Epitaph [05]

Ulasan Epitaph | #29

Damuh Bening
Pembaca, tinggal di Denpasar

Judul: Epitaph
Penulis novel: Daniel Mahendra
Penerbit: Kaki Langit Kencana
Tahun Terbit: Cetakan 1, November 2009
Tebal: 158 + 7 halaman
Ukuran: 12,5 cm X 20 CM

SIAL! itu kata pertama yang muncul ketika usai membaca novel ini.

Lha, KOK?
Ya: bagaimana tidak, novel ini terselip rapi tak tersentuh di salah satu rak di kamar dingin setelah sekian tahun ruangan itu dan bahkan rumah itu ditinggalkan jauh kembali pada jejak perantauan, hanya bedanya: kini masih dalam pulau yang sama: BALI! Meskipun demikian, walaupun sering bolak-balik menyelinap masuk ke ruang dingin itu (yang dulunya sempat begitu hangat diakrabi dalam beragam carut marut, indah senang, gelegak hidup: kehidupan), namun novel ini hanya selalu dan selalu dintip lokasinya tanpa ada niatan untuk membacanya. Demikian sejak sampai dan berada dalam kumpulan sedikit buku dalam rak buku.

Lantas: waktu seolah melenyapkannya dari ingatan, cukup lama. Sampai pada satu waktu beberapa bulan lalu, karya Daniel Mahendra terbaru muncul diruang maya, menyela perhatian untuk dilamar dibawa pulang demi menambah banyaknya dari buku yang sedikit itu: buku itu berjudul: RUMAH TANPA ALAMAT SURAT, meskipun kemudian buku kumpulan cerpan itu berwujud menjadi sebuah hadiah dari sang penulis.

Anehnya: Ketika ingin segera membaca kumpulan cerpen tersebut, tiba-tiba novel Epitaph ini menyeruak, menyela ingatan, seolah memberondong keinginan agar segera dibaca sebelum nantinya menikmati kumpulan cerpen terbaru itu tertuntaskan. Dan semakin aneh lagi tatkala tanpa pertimbangan babibu: bersegera menjemputnya ke rumah dimana kamar dingin itu seolah beku, membuka rak bukunya, dan bergegas pula membawanya ke tanah rantauan, seperti meminta untuk segera dibaca.

Nyatanya: Tiada kompromi atau tawar-menawar, Epitaph segera dibuka sejak halaman paling awal, dibaca tiap hurufnya sampai pada bagian kisah itu dimulai, dikunyah, dilahap, disantap, dinikmati dengan sangat perlahan seperti buku-buku lainnya dimana tiap hari tidak lebih sebanyak lima halaman membacanya. Jadinya, novel ini selesai dibaca cukup lama, juga sama dengan buku-buku lainnya ketika sedang dalam target baca. Dan ini akan menjadi perjalanan panjang dalam menuntaskannya.

Nah: Pada saat pembuka kisah sedang dinikmati, bermacam lompatan pertanyaan muncul menyela diantara ruang baca. “Ini kisah apa sebenarnya?” “Seperti inikah Daniel merawi kisah?” “Dapatkan aku terbenam dalam alunan kisah ini?” “Terbuat dari apa hatimu kawan?”: Aneh benar: kenapa begitu banyak tanya menyeruak menyela. Tapi biarlah, lompatannya akan mengiringi perjalanan mengarungi “waktu” yang tersusun rapi dalam novel tersebut.

Dan: Satu pertanyaan muncul ketika halaman telah memasuki angka 14. Uniknya, pertanyaan itu serupa dengan rangkaian kalimat yang kemudian ditemukan dihalaman menjelang akhir kisah tepatnya dihalaman 352. Semua ini membuat terhenyak sendiri: Daniel Mahendra telah membaca pikiran ini tujuh tahun lalu, sedangkan novel ini baru terbaca tahun 2016. Rasanya itu “Ajaib”! Pertanyaan yang muncul diawal adalah: Jika ini tetang sebuah catatan, lantas siap yang mencatatnya? Sementara jelas sekali terbaca bahwa catatan itu dibuat oleh Laras Saraswati. Dan, dia adalah korban meninggal dari kecelakaan helikopter yang menjadi alur utama kisah ini. Bagaimana ia mencatanya begitu detail? Sementara dia telah diketahui merupakan salah satu korban dalam kecelakaan itu. Jika sempat mencatatnya, lantas apakah catatan itu ditemukan diantara puning heli yang begitu lama terkubur dilembah yang dingin, sepi dan terisolasi lokasinya. Apakah catatan itu masih utuh meskipun waktu dan cuaca memenjarakannya di dalam kebekuan puing yang cukup lama tidak ditemukan? Ah, beragam pertanyaan muncul kembali. Rasa penasaran yang rupanya dituliskan jupa oleh Langi sang tokoh yang diberikan tugas membaca catatan itu dan kemudian dimintakan menjadikan sebuah novel oleh Haikal sang penyimpan catatan tersebut. Dimana Haikal adalah pacar Laras Saraswati. Lelaki yang ada didalam dan diluar bingkai kisah ini. Daniel menuliskan hal serupa dihalaman 352: “Kalau memang seperti ini kejadiannya, kenapa Laras sempat merawikannya? maksudku, diawal-awal cerita, seolah Laras yang menceritakan kronologis kejadian itu. Ia yang berkisah, apa ia memang sempat menuliskannya? Secara detail pula….” bagian yang sempat memberi pantikan kejut pada rasa: kok bisa sama? dan reaksi berikutnya hanya menarik nafas dalam, cukup dalam.

Epitaph: sebuah novel unik, sebut saja kisah berbingkai kisah yang didalamnya juga berkisah hal lain. Ah, tak tahulah apa istilahnya. Cara menuliskan dan menyusun runutan waktunyapun jadi terasa unik kalau tidak bisa dikatakan cerdas! Bertutur dengan tutur bahasa sederhana dan lugas, tanpa bumbu idiom kata yang mengerutkan kening menautkan alis. Kalimat yang tersusun begitu jujur dan terbuka tanpa misteri meskipun kisah ini jika dirunut-runut bisa saja dikatakan sebagai kisah misteri. Gila kau Dan!

Lagi: novel ini menyajikan sengaklut kehidupan yang ruwet oleh karena “pengingkaran dan penyangkalan satu lembaga keamanan negara” demi “bersihnya” sebuah nama, apa lagi kalau bukan atas nama “rahasia” sebuah kebobrokan yang harus di”rahasiakan” agar bagian yang terlibat itu tetap menjadi “bersih”. Ah! Sialan, kau telah memberi bisik-bisik yang memekakan akan kondisi kita Dan!

Cilakanya: Dari jejak aksaramu dalam ribuah kata yang tersusun, hati ini telah dibuatnya perih dan masgul manakala membaca bagian penjemputan kerangka itu! Sial! Sial! Sial! Terbuat dari apa hati meraka itu? Kini pertanyaan itu bukan tertuju padamu Dan, tapi pada mereka! ya mereka! kau tahu kemana alamat pertanyaan ini tertuju! Perih yang masih sesekali menyayat tiap kali melihat sampul novel ini. Begitu membekas.

Jujur: waktu telah merampas ingatan akan latar belakang novel ini yang sejatinya bersumber dari kisah nyata, sampai seorang kawan mengingatkannya. “Ini dari kisah nyata kawan!” katanya dan membuat terbata rasa segera melompat kemasa itu, ya! benar! rasanya dulu kabar itu terdengar sampai ditelinga, novel ini dari sebuah kisah nyata. Dan, tangan ini mencoba mengulur pada tanganmu sembari bibir berucap: maaf, ikut bersungkawa, begitu terlambat, namun bisa dititipkan serangkaian kata ini: “Aji, Ibu, Nanak Budal” (Ayah-Ibu: Anakmu pulang kepadaMu).

Dipastikan: Novel ini telah membangkitakan dan membawa rasa paling sensitif yang bersembunyi di dalam hati. Mengusiknya dan menyisakan perih rasa serta membuncahkan satu kegeraman rasa: rupanya sama, ada ruang bisnis ditempat tidak semestinya dan kemudian penyangkalan bahkan pengabaian jika terjadi kejadian yang memungkinkan mencoreng citra sebuah lembaga negara, bahkan hati dan perasaan mereka buang jauh-jauh hanya demi sebuah citra! Bah!!!

Sisi lain: itu, ya itu, kisah-kisah dalam kisah itu, cerpen-cerpen itu, telah menautkan rasa ini pada kupulan cerpen barumu, semua membuat bibir tak manis ini tersungging! Kau Dan! Bisa saja!

Akhirnya: beruntung rasanya, akhirnya dapat mengarungi Epitaph, yang telah membawa rasa ini kesatu masa dimana seolah-olah terseret dan masuk kemasa itu menjadi penyaksi segala yang tercatat.

SIAL! kenapa tidak dibaca sejak dulu saja!

Terakhir: menunggu…yang masih tersembunyi dalam catatan waktumu, yang katanya akan kau bagi dalam dua babakan lagi. Sampai kapanpun! Tabik!

Denpasar:
Dari rasa membaca Epitaph, setelah juga mengendap menunggu kembalinya dari pinjaman seorang saudara, dan setelah disela banyak kegiatan setelahnya: dini hari ini, 11 Agustus 2016 berhasil tuntas diuraikan rasa baca ini.

-damuhbening-

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di halaman facebook penulis [11 Agustus 2016].