Niskala [06]

Ulasan Niskala | #17

Yanet Fawza Akbar
Wartawan Suara NTB, tinggal di Mataram

Semua dan segala sesuatu yang sudah, sedang, dan akan terjadi selalu menyimpan alasan tertentu bagi kehidupan. (Halaman 61)

Niskala adalah buku kedua Daniel Mahendra yang aku baca setelah Perjalanan ke Atap Dunia. Latar tempat di novel ini juga berlokasi di Tibet, khususnya Everest Base Camp.

Niskala mengisahkan tentang Galang, seorang penulis yang memutuskan untuk merandai negara impian untuk memenuhi janjinya kepada sang kekasih, Sanggita yang batal dinikahinya. Perjalanan yang dilakukan Galang juga dalam rangka mengobati kegalauan hatinya karena Sanggita mengalami amnesia parsial akibat abses otak pascakecelakaan. Padahal sebelumnya pernikahan mereka telah ada di depan mata. Tapi siapa yang bisa menduga, rencana Tuhan berkata lain.

Walaupun sub judul buku ini disebutkan “Kisah tentang Cinta, Keyakinan dan Perjalanan Keliling Dunia”, tapi kisah yang paling banyak dieksplorasi adalah kisah percintaan Galang dan Sangggita, mulai dari proses perkenalan, kedekatan, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk melangkah ke gerbang pernikahan. Bagian perjalanan keliling dunianya tidak banyak dibahas, menurutku hanya sebagai pelengkap saja. Khususnya di bab awal dan terakhir, pada saat Galang berada di Everest Base Camp bersama beberapa pejalan dari berbagai negara seperti Juan (Kolombia), Joshua (Israel), Eva (Denmark), Erick (Prancis), Tan (Malaysia), dan Dan (Kanada).

Galang berkenalan dengan Sanggita pada saat acara peluncuran bukunya berjudul Epitaph. Sejak pertemuan pertama itu, Galang menyukai Sanggita. Sanggita digambarkan sebagai perempuan yang sederhana, cerdas, membumi, dan pecinta buku. Tak disangka sebelumnya ternyata Sanggita juga seorang dosen di University of Stuttgart, Jerman, disamping juga dosen tamu di beberapa negara Asia. Itulah yang menambah kekaguman Galang pada Sanggita. Meski memiliki karier yang cemerlang, di Indonesia, Sanggita juga dosen di Universitas Indonesia, ia tetap sederhana dan beda dari perempuan umumnya.
Sanggita berasal dari keluarga yang menganut sebuah aliran Sahitya. Disebutkan di buku ini, Sahitya adalah sebuah aliran dalam agama Islam. Saya sempat googling apa itu Sahitya, tapi nggak nemu, mungkin itu cuma rekaan di novel ini. Tapi ternyata yang mengagetkan Galang, Sanggita adalah seorang agnostik, dia tetap percaya eksistensi Tuhan, tapi tidak melakukan ibadah atau ritual yang diajarkan agama manapun. Hubungan Galang dan Sanggita tak disetujui orang tua Sanggita. Sanggita hanya diizinkan menikah dengan laki-laki yang berasal  dari golongan Sahitya. Disinilah hubungan mereka diuji.

“Tak ada cinta yang tak konyol. Setiap orang yang jatuh cinta, selalu terjerembab ke dalam kekonyolan. Tetapi itulah satu-satunya pertanda bahwa ia masih pantas disebut manusia.”(Halaman 162)

Surprisingly, latar tempat novel ini tak hanya Jakarta, Bandung, dan Tibet, tapi juga Lombok lho. Pada saat Galang bimbang dan bingung dengan kelanjutan hubungannya dengan Sanggita, ia datang ke Lombok dan mendaki Rinjani sekaligus memotret ritual Mulang Pekelem di Danau Segara Anak yang merupakan ritual tahunan umat Hindu. Galang mendaki Rinjani bersama rombongan bule yang merupakan tamu dari trekking organizer temannya, Ganes. Mereka menaiki Rinjani melalui pintu masuk Senaru. Pendakian singkat ini juga diwarnai cinta lokasi antara Galang dengan cewek Prancis, Blendine. Cinta lokasi di tengah perjalanan disebut Blendine sebagai “Romantika perjalanan di kala kesepian.” Ada dua bab dalam buku ini yang menjadikan Lombok, Rinjani khususnya sebagai latar tempat yaitu Pranama dan Wisapaha.

Buku ini diceritakan dengan plot campuran, dimana kisah dimulai ketika Galang bercerita kepada Juan pada saat di Everest Base Camp alasannya melakukan perjalanan atau flash back kisah Galang-Sanggita (Bab Pawana). Bab penutup (Wasana) adalah pada saat Galang usai bercerita dan berpisah dengan Juan bersama rekan perjalanan lainnya setelah turun dari Everest Base Camp dan masing-masing mereka melanjutkan perjalanan ke negara lain dan ada yang kembali ke negara asal.

Sama seperti buku Daniel Mahendra sebelumnya, di buku ini aku banyak menemukan kosakata baru. Pada saat membaca buku ini  beberapa kali aku harus bolak balik buka KBBI. Misalnya seperti kata bumantara (awang-awang), pagan (kuat, teguh, kukuh), jumantara (langit, udara), takrif (pemberitahuan, pernyataan), raksi (wangi), berkecandan (bersenda gurau), nyenyat (sunyi, senyap, hening), mencelat (terpelanting jauh), macis (korek api), ripuh (repot), sekubit (sedikit sekali), lemau (lunak), dan lenyai (lemah, kendur, lembek). Bab di buku ini juga dinamai dengan kata dari bahasa Sansekerta, dan di bagian belakang ada glosarium yang menerangkan arti bab-bab tersebut. Ada beberapa typo yang aku temukan seperti Mbah tapi ditulis Mbak Kakung (174), mdpl ditulis mdpi, dan putus asa ditulis putus aja (368).

Buku ini aku baca seharian, dari pagi sampai sore. Sempat juga  diselingi tidur siang. Karena penasaran dengan kisah Galang-Sanggita, akhirnya cepet deh tamatnya. Tapi masih penasaran gimana kisah Sanggita-Galang selanjutnya. Ada lanjutannya nggak yah? Colek mas Daniel Mahendra. Hehehe. Oh iya, di buku ini aku malah jatuh cinta sama sosok Juan, suka cara ngomongnya dan dia cowok yang baik. Buku ini dipersembahkan penulisnya sebagai mahar pernikahan untuk isterinya Lita Soerjadinata. So sweet.

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di akuyanet.blogspot.com [Selasa, 7 April 2015].