Epitaph: Kisah Berbingkai dalam Balutan Misteri

Ulasan Epitaph | #2

Oleh Sawali Tuhusetya

Judul Buku: Epitaph
Pengarang: Daniel Mahendra
Penerbit: Kakilangit Kencana, Jakarta
Cetakan I: November 2009

Satu lagi, sebuah buku lahir dari tangan seorang Daniel Mahendra (DM). Rencananya, Epitaphbergenre novel ini akan menjadi buku pertama dari trilogi Epitaph (EpitaphEpigraf, dan Epilog). Secara umum, Epitaph terdiri atas 10 bagian, yakni (1) Dia Datang; (2) Sebuah Manuskrip; (3) Sinematografi; (4) Meninggalkan yang Ditinggalkan; (5) Agustus 1994; (6) Sibayak; (7) April 1996; (8) Negosiasi; (9) Epitaph; dan (10) Sebelum Epilog.

Novel diawali dengan pertemuan antara Langi (si aku lirik) dan sahabatnya Haikal dalam sebuah perjamuan kopi yang hangat. Seperti layaknya sebuah pertemuan, mereka berdua segera terlibat dalam sebuah obrolan yang intens, hingga akhirnya Haikal meminta Langi untuk membaca catatan-catatannya sekaligus mengembangkannya menjadi sebuah novel. Semula, ada keengganan Langi untuk membaca catatan-catatan yang disodorkan sahabatnya itu. Selain Haikal memiliki keterampilan merawi teks fiksi, sehingga bisa mengembangkannya sendiri menjadi novel, Langi juga kurang merasa begitu tertarik, apalagi jika hanya berupa catatan-catatan tentang basa-basi cinta. Namun, pada akhirnya Langi tak kuasa menolak hadirnya keterkejutan-keterkejutan dan suspensi kisah yang tersirat dan tersurat di balik catatan Haikal yang sarat dengan balutan misteri itu.

Catatan Haikal –yang menjadi sekuel utama novel ini– bertutur tentang percintaan Haikal dengan Laras Sarasvati, seorang mahasiswi IKJ, yang unik dan khas. Haikal yang melankolis dan penggelisah, agaknya menjadi daya tarik tersendiri bagi Laras untuk mencintai dengan segenap ketulusan dan kesetiaannya. Haikal yang kuliah di jurnalistik, suka berpetualang, dan pintar menulis — meski tak pernah punya keinginan untuk menjadi penulis– benar-benar telah merampas ruang asmara di rongga hati Laras. Terlebih setelah kedua orang tua Laras tak kuasa menolak kehadiran Haikal. Walhasil, percintaan kedua anak muda ini pun terus melaju memenuhi sebagian dari “takdir” hidupnya.

Namun, agaknya Tuhan berkehendak lain. Haikal mesti kehilangan kekasih yang amat dicintainya itu ketika Laras dinyatakan hilang bersama kru helikopter milik Angkatan Darat dalam sebuah penerbangan di kawasan Gunung Sibayak, Sumatra Utara. Keikutsertaan Laras dalam penerbangan itu untuk mengambil gambar dari atas pesawat dalam proses pembuatan film dokumenter yang dipesan oleh sebuah BUMN. Hilangnya pesawat milik TNI-AD ini menimbulkan sejumlah tanda tanya, lantaran pihak militer tak pernah mengakui keberadaan Laras dan timnya dalam penerbangan itu. Inilah misteri yang menjadi daya tarik dalam novel ini. Pelik, melingkar-lingkar, kompleks, sekaligus memikat.

Misteri hilangnya Laras, dkk. membuat Haikal makin gelisah. Ia terus berupaya untuk menguak misteri di balik peristiwa tragis itu. Dia pun terus mengikuti berbagai pemberitaan di media massa. Berbagai upaya pun dilakukan. Haikal juga terus berkomunikasi intensif dengan keluarga Laras, IKJ, Tim SAR, dan berbagai pihak yang bisa diajak bekerja sama untuk melacak jejak Laras dan timnya. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Pihak militer terus berupaya menutup-nutupinya. Mereka tak pernah mengakui Laras sebagai bagian dari korban penerbangan naas itu. Padahal, pihak keluarga korban juga tak pernah mempermasalahkannya. Yang penting, jasat para korban bisa segera ditemukan.

Namun, apa daya! Gengsi dan citra agaknya masih menjadi nomor satu di tubuh TNI-AD. Khawatir tercoreng dan kena “aib” lantaran dianggap telah “mengkomersilkan” pesawat, pihak militer terus bersikukuh untuk menutupi keberadaan korban sipil. Merasa frustrasi, Haikal kembali berpetualang ke daerah pesisir yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Pertemuannya dengan keluarga nelayan tua memang bisa sedikit menghibur kegelisahan hatinya. Lebih-lebih Bapak nelayan tua terus memompa semangat hidupnya agar bisa segera bangkit dan bisa mengubur masa lalunya.

“Kau kesepian, Nak. Hidupmu kauhabiskan untuk orang lain. Bahkan, kau nyaris tak peduli dengan dirimu sendiri. Tidakkah kau memerhatikan orang-orang terdekatmu? Orang-orang yang tanpa kausadari selalu ada di sekitarmu? Begitu banyak, banyak sekali yang menyayangimu. Yang tidak lagi membutuhkan alasan atau pamrih untuk mencurahkan perhatian terhadapmu. Tapi kau selalu saja merasa sendiri.” (hal. 292).

“Kau bisa jika mau. Kalau alam pikiranmu bisa kauatur seperti bayi yang baru lahir, dengan segala kekuatanmu, kau akan mencapai melebihi dari apa yang bisa kau bayangkan selama ini. Dan kau akan terkaget-kaget pada dirimu sendiri. Itulah kekuatan alam pikiran.” (hal. 293-294).

Hemm … kata-kata Pak Nelayan Tua memang bisa menghiburnya. Meski demikian, segenap pikiran dan perasaannya tak juga sanggup melupakan Laras yang hampir dua tahun lamanya tak jelas diketahui nasibnya. Haikal makin tenggelam dalam keputusasaan sebelum akhirnya dia mendengar berita bahwa puing helikopter yang ditumpangi wartawan dan mahasiswa IKJ ditemukan. Berita yang dilansir stasiun TV dan berbagai media cetak itu membuat semangat dan vitalitas hidup Haikal kembali bangkit.

Haikal kembali ke “habitat”-nya; menjalin komunikasi dengan keluarga Laras dan korban lainnya, serta berbagai pihak, termasuk Mas Oki, kakak Tedi, rekan se-tim Laras dalam pembuatan film dokumenter yang naas itu. Mas Oki-lah yang dipercaya untuk menjadi negosiator dengan pihak militer untuk mengurus keberadaan korban yang konon hanya tinggal kerangka itu. Setelah melalui prosedur yang berbelit-belit, pihak militer memperbolehkan keluarga korban untuk membawa kerangka dengan berbagai syarat, di antaranya tak boleh melibatkan pers, tidak boleh ada penyambutan secara terang-terangan setelah tiba di bandara, dan kerangka tidak boleh dimasukkan ke dalam peti, tetapi dimasukkan ke dalam tas.

Tentu saja, persyaratan yang diajukan pihak militer terasa amat berat. Namun, demi menyelamatkan kerangka korban, dengan berat hati, Mas Oki menyetujuinya. Begitulah nasib para korban yang selama dua tahun lamanya dengan penuh rekayasa didesain untuk menyelamatkan institusi militer yang nyata-nyata telah memanfaatkan helikopter untuk kepentingan komersial itu.

* * *

Sebuah kisah yang menarik. Berbeda dengan novel kebanyakan yang digarap dengan alur konvensional, Epitaph dirangkai dengan menggunakan kisah berbingkai dengan pola sudut pandang “aku” yang variatif. Dalam kisah ini, tokoh “aku” setidaknya terejawantahkan melalui tokoh Langsi, Laras, dan Haikal. Ketiga-tiganya bisa menjadi tokoh sentral, tergantung pada konteks peristiwa yang diusungnya. Maka, menikmati Epitaph tak bisa dilakukan dengan “main penggal di tengah”, tetapi harus utuh dan dimulai dari awal sebagai “starting point”-nya.

Dalam pandangan awam saya, Epitaph setidaknya mewakili world-view sang penulis dalam menafsirkan berbagai fenomena hidup dan peristiwa-peristiwa keseharian yang berlangsung di sekitarnya. Dalam teks ini, kita bisa memahami bagaimana pandangan sang penulis tentang cinta dan dinamikanya, kepekaannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan sentuhan-sentuhan psikologis, bahkan juga filosofis seorang DM ketika menghadapi persoalan-persoalan hidup yang menelikung tokoh-tokohnya. Ya, ya, teks sastra memang tak pernah tercipta dalam situasi yang kosong, demikian kata Prof. A. Teeuw. Melalui perilaku para tokoh, tanpa bermaksud menggurui, sang pengarang berupaya “menggiring” pembaca untuk memasuki sebuah situasi rumit dan kompleks, sekaligus bagaimana sang tokoh menafsirkan dan mengatasi persoalan hidupnya.

Yang menarik, novel ini dilengkapi sejumlah fakta dengan memanfaatkan sumber dari berbagai media cetak, terutama berkaitan dengan hilangnya pesawat TNI-AD itu. Meski demikian, bagi saya, fiksi tetaplah sebuah fiksi. Se-akurat dan se-sahih apa pun fakta-fakta yang disuguhkan, novel tak pernah terlepas dari sentuhan intuisi, imajinasi, kreasi, dan stilistika sang pengarang. Dalam konteks demikian, DM bisa dibilang berhasil dalam meramu fakta dan fiksi hingga akhirnya menjadi suguhan kisah berbingkai yang menarik, tidak kenes, dan sanggup menghindar dari kesan vulgar dan artifisial. Peristiwa demi peristiwa mengalir secara wajar dan enak dibaca. Kehadiran tokoh Haikal dan Laras Sarasvati telah mampu membuka mata pembaca akan pentingnya menjaga nilai-nilai kesejatian hidup manusia sebagai mahluk yang bermartabat.

Sayangnya, kalau boleh dianggap ini sebagai sebuah kekurangan, novel menarik ini belum diimbangi dengan akurasi penulisan ejaan dan desain grafisnya. Masih banyak kalimat yang diawali dengan huruf kecil, cover-nya juga menggunakan corak font yang kurang padu dengan latarnya. Latar gelap dengan font warna hijau atau kuning, menurut hemat saya, terkesan kabur, sampai-sampai endors Gerson Poyk pun (nyaris) tak terbaca. Yang agak mengganggu, ilustrasi kisah antara Haikal dan Laras Sarasvati ketika mereka masih di bangku SMA terkesan agak berlebihan. Narasi dan dialog pada halaman 77-81, misalnya, kembali diulang pada halaman 247-251.

Meski demikian, secara keseluruhan Epitaph tetap menunjukkan totalitas seorang DM yang ingin tampil menjadi “dirinya” sendiri. Meski bayang-bayang almarhum Pramudya Ananta Toer –sastrawan yang diidolakannya– belum sanggup ditepisnya, Epitaph tetap menyisakan daya tarik kreativitas, sentuhan intuisi, imajinasi, dan stilistika yang tampil beda. Yang ingin melacak lebih jauh jelajah kreativitas DM, membaca dan memiliki novel ini menjadi sebuah keniscayaan, apalagi Epitaphdidesain untuk menjadi bagian dari novel trilogi bersama Epigraf dan Epilog! Nah, sudahkah Sampeyan memilikinya? ***

________________

* Penulis, Guru SMP 2 Pegandon Kendal, Jawa Tengah.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dan lengkap dari ulasan ini tetap mesti dilihat di blog Catatan Sawali Tuhusetya.