Kegelisahan, Seperti Sebuah Pengadilan

Ulasan Selamat Datang di Pengadilan | #9

Oleh Anne Rufaedah

Judul: Selamat Datang di Pengadilan (Kumpulan Cerita Pendek)
Penulis: Daniel Mahendra
Penerbit: Malka
Cetakan: Cetakan pertama, September 2001
Tebal Buku: 107 hal
ISBN: 979-96528-0-4

“Karena dengan menulis aku merasa berbicara, bercerita, mengadu, menangis, merenung, tertawa juga mempertahankan labirin hidup”

Ya, mungkin apa yang dirasakan Daniel Mahendra, penulis “Selamat Datang Di Pengadilan” akan dirasakan pula oleh pembacanya. Buku kumpulan cerpen ini membutuhkan berbulan-bulan pembuatannya sebelum siap dilumat oleh pembaca. Jangan salah mengira jika lamanya pembuatan buku kumpulan cerpen ini karena penulis sibuk mengisinya dengan pasal-pasal, ayat-ayat, undang-undang atau tetek bengek yang biasa disebutkan di setiap berita kriminal pada media massa. Lama pembuatan disebabkan penulis sedang meramu berbagai rasa dan kejadian yang menarik di dalam setiap cerita pendeknya.

Pengadilan. Jangan bayangkan cerita pada buku akan seperti layaknya di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama atau di Pengadilan manapun. Bukan.

Disebut pengadilan, karena di tiap cerita, Daniel menghadirkan situasi pengadilan untuk tindakan-tidakan yang dilakukan oleh tokoh. Pengadilan yang membuat pembaca ingin menggerutu dan merasa gemas. Saya dibuat jumpalitan. Antara membaca sebuah kesenangan, kebanggaan, percintaan, kesedihan, keruwetan, bahkan kekonyolan. Sebelas cerpen di buku ini diakhiri dengan akhir cerita yang mengejutkan bagi saya. Mungkin sebagai pembaca, anda akan tak habis pikir dengan apa yang anda baca.

Cerpen “Selamat Datang Di Pengadilan”, sebuah penggalan kehidupan yang dipotret dalam cerpen-cerpen ini memiliki pengadilan terhadap sesuatu. Pengadilan yang didapat disini seringkali diceritakan pada akhir cerita setelah para pembaca dimanjakan dengan kekonyolan atau keruwetan pikiran tokoh.

Cerita pendek yang menggambarkan keruwetan terdapat pada cerpen dengan judul “Cerita Abad Baru”. Cerpen ini bercerita bagaimana sepasang kekasih ini terjebak pada keadaan yang tak memungkinkan mereka untuk menikah karena suku mereka yang bertentangan dan saling berseteru. Padahal sang wanita sedang mengandung sang jabang bayi. Adu argumen terjadi tidak hanya menyangkut calon bayi namun menyangkut bagaimana bangsa ini dan masyarakat ini menyikapi Bhineka Tunggal Ika. Meski cerita ini dibuat pada tahun-tahun lalu namun perkataan dan pemikiran tokoh masih berlaku pada saat ini. Inilah yang membuat adu argumen yang terjadi diantara mereka bisa membawa saya merenung dan hanyut dalam pikiran tokoh. Seperti pada penggalan perkataan salah satu tokoh ini :

“Kalau hanya menangis, barangkali pemerintah pun menangis, Man. Tapi lantas apa? Menangis tidak menyelesaikan apa-apa. Rasa kasihan adalah bermegah-megah dengan perasaan. Apa yang dapat kita lakukan jika kita merasa kasihan pada seorang nenek renta gelandangan yang kebetulan kita lihat tidur di emperan toko Jalan Braga saat dini hari? Ada? Apa yang bisa kita lakukan pada seorang nenek renta yang setengah telanjang menari-nari di depan Gedung Merdeka Jalan Asia Afrika? Ada? Apa yang bisa kita lakukan pada seorang lelaki invalid yang terseok-seok di perempatan Jalan Ahmad Yani-Martadinata? Ada? Rasa kasihan tidak membuat secuil perbedaan. Kasihan adalah bermegah-megah dengan perasaan. Untuk hal seperti itu, aku lebih percaya tindakan ketimbang rasa”.

Lalu, bagaimana akhir perdebatan mereka? Anda boleh menerka-nerka. Namun, jangan lupa penulis pandai membuat akhir yang bisa membuat anda menggerutu setelahnya.

Ada pula cerpen ”Bangsaku Yang Fasis” yang menceritakan tentang sekumpulan mahasiswa pendemo yang dianggap sebagai pembela rakyat. Namun malah bersifat sebaliknya ketika menjadi kakak senior pada acara pengenalan kampus. Perpeloncoan menjadi aktifitas dalam penyambutan mahasiswa baru. Di tengah aktifitas itu ada mahasiswa baru yang mencoba menuntut arti dari sikap semena-mena mereka. Penyiksaan pun terjadi. Sangat tak bermoral bahkan penulis pun tak tega menuliskannya. Pengadilan seperti apa yang akan diceritakan Daniel?

Keseluruhan dari sebelas cerpen Buku “Selamat Datang Di Pengadilan” cukup asyik untuk dibaca. Sang penulis memang telah matang memainkan imajinasi,  dan gaya berceritanya. Karena buku ini dibuat tidak main-main, buku kumpulan ini hampir membuat pembaca hanyut dalam ceritanya.

Semua cerita pendek memang melihatkan pengadilan di berbagai situasi namun seperti itulah kehidupan. Akan selalu berjalan dengan pengadilan yang datang dari sisi manapun, dari siapapun, dan bagaimanapun. Hidup yang tidak pernah kita sangka-sangka sebelumnya. Pengadilan adalah salah satu bagian dari kehidupan, seperti itulah Daniel menggambarkan setiap ceritanya.

Dan selamat membaca.

_________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di binaryupdate.org [4 April 2017].