Perangkap Epitaph

Ulasan Epitaph | #3

Oleh Surya HR Hesra

Berapa kali sudah membaca Epitaph? Sekali? Dua? Tiga? Tentu masing-masing punya jawaban sendiri-sendiri. Saya sudah membacanya lebih 10 kali. Tak lazim untuk sebuah buku yang belum lagi sebulan berada di tangan. Tapi begitulah adanya. Apakah karena buku itu demikian bagusnya? Aha… tunggu dulu, terlalu dini menyatakan demikian.

Yang jelas, siapapun akan sepakat kalau novel ini menarik, ‘berisi’, tidak sekedar sebatas hiburan, tetapi ada banyak hal yang bisa diperoleh dengan membaca Epitaph (saya rasa ini cukup berhasil, sesuai dengan monolog Langi, hal.351). Pengetahuan, terlebih mengenai sinematografi, begitupun nilai-nilai kemanusiaan yang disusupkan penulis menjadi point lebih untuk novel ini. Rasa-rasanya, semua pembaca akan sepakat dengan hal itu.

Bab Sinematografi adalah bab yang luar biasa bagi saya, karena penulis mampu menuangkan pengetahuannya akan film dengan mengalir, terbaca lugas, seperti bercakap sehari-hari.

Yang menarik adalah ada semacam perangkap bagi pembaca untuk bisa membedakan mana yang fiksi dan mana yang nyata, terlebih, penulis dengan berani mencantumkan tanggal peristiwa berikut nama institusi atau organisasi-organisasi terkait, meski penamaan tokoh ada yang disamarkan.

Sayangnya, bertumpuk bahkan berjejal data yang dimuat, membuat novel ini terkesan pepak. Artinya, data demi data yang tertuang dalam tulisan, terkesan monoton.

Mengapa monoton? Saya merasa penulis kurang memberikan sentuhan pada data-data tersebut (pada bab 7). Saat membacanya, saya membatin, ‘kenapa begitu irit respon Langi terhadap data yang baru di bacanya?”. Pada halaman 305-308, bahkan sama sekali tidak ada respon dari Langi.

Hal monoton lain yang saya temui, yaitu ketika penulis bercerita tentang Birhi Lantang lewat percakapan antara Haikal dan Nadira (hal.230-233). Meskipun itu merupakan monolog Haikal (yang dibaca Langi), tetapi menurut saya, alangkah lebih menarik jika dialog antara Haikal dan Nadira lebih digali. Terutama, saat Nadira menceritakan atau mengenang tentang suaminya, Birhi Lantang. Supaya saat membaca halaman itu (juga halaman sebelumnya) tidak seperti sedang membaca sebuah biografi seseorang. Seandainya bisa dibuat macam Bab Sinematografi, tentu akan sangat menjanjikan novel ini.

Terus terang saja, ekspektasi saya besar terhadap novel Epitaph pada awalnya. Barangkali, saya termasuk diantara sekian banyak yang menanti novel ini terbit dan edar, setelah membaca serialnya di blog PK.

Setelah membacainya berkali-kali, saya masih saja merasa bahwa novel ini terkesan terburu-buru, gopoh. Selain beberapa redaksional yang salah ketik, pemilihan font warna kuning (untuk kalimat dari Gerson Poyk) yang justru membuat tak terbaca jelas, begitu pula dengan isi cerita. Seperti misal, ada beberapa cerpen yang dimasukkan. Bagi saya pribadi, tampak seperti dipas-paskan (tapi barangkali ini karena saya telah membacanya di blog PK dalam tulisan yang terpisah dengan Epitaph). Satu lagi, ada kesan bertele-tele saat menceritakan tokoh Laras yang akan masuk IKJ, begitu juga dalam masa pacaran dengan Haikal.

Saya memang bukan siapa-siapa, barangkali tak layak mereview buku ini, hanya seorang pembaca yang menikmati apa yang saya baca. Saya hanya pembaca awam yang dengan jujur mengemukakan apa yang saya dapati dari buku yang saya baca. Beruntung juga tidak mengenal dekat penulis, sehingga saya merasa bebas memberi pendapat akan Epitaph ini.

Buku ini sangat saya rekomendasikan, karena bagian akhir buku ini (yang sialnya :D ) sangat menjanjikan cerita yang jauh lebih seru di novel lanjutannya (karena Epitaph adalah buku pertama dari trilogy Epitaph, Epigraf dan Epilog). Ironisnya, buku ini bukan buku yang bisa dibaca dengan pola acak, terlebih langsung baca ke bagian akhir, sama saja konyol. Pembaca harus membaca dari awal. Jadi, jangan baca buku ini, kalau tidak mau terjebak dalam perangkap Epitaph!

Magic,

________________

*  Penyiar Radio, Wartawan, dan Mahasiswi Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian Agronomi, Universitas Tanjungpura, tinggal di Pontianak.