padang terjadi perang keyakinan dan perang batin pada diri Galang, antara cinta dan keyakinan. Ia gamang untuk meneruskan perjalanan cintanya karena terbentur oleh keyakinan.

Semenjak itu, lama Galang tidak melakukan kontak dengan Gita. Ia melakukan pencarian jawaban atas kegamananganya ke sana-kemari. Ia bertanya-tanya. Sampai akhirnya Galang memutuskan akan tetap menikahi Sanggita apa pun konsekuensinya.

Namun, perjalanan tidak berhenti sampai di situ. Pertama kali Galang menemui orang tua Gita dan mengutarakan maksudnya melamar Gita, kedua orang tua Gita dengan lembut tetapi tegas mengatakan bahwa putri mereka hanya menikah dengan golongan sahitya. Secara halus mereka telah berujar masuk Sahitya atau tidak usah maju sama sekali (211).

Galang kembali mengalami kegamangan. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Kontak dengan Gita pun kembali terhenti untuk sekian bulan. Bahkan ia merasa ingin lari, ia ingin pergi. Ia pun melakukan pendakian  ke Gunung Rinjani sambil mencari  bahan tulisan tentang ritual Mulang Pakelem. Sebuah ritual yang rutin dilakukan pemeluk Hindu Segara Anakan, Gunung Rinjani, Lombok.

Pendakian ke Gunung Rinjani cukup menghibur kegundahan hatinya dan melupakan persoalan hidupnya  bahkan ia hampir terlibat cinta lokasi dengan pendaki asal Prancis bernama Blendine yang mengajaknya melanjutkan perjalanan ke Giri trawangan dan menyusuri Indonesia bagian timur.

Namun, kesadaran Galang hadir kembali berkat Ganes, sahabat Galang.Akhirnya Galang memutuskan untuk mememui orang tua Gita.Mencoba untuk melamar kembali anak mereka. Orang tua Gita tetap dengan prinsip dalam ajaran mereka yaitu hanya menikahkan anak mereka dengan golongan sahitya. Galang mengajukan argumennya bahwa ia serius dengan Sanggita dan ia mengatakan, “Saya pun Islam Bapak,” dengan sedikit keras (hal 274). Rupanya perkataan Galang membuat orang tua Gita marah.

Rintangan ini tidak membuat semangat keduanya surut. Mereka memutuskan untuk menikah di Bandung dengan wali adik ayahnya Gita. Keduanya langsung menemui  Om Goenoeng dan Tante Nenden  yang tinggal di Bandung. Keduanya mendapat restu dari mereka.

Galang dan Gita mulai menyusun rencana pernikahan mereka, termasuk mahar pernikahan. Gita tidak meminta perhiasan sebagai mahar seperti pada umumnya wanita. Ia malah meminta naskah buku yang siap terbit sebagai mahar pernikahannya. Sungguh fantastik.

Waktu pernikahan tinggal dua bulan lagi. Galang berkutat terus siang dan malam  dengan naskah novel yang dipersiapkannnya untuk mahar pernikahannya. Bab demi bab ia susun dengan sangat apik. Ia pun sudah berhasil  deal dengan penerbit yang akan menerbitkan novelnya itu.

Segera ia kontak Gita untuk mengabarkan tentang penerbitan naskah novelnya. Namun, berhari-hari telpon selulernya tidak bisa dihubungi. Tidak seperti biasanya. Bingung dengan ketiadaan kabar tentang Gita. Akhirnya, Galang memutuskan untuk mendatangi rumah Gita, rumah orang tua Gita, sampai rumah om dan tantenya. Namun, rumah-rumah itu kosong ditinggal pemiliknya.

Akhirnya, Galang mendapat kabar dari om dan tantenya Gita bahwa Gita sedang menjalani pengobatan di Singapura akibat abses otak yang dialaminya. Selama seminggu Gita tidak sadarkan diri dan dia akan menjalani operasi. Namun, Galang tidak diperbolehkan menjenguk.

Hari demi hari ia lalui hanya untuk menunggu kabar dari om dan tante Nenden. Namun, kabar itu tak kunjung datang. Akhirnya, ia menyeret ranselnya untuk mendaki Gunung Manglayang sendirian untuk menghalau kegundahan hatinya. Pendakiannya tidak berlangsung lama karena Galang ditelpon ayahnya untuk segera pulang. Di rumah ia kembali melalui hari-harinya dengan menunggu kabar tentang Gita.

Tibalah saatnya om dan tante Nenden mengundangnya ke rumah mereka di antapani. Mereka mengabari bahwa Gita sudah siuman, tetapi bagian tubuh sebelah kiri lumpuh dan ia mengalami amnesia parsial. Dalam kondisi seperti itu pun, Galang masih belum diperkenankan untuk menengok.

Setelah beberapa bulan lamanya Sanggita dirawat di Singapura, Kini saatnya Galang menengok Gita  di rumah orang tuanya di Bintaro. Dia ditemani Om Goenoeng, Tante Nenden, dan mas Hendra. Gita benar-benar tidak mengenal Galang sebagai calon suaminya, bahkan tidak mengenal bahwa di dunia ini ada yang bernama Galang.

Pada kunjungan kedua Galang ditemani Mas Hendra saja. Hasilnya tetap sama, Gita tidak bereaksi apa-apa. Sampai pada akhirnya, Galang datang sendiri untuk berkomunikasi dengan Gita. Ia ceritakan tentang impian mereka ke Macho Picchu, Argentina, Peru, dan Tibet.

Berulang kali Galang menjenguk Gita dengan atau tanpa ditemani Mas Hendra atau Om Goenoeng. Setiap minggu ia ke Bintaro. Ia kesampingkan sikap dingin orang tua Gita. Namun, belum ada perubahan berari dengan kondisi Gita.Gita masih belum mengenali dirinya. Galang sangat terpuruk, ia mengurung diri, tidak ada kontak dengan teman, tak da kontak dengan media sosial. Setahun sudah naskah novelnya pun tertunda. Ia memutuskan untuk melakukan travellingsampai ke Tibet untuk memenuhi impian Sanggita dan akan terus melakukan travelling.

Juan, pejalan asal Amerika itu, mendengarkan cerita Galang dengan saksama. Lalu ia menyarankan  Galang agar segera pulang. Juan berkata bahwa,

“Petualang sejati adalah ia yang bisa berkata cukup pada diri sendiri dan menyadari bahwa pulang adalah tempat paling indah yang menjadi tujuan hidupnya karena perjalanan mengajarkannya begitu” (hal 378).

Juan menyarankan  pulang karena Gita membutuhkan kehadiran Galang untuk memulihkan ingatannya dan menyarankannya jangan lari dari masalah. Obrolan dengan Juan memberi pencerahan bagi Galang.

Dengan menumpangi sebuah jeep mereka mulai menuruni Everest Basecamp. Di kantor imigrasi Cina di kota Zhangmu mereka berpisah. Sebelum berpisah Juan menanyakan novel yang belum rampung ditulisnya itu bercerita tentang apa. Lalu Galang menjawab “Semua yang kuceritakan semalam, itulah yang kutulis dalam novelku.”

Life History dan Latar Sosial Pengarang

Daniel Mahendra memiliki nama lengkap Daniel Chandra Mahendra atau biasa dipanggil DM. Lahir di sebuah desa kecil di Cilacap, Jawa Tengah pada tanggal 1 Agustus 1975. Walaupun ia dilahirkan di Jawa Tengah tetapi masa kecilnya ia lalui di Bandung, masa remajanya dihabiskan di Jawa Timur sampai lulus SMA.

DM berkuliah di sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung dengan mengambil jurusan Jurnalistik. Sampai sekarang Daniel menetap di Kota Bandung. Pada akhir tahun 2012 ia menikah. Novel “Niskala” merupakan mahar pernikahannya.

Sejak kecil DM memiliki impian ingin mengunjungi Tibet. Impian itu terstimulus dari cerita kartunTintin  di  Tibet. Obsesinya di masa kecil ingin mengunjungi Tibet terus bergelora dalam benaknya. Ditambah lagi, pada masa dewasa ia pernah menonton film yang berjudul Seven Years in Tibet yang diperankan oleh Brad Pitt. Berkat kegigihannya dalam menggapai impian masa kecilnya, Daniel berhasil melakukan traveling ke Tibet pada bulan April  2011.

Ia pernah mencoba bekerja sebagai wartawan dan editor. Tulisannya pernah dimuat di berbagai media.Bukunya yang telah terbit sekitar dua puluh judul meliputi kumpulan cerpen, kumpulan puisi, kumpulann esai, biografi, self-improvement, how to travelling, juga novel.

Buku-buku yang telah berhasil ia tulis diantaranya adalah Perjalana ke Atap Dunia, Epitaph, Epigraf, dan Epilog. Selain menulis buku, ia pun menjadi seorang editor, buku-buku yang telah ia edit diantaranya buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Gola Gong. Kemahiran Daniel ternyata bukan saja pada kedua bidang tersebut melainkan juga dalam menulis skenario film animasi  3D.  Skenario film yang pernah ia buat adalah serial tentang petualangan serta epos sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit.

Beliau pun kerap mengisi acara talkshow diantaranya talkshow yang diselenggrakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi  SKM IM Telkom  pada hari Jumat tanggal 4 April 2012. Talkshow itu bertemakan “Menulis Kreatif dalam Public Relations”.

Dalam talkshow itu DM menceritakan pengalamannya sebagai penulis dan pengalamannya mencapai cita-citanya pergi ke Tibet yang selama ini ia idamkan. DM pun membagikan tips menulis kreatif. Dia mengatakan bahwa “Saya menulis apa yang saya kuasai dan sukai. Saya suka menulis karena saya ingin cerita saya didengar”. Dia pun menambahkan bahwa dalam menulis kreatif jangan menulis dengan pikiran tetapi menulislah dengan hati. Setelah menulis dengan hati lalu kita gunakan logika kita.

Keterkaitan antara Karya dengan Sosiologi (Pengarang)

  • Daniel Mahendra menghadirkan Galang, tokoh utama dalam “Niskala”, sebagai seorang penulis dan juga petualang (writer & traveler). Galang memiliki obsesi ingin melakukan perjalanan ke Machu Picchu dan Tibet. Dalam setiap perjalanannya ia selalu menghasilkan sebuah tulisan dalam bentuk buku atau esai. Begitu pula dengan Daniel Mahendra, sang pengarang, ia memiliki obsesi ingin melakukan perjalanan ke Tibet yang ia wujudkan pada tahun 2011. Setelah melakukan perjalanan, Daniel pun menuangkan pengalamannya dalam bentuk buku baik fiksi maupun nonfiksi. Buku nonfiksi hasil perjalanannya ke Tibet ia wujudkan dalam buku “Perjalanan ke Atap Dunia”  dan  dalam bentuk fiksi berjudul “Niskala”.

Dalam novel berjudul Epitaph pun Daniel mahendra menghadirkan salah seorang tokoh utama yang bernama Haikal dan Langi sebagai seorang penulis dan juga berpetualang untuk menguak kebenaran dibalik jatuhnya pesawat.

  • Ketika Galang mendaki Gunung Rinjani , ia hampir terlibat cinta lokasi dengan gadis Prancis bernama Blendine yang merasa tertarik kepada Galang karena Galang seorang pejalan dan juga penulis. Hal ini dapat dilihat pada “Niskala” halaman 251 sebagai berikut.

“Sering kali perjalanan membuat kita kesepian. Tapi di luar itu,” katanya seraya menopangkan tangannya di bahuku, “aku memang tertarik karena kamu menulis.”

Aku mengernyitkan dahi. “Apa istimewanya menjadi penulis? Ada begitu banyak penulis di dunia ini.”

“Well… memang. Tapi, tidak kamu sadari,” katanya sambil menatapku lekat, “ada begitu banyak pejalan, tapi sedikit sekali yang sembari menulis. Ada banyak sekali penulis, tapi sedikit sekali yang melakukan perjalanan. Ya, kan?”

Hal yang sama terjadi pada diri DM. Dalam Perjalanan ke atap dunia, di akhir cerita disisipi cerita roman dengan seorang Prancis yang ditemuinya pascaperjalanan utamanya dari Tibet, ia berteman dekat dengan seorang gadis Perancis bernama Jeannette. Awal keterterikan Jeanne pada DM adalah karena DM melakukan menulis sambil traveling. Hal ini bisa dilihat pada “Perjalanan ke Atap Dunia” halaman  306 sebagai berikut.

“Kamu pintar, Jeane.”

“Nggak juga, Daniel. Aku hanya sekolah. Karena dengan belajar kita bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang belum terkuak. Aku nggak lebih pintar dari kamu. Aku nggak bisa menulis novel.”

“Ahahaha. Kamu mengolokku.”

“ No-no. Aku serius. Apa ada sekolah yang mencetak calon novelis? Sementara bakat saja nggak cukup kan? Bukankah seorang penulis ditempa oleh lingkungan dan pengalaman? Itu nggak ada kurikulumnya kan, Daniel. Nggak diajarkan di sekolah manapun.” Argumennya menarik, batinku. “dan penulis novel tidak hanya penggunakan otak kanan. Ia menggunakan keduanya kanan dan kiri. Coba kamu tanya orang-orang di negaramu, apakah semua orang bisa menulis novel?”

“Barangkali bisa, tapi tidak semua mau.”

“Begitu pun sekolah kedokteran!” ia tersenyum menang

  • Sebagai orang timur, seorang wanita selalu menjaga rahasia hatinya, terutama ketika ia menyukai seorang laki-laki. Ia akan menyimpan perasaan itu sampai saat yang tepat untuk bisa mengungkapkan perasaannya itu. Begitu pun yang dilakukan Sanggita seperti yang tertulis pada   halaman 149-150 berrikut ini

“Aku memang membayangkan kita menikah dan tinggal di sini.”

“Hah?” aku terbelalak.

“Iya.” Senyumnya penuh arti.

“Tinggal di sini?”

“Iya.”

“Sudah sejak itu kamu berpikir begitu?”

“He-eh.” Ia masih saja tersenyum. “Bukankah aku selalu meminta pendapatmu waktu memilih barang? Meja makan ini, warna sofa, karpet, lemari, tempat tidur, kompor gas, gorden, ya, kan? Bahkan, meja dan kursi hitam di teras atas, sejak kali pertama aku melihatnya, aku sudah membayangkan kamu bakal menulis dan merokok di sana.”

Aku masih terbata-bata.

“Karena aku ingin kamu juga suka dengan pilihanmu. Bukan hanya seleraku.

“Tapi, bukannya itu rumah orang tuamu? Kamu hanya diminta menempatinya?”

“Nggak. Aku bohong. Ibuku membelikan rumah ini untukku. Maaf kalau aku bohong ya….” Ia tetap tersenyum.

Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Siapa nyana, secara pikiran Sanggita jauh lebih dulu ketimbang langkahku.

  • Seorang laki-laki pada umumnya merasa sulit  dalam menetapkan hati dan langkahnya  agar sampai pada keputusan untuk menikah. Terlalu banyak pertimbangan yang ia pikirkan mulai dari masalah ekonomi, kemapanan, kesiapan mental, karier, tanggung jawab,  dan sebagainya. Untuk sampai pada keputusan mengajak nikah, biasanya seorang laki-laki itu telah mengalami fase diojok-ojok oleh lingkungan atau orang-orang terdekatnya. Begitu pun yang dialami oleh Galang. Ia jatuh cinta pada Sanggita, tetapi untuk menyatakannya apalagi mengajaknya menikah merupakan sesuatu yang berat dan mustahil  karena Sanggita memiliki alternatif  masa depan yang lebih menjanjikan menurut pemikiran Galang. Hal ini terlihat dalam percakapan antara Galang dengan Mas Hendra pada halaman 109 sebagai berikut.

“Sekarang apa yang bikin kamu bingung?”

“Ya, kalau dia memilih tawaran itu, artinya kan dia bakal tinggal menetap di Jerman selamanya.”

“Itu kan kalau dia terima. Kalau nggak?”

“Ya aku kan nggak tau. Tapi kan dia punya kans yang sama untuk menerima.”

“He, dengar ya Galang.” Dimiringkannya tubuhnya ke arahku. Kini, suaranya terdengar berat dan dalam. “Di mana-mana perempuan itu hanya butuh kepastian. Kalau dia merasa di Indonesia nggak ada lagi hal menarik untuknya, ya kenapa nggak pergi ke Jerman? Di sana dia bisa jauh lebih maju daripada apa yang sudah dia capai selama ini. Tapi, he dengar.”

“Iya-iya aku nyimak …”

“Tapi, kalau di sini ia punya kepastian.” Diisapnya lintingannya lagi. “Dengan segala kecerdasannya, dia justru akan memilih tinggal di Indonesia.”

“Kepastian?”

“Iyalah!”

“Kepastian gimana?”

“Haduh! Kok kepastian gimana! Menikah, misalnya.”

“Geblik!”

“Kok geblik. He Galang, kamu pikir, jadi dosen tetap di sana, tinggal selamanya di sana, itu impian hidup dia apa?”

  • Selain menggambarkan latar di luar negeri seperti Tibet, DM pun menggunakan latar dalam negeri. Latar yang paling sering digunakan adalah kawasan Bandung seperti Dago, Antapani, dan Kawah Putih di Ciwidey. Latar tempat pendakian di dalam negeri yang digambarkan dalam Niskala adalah Gunung Padang di Cianjur, Gunung Manglayang,  dan Gunung Rinjani. Tempat-tempat tersebut jelas menggambarkan kehidupan sang pengarang.
  • Sanggita, pacar Galang dalam novel “Niskala”,  mengaku sebagai seorang yang agnostik. Seorang agnostik memercayai keberadaan Tuhan, tetapi tidak melakukan ibadah atau ritual agama apa pun. Hal ini terbukti dari percakapan Mas Han dengan Sanggita di Gunung Padang, Cianjur (halaman 131-132) sebagai berikut.

“Ah, ya, Sanggita. Agamamu apa?”

“Agama?” tanya Sanggita seolah heran ada orang bertanya soal agama.

“Iya. Agama atau apa pun namanya.”

“Hmmm, di KTP sih Islam,” jawab Sanggita mengangkat alisnya.

“KTP? Ahahaha…   oke-oke.” Mas Han tertawa.

“Lantas bagaimana caramu memaknai ini semua?”

“Yang Mas maksud ini semua itu apa?”

“Ya, tadi, soal keberadaan kita di jagad semesta ini.”

“Oh. Ya dengan menyadarinya. Kukira itu cukup.”

“Dengan menyadarinya…,” ulang Mas Han mengangguk-anggukkan kepala seraya memandangi Puncak Gede.  “Hmmm… Oke. Lalu, ibadahmu?”

“Ibadah?”

‘Ya, cara memanjatkan doa, bersyukur, atau apalah namanya,”

“Aku nggak melakukan ibadah seperti agama-agama yang ada,” jawab Sanggita. “Aku  agnostik, Mas.”

“Jadi, sebagai seorang agnostik, di keheningan seperti ini, kamu tetap bisa merasakan keberadanmu di semesta raya ini?”

“Tentu saja bisa. Kenapa nggak?”

“Agnostik kan bukan ateis, Mas,” jawab Sanggita tersenyum.

Dalam kehidupan nyata, memang ada masyarakat yang memiliki keyakinan dan cara pandang seperti ini. Oleh karena itu, pengarang mengangkat permasalahan tersebut.

  • Dalam “Niskala” DM memunculkan sebuah aliran dalam agama Islam. Aliran ini  dilarang oleh pemerintah dan  mengharuskan pengikutnya menikah dengan golongannya. Pada kenyataannya aliran seperti ini memang ada di Indonesia. Nama  aliran ini disamarkan oleh DM dengan nama golongan Sahitya. Hal ini terdapat pada halaman 142-143.

“Ketika Sahitya mulai dipersoalkan di Indonesia dan ibadah-ibadah kami mulai dilarang di sana-sini, aku mulai berpikir, ada apa dengan sahitya?

“Hingga saat SMA dan mulai kuliah, ketika aku mulai pacaran, tiba-tiba ibuku berkata kepadaku, ’Kamu boleh pacaran dengan siapa pun, Gita, tapi menantu ibu itu Sahitya lho ya…,’ aku kaget. Di situ aku mulai bertanya-tanya, kenapa harus dengan sahitya juga? Bukankah kita semua tak ada bedanya?

  • Lewat Galang. Di perjalanan DM menampilkan kembali hero-romantisme perjalanannya ke Tibet yang tersaji apik dalam Perjalanan ke Atap Dunia. Niskala adalah versi novel dari Perjalanan ke atap dunia.
  • Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam Niskala sebagian adalah tokoh-tokoh nyata dalam kehidupan DM terutama dalam mewujudkan mimpinya melakukan perjalanan ke Tibet. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah Juan, Ganes, Barista, dan Tan.
  • Peristiwa yang tersaji dalam novel “Niskala” sebagian merupakan fakta dalam kehidupan DM sebagai penulis dan petualang. Salah satunya adalah masalah mahar yang diminta Sanggita pada halaman 285.

“Tapi kenapa naskah buku?”

“Karena kamu seorang penulis. Karena itu yang nantinya akan menafkahi aku. Bagiku itu jauh bermakna ketimbang sekadar barang yang sifatnya lazim. Kalau perhiasan seperti umumnya orang nikah, aku bisa minta sama kamu kapan pun, dan nggak hanya saat nikah, kan. Tetapi, naskah buku sebagai mahar yang diserahkan saat akad, bagiku jauh, jauh lebih bermakna ketimbang perhiasan.”

Ternyata mahar pernikahan yang dipersembahkan DM untuk calon istrinya adalah sebuah naskah dan naskah itu berjudul “Niskala”. Informasi ini diperoleh dari hasil komunikasi dengan DM dan sebagai bukti tertulisnya dapat dilipat pada lembaran awal naskah novel tersebut.

  • Sudut pandang atau cara penceritaan yang dilakukan DM adalah sudut pandang orang pertama. Gaya penceritaan seperti ini  bisa dilihat pada novel “Niskala” dan “Epitaph” maupun pada buku “Perjalanan ke Atap Dunia”.
  • Kehidupan para pendaki/traveling umumnya menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi. Mereka bahu-membahu satu sama lain seperti pada saat salah seorang diantara mereka merasa sakit. Hal ini tergambar dalam novel “Niskala” di antaranya sesaat sebelum naik ke Everest Base Camp,  Galang mengalami Accuate Montain Sickness (AMS).  Juan dengan sigap langsung  memberikan pertolongan kepada Galang seperti yang tertulis pada halaman 32.

Aku merintih. “Ya Tuhan, Juan, kayanya giliran aku kena Accuate Montain Sickness.Kepalaku sakit dan aku kedinginan sekali…,” kataku dengan mulut gemeteran.

“Ouw, man?! Tunggu!” Dengan cepat ia keluar kamar hotel. Aku tak tahu apa yang hendak ia lakukan.

Tak lama ia sudah kembali dengan selembar selimut tebal. Ia menyelimuti tubuhku yang terkapar menggigil di ranjang. Aku terharu dibuatnya. “Minum ini,” Ia menyodorkan sekotak obat AMS.

Peristiwa ini terjadi juga pada Juan yang mengalami Accuate Montain Sickness(AMS) ketika berada di kota Lhasa (Perjalanan ke Atap Dunia halaman 147). Peristiwa senada terjadi juga pada DM ketika berada di Everest Base Camp, ia mengalami pernapasan periodik (halaman 222).

Selain itu, peristiwa yang menunjukkan adanya rasa kekeluargaan tergambar ketika kita dalam perjalanan (berada di tempat asing jauh dari teman dan sanak saudara). Hal ini  terdapat pada novel “Niskala” halaman 30.

“Kita ini teman perjalanan, Galang. Sama-sama jauh dari rumah. Dari keluarga. Sudah berminggu-minggu kita traveling bareng. Terlibat secara emosi dan nggak pernah tahu kapan bisa ketemu lagi,” lanjut Juan tenang. “ayo, kurangi bebanmu. Kalau kamu butuh teling aku punya.”

Kesimpulan

Pendekatan sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Hal yang mendasarinya adalah sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam bentuk masa depan berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisi. Salah satu jenis pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan sosiologi dengan perspektif pengarang. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah kehidupan pengarang di luar karya sastra.

Karya tulis Daniel Mahendra (DM) merupakan perpaduan antara fakta dan fiksi. Hal ini dapat dibuktikan pada novelnya yang berjudul “Niskala”. Sebagian latar dan peristiwa yang digambarkanoleh DM dalam novel tersebut merupakan laporan perjalanan dan pengalamannya ketika melakukan traveling ke Tibet. Gaya penceritaan (sudut pandang) yang digunakan DM dalam novel “Niskala” dan buku “Perjalanan ke Atap Dunia” ataupun dalam novel “Epitaph” selalu menggunakan sudut pandang orang kesatu (beraku). Oleh karena itu,  wajarlah apabila kita merasa sedang membaca kehidupan DM (langsung atau tidak langsung mengalaminya) ketika kita membaca naskah novel DM.

Daftar Pustaka

Endrsawara, Suwardi. 2013.  Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta:Buku Seru.

Mahendra, Daniel. 2012. Perjalanan ke Atap Dunia.  Bandung: Medium.

———– ————  2013. Niskala Kisah tentang Cinta, Keyakinan, dan Perjalanan Keliling Dunia.  Bandung: Qanita.

Sumardjo, Jakob. 1981. Sosiologi Novel Indonesia. Jakarta:Pustaka Prima

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

_________________________________

* Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia. Tinggal di Bandung.

Makalah ini ditulis untuk keperluan tugas mata kuliah Kesusastraan di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, pada Desember 2013. Menurut penulis, semula, judul awal dari makalah ini adalah: Pendekatan Sosiologi dengan Perspektif Pengarang pada novel “Niskala” Karya Daniel Mahendra.