Lancarnya Pendarasan Narasi Personal

Ulasan Epitaph | #14

Oleh Amang Suramang

Epitaph, novel pertama dari trilogi yang ditulis Daniel (Chandra) Mahendra ini, sekilas menjanjikan cerita yang luar biasa. Bagaimana tidak? Di sampul belakang buku ini, pembaca disodorkan sebuah premis yang begitu kuat: sepasang kekasih, Laras dan Haikal, memutuskan untuk mengekalkan hubungan mereka, tetapi Laras meninggal tragis dalam kecelakaan helikopter di Sibayak. Bukan hanya itu! Saat aku datang ke peluncuran buku ini, aku cukup terkejut saat mengetahui dari mulut si penulis bahwa di balik karya fiksi ini sesungguhnya adalah sebuah kisah nyata. Wahai! Tentulah ini akan jadi kisah fiksi yang hebat! Penulis tak perlu mereka-reka, tinggal menggali emosi lebih dalam. Apalagi ada endorsement di sampul buku yang mengatakan super jelas, “ini kisah tragis!”, maka dengan sengaja aku siapkan satu boks tissue. Aku sudah siap untuk berurai airmata.

* * *

Aku ingin mengawalinya dengan mengatakan ini: Realita adalah serangkaian narasi yang disampaikan kepada kita. Setiap hari dalam hidup kita, disodorkan berbagai peristiwa-peristiwa yang berkelebat cepat, mengelilingi, atau bahkan menghampiri kita. Semua peristiwa ini terjadi sungguhan, tetapi ia menjadi realita saat ternarasikan. Sekiranya tanpa narasi, peristiwa-peristiwa itu bisa jadi tak bermakna apa-apa.

Dari dulu sampai sekarang, kita sering mendengar cerita-cerita tragedi. Yang melibatkan kecelakaan, penyakit, bencana, musibah, dan lain-lain. Semua peristiwa itu tidak terjadi pada kita, tetapi bila ternarasikan dengan baik, seolah-olah kita ikut mengalaminya juga dan ikut merasakan kepedihan yang dialami oleh para korbannya. Berempati pada tokoh dan kejadian yang melandanya.

Begitu pula dengan Epitaph ini. Dalam novel ini, ada narasi personal yang coba dihadirkan. Narasi inilah yang kelak diharapkan bisa digunakan untuk menjelaskan sikap, posisi, dan gejala kejiwaan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa yang terjadi. Penulis sengaja meminjam fisik fiksi, yang barangkali jenis kelamin dan namanya tidak sama, tetapi sejatinya menggambarkan seseorang yang “dulunya” benar-benar ada.

Dulu? Benar, karena nama Laras Sarasvati tentulah bukan nama sebenarnya. Seharusnya dia adalah Diaz Barlean, kakak si penulis sendiri. Birhi Lantang adalah Burhan Piliang, wartawan dan tokoh seniman di Medan. Tedi adalah Temi Setiawan, teman Diaz sesama mahasiswa IKJ jurusan FFTV. Ketiga nama sejati mereka sudah menghiasi narasi besar, dalam dokumentasi media massa yang masih bisa kita lacak keberadaannya.

Bila kemudian, nama-nama ini disamarkan, diganti dengan jenis kelamin lain, dipelintir sedikit dengan jalinan kisah dengan Haikal — yang kuduga adalah personifikasi si penulis sendiri — itulah licentia poetica. Narasi kecil atau narasi personal ini silakan saja terjadi, bila perlu.

Aku berpikir, dengan narasi personal dan segudang narasi besar yang sudah memberi landasan pada novel ini, sungguhlah mulus perjalanan kreatif Epitaph ini. Apalagi bibitnya sudah lebih dulu muncul dalam bentuk cerpen berjudul “Peristirahatan Abadi” dan kemudian dimuat lagi dalam kumpulan cerpen Selaamt Datang di Pengadilan. Kemulusan itu ternyata terbukti, sebagaimana penulis berani mencantumkannya dalam kerah sampul bagian depan: hanya perlu satu bulan untuk menuliskannya. Wow! Maka dengan semangat, aku selesaikan novel ini.

* * *

Begitu aku selesai membacanya, ternyata tissue yang kusediakan tidak kugunakan selembar pun. Maka kugunakan waktuku untuk mencari bahan-bahan yang sekiranya dibutuhkan untuk menulis novel ini. Tentu tidak seserius penulis, tetapi kira-kira ini hasil pencarianku: tumpukan foto-foto korban dengan Helikopter TNI jenis Bolkow BO-105 HS7112 buatan PT. DI berdasarkan lisensi dari Messoshmit Bolkow Blohm (BMM), Jerman tahun 1988, foto-foto heli berikut analisis kekuatan tempurnya, sejumlah berita koran, kisah tentang “Badai Rimba 1984?. Dan aku tetap berpikir, Daniel Mahendra punya bahan dan premis yang luar biasa.

Ia bisa terang-terangan mengungkapkan kejadian ini dalam bentuk in-depth reportase, feature, atau memoar yang menelanjangi “bisnis persewaan helikopter” yang ilegal di dalam tubuh TNI-AD. Tapi itu semua tidak ia lakukan dengan alasan yang ia ajukan di saat peluncuran: “Puluhan media, saat itu sudah menulis. Namun siapa yang masih ingat? Pram juga menulis sebuah novel, dan mengapa kok menulis novel? Kenapa bukan sejarah? Jika sejarah, siapa yang mau baca? Novel, usia berapapun bisa mengkonsumsi novel, dapat disimpan dan dikenang sampai kapanpun. Tulisan jurnalis akan terlupakan karena tertumpuk oleh berita-berita baru yang lebih layak untuk diberitakan.”

Novel ini punya potensi melakukan apa yang dulu dikredokan Seno Gumira Ajidarma, “saat jurnalisme dibungkam, sastra berbicara”. Itulah juga yang dikatakan kawan penulis, Sihar Ramses dengan mengungkapkan, “Inilah sebuah pembocoran paling kuat yang terjadi dalam suatu karya sastra. Dalam jurnalisme, pengungkapan sering tak bertahan lama, karena kemudian tertutup oleh berita lainnya yang lebih layak menjadi berita. Kekuatan buku sastra adalah bisa menuliskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejadian atau sejarah yang ada pada saat itu.”

Jadi Epitaph memiliki semua itu. Tetapi mengapa aku berpikir narasi personalnya terasa kurang ya: jangan-jangan cara bernarasinya yang ragu-ragu. Sebut saja kalau BUMN yang dimaksud itu PLN, nama panglima Bukit Barisan I yang seharusnya bertanggungjawab. Bongkar semuanya tanpa takut. Atau sekalian jadikan semuanya serba fantasi, bila ragu. Ini bukan soal balas dendam, tetapi soal “realita yang kurang tersampaikan dengan baik” kepada pembaca, sampai-sampai aku tak menemukan kata-kata yang memiliki gaung ke sanubariku, kata-kata yang menyampaikan pesan “khusus” penulis kepada pembacanya. Terus terang sebagai pembaca, aku menuntut itu.

__________________

* Moderator Goodreads Indonesia 2010, tinggal di Jakarta

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari ulasan ini di-posting di goodreads dan di blog sudahkahkaubaca.multiply.com [26 Januari 2010].