Niskala: Sebuah Resensi

Ulasan Niskala | #2

Icha Planifolia
Apoteker, tinggal di Cimahi

Judul        : Niskala (Kisah tentang Cinta, Keyakinan, dan Perjalanan Keliling Dunia)
Penulis     : Daniel Mahendra
Penerbit   : Qanita
Cetakan   : Juli 2013 (Cetakan I)
Tebal        : 388 h

Pertama kali saya berkenalan dengan karya seorang Daniel Mahendra adalah pada April 2012. Saya hadir di launching bukunya : Perjalanan Ke Atap Dunia (Resensinya bisa dilihat di sini). Kemudian akhir 2012, saya ketahui Oom DM (begitu saya menyapanya) tengah merawi sebuah novel. Konon, novel tersebut akan jadi mahar pernikahannya dengan Tante Lita Soerjadinata. Dan inilah Niskala!

Beberapa tokoh dan tempat di novel ini dimunculkan Oom DM nyaris sesuai aslinya. Saya sempat tertawa-tawa, bahkan pada part yang -mungkin- bagi orang lain tidak lucu. Dan memang nyaris keseluruhan novel ini ‘serius’. Tapi, demi terbayang keadaan aslinya, terbayang sosok orang-orang yang sebagian saya kenal, maka kisah di novel ini pun menjadi terasa lain.

Membaca novel ini, saya sulit membebaskan diri bahwa Galang bukanlah Daniel Mahendra. Bagaimana pun novel ada dalam bingkai fiksi. Berbeda dengan karya sebelumnya yang berbentuk memoar. Namun, saya tetap merasa bahwa Galang adalah Oom DM. Seolah ini adalah autobiografi.

Adalah Galang, seorang pejalan yang juga seorang penulis. Langkahnya membawa ia hingga ke Everest Basecamp. Di sana, ia terserang Accute Mountain Sickness. Hal ini memicu keributan antar teman seperjalanannya. Karena suasana memanas, akhirnya Juan -pejalan kolombia yang tinggal di New York- mengusulkan jika ada yang ingin berjalan lebih dulu dipersilakan, pun jika memilih menunggui Galang. Semuanya memilih menunggu. Joshua,traveler asal Israel kesal bukan kepalang karenanya. Bahkan Joshua mengatai Galang, “Kamu payah, Indonesia!” (hal. 19), kalimat itu menyulut emosi Galang. Nyaris terjadi keributan antar Galang dan Joshua, seandainya yang lain tak berusaha keras melerai.

Diantara teman seperjalanannya, Galang memang lebih akrab dengan Juan. Sejak awal berkenalan, Galang merasa bahwa Juan berbeda. Mulai dari saling membantu saat masing-masing mereka terserang Acute Mountain Sickness(AMS), hingga kejadian yang membuat Galang banyak belajar. Suatu sore di kota Old Tingri, Juan membelikan makanan untuk dua orang pengemis. Satu porsi makanan itu, bahkan harganya tiga kali lipat dari yang dipesan pemuda itu untuk dirinya sendiri (selengkapnya di Hal. 30-31). Hal ini meneguhkan pandangan Galang tentang Juan : pemuda Amerika itu memang berbeda. Maka, pada Juan Galang mengisahkan apa yang sudah dialaminya. Di sinilah kisah di novel ini dimulai.

Adalah Sanggita. Perempuan yang dalam benak Galang begitu sederhana, namun misterius. Dikenalnya pada acara launching bukunya. Sejak kali pertama berkenalan, nyaris dua tahun mereka tak berkontak. Sampai kesempatan untuk kembali berkomunikasi itu datang. Saat Galang kembali menerbitkan buku, catatan perjalanannya menyusuri seluruh jalur kereta api Jawa-Sumatera. Sanggita memintanya untuk mengadakan talk show di radio. Ya, Sanggita seorang penyiar radio. Siapa sangka, ternyata perempuan yang tampak sederhana itu juga aktivis sebuah LSM. Bahkan tak hanya itu, ia seorang penerjemah, pun dosen di University of Stuttgart, Jerman. Tapi, pernahkah Sanggita menunjukkan itu? Tidak sama sekali. Perempuan itu jauh dari hingar-bingar selebrasi. Hal ini terbaca dari dialog Galang dan Sanggita di Hal. 46. Hal tersebut mengukuhkan kekaguman Galang pada Sanggita. Lalu semesta seolah menyediakan banyak peristiwa yang membuat mereka kian akrab. Bahkan mereka berjanji untuk melakukan perjalanan bersama ke Machu Picchu, Peru.

Namun kebersamaan bersama Sanggita, membuat Galang berpikir ulang. Galang selama ini mengabaikan pernikahan dan hanya berpikir tentang bekerja, melakukan perjalanan, dan menulis. Namun, Sanggita meengubah semuanya. Perempuan itu berhasil membuat Galang mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Menikahi Sanggita! Keputusan yang diambil Galang setelah gamang saat mendengar Sanggita mendapat tawaran menjadi dosen tetap di Jerman. Sahabat baik Galang, Mas Hendra namanya, berhasil meyakinkan bahwa perempuan hanya butuh kejelasan. “….kalau di sini dia punya masa depan, dia akan lebih memilih tinggal di Indonesia.” (Hal. 110) Bukankah setiap perempuan memang butuh kejelasan?

Tapi, ternyata Sanggita dari keluarga yang tak mengijinkan anggotanya menikah dengan orang di luar keyakinan mereka : Islam Sahitya. Keyakinan yang belakangan mendapat perlakuan yang tak patut. Hal ini membuat Sanggita gamang dan mencari hal-ihwal Tuhan. Sebelum akhirnya Sanggita memilih mengagungkan Tuhan dengan cara yang tak lagi sama dengan keluarganya. Menjadi seorang agnostik. Novel ini mengajak kita lebih bijak memandang perbedaan. Mengajak kita tak lantas menyatakan diri kita benar, dan yang lainnya salah. Membaca novel ini memberi ruang untuk berdialog, bukan dengan siapa pun, melainkan dengan diri kita sendiri. Membaca novel ini mengingatkan saya pada pernyataan seorang musisi indie asal Bandung, Fiersa Besari:

“Kebaikan tidak mengenal suku, agama, ras, golongan dan gender. Membenci seseorang karena hal-hal tersebut hanya membuktikan pikiranmu sempit.“

Bagi saya, ini salah satu pesan penting yang ingin disampaikan seorang Daniel Mahendra. Namun, tentu saja bukan berarti kita serta-merta mengesampingkan ritual. Saya kira, ini adalah sikap kritis penulis mengamati kondisi yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Bahwa semakin beragama seseorang, semestinya semakin bijak dan membumi. Kira-kira begitu pesan yang saya tangkap.

Lalu apakah Galang tak bergeming dengan kondisi itu? Tentu saja Galang jadi bimbang. Sebelum akhirnya meneguhkan hati untuk tetap menikahi Sanggita. Tapi, justru setelah tekad itu bulat, Sanggita mengalami amnesia parsial! Jangankan mengingat Galang sebagai calon suaminya, sekadar mengingat ada manusia bernama Galang pun Sanggita tak mampu! Lalu Galang memutuskan kembali melakukan perjalanan. Perjalanan yang diniatkannya untuk memenuhi janjinya pada Sanggita. Perjalanan dengan akhir yang bahkan masih samar dalam benak Galang.

Di akhir kisah, Galang menyadari bahwa ia tak bisa terus berjalan. Pada satu titik, ia harus pulang. Atau bahkan mungkin, ia butuh pulang. Dan ada yang membutuhkannya agar ia segera pulang. Novel terbaru Daniel Mahendra ini mengajak kita memaknai kata pulang jauh lebih dalam.

“…Pulang adalah kata paling indah yang dimiliki seorang petualang ketika ia telah tahu jalan menuju pulang.” (Hal. 383)

Kata pulang jadi terasa lebih sakral. Tak sekadar kembali dari perantauan, perjalanan, atau sekadar mengunjungi rumah. Tetapi tentang sebuah pencarian yang usai. Menemukan tempat dimana kita merasa cukup, nyaman, dan bahagia. Menemukan tempat yang boleh jadi untuk memperolehnya kita rela berkompromi, bahkan dengan ego kita sendiri. Daniel Mahendra menyebutnya : muara segala kasih tak berpamrih.

Terlepas dari mengagumkannya novel ini, ada dua hal yang sedikit mengganggu saya. Pertama, beberapa kekeliruan pengetikan. Kedua, pertanyaan yang belum terjawab : mengapa judulnya ‘….perjalanan keliling dunia’? Dalam benak saya yang awam ‘keliling dunia’ berarti menjelajahi dunia. Tokoh Galang hanya mengunjungi beberapa tempat saja. Memang berbeda negara. Apakah itu sudah termasuk keliling dunia?

Baiklah, selamat berkontemplasi bersama Niskala! Selamat membuat peta, menemukan rute menuju dermaga, dan pulang! Terakhir, tentu saja, selamat membaca!

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di travenita.wordpress.com [Selasa, 20 Agustus 2013].