Perjalanan ke Atap Dunia [14]

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #46

Oleh Dini Novita Sari

Jika kita punya mimpi, jangan hanya terus dimimpikan. Mulailah untuk menyusun rencana untuk mewujudkannya. Terlebih, mimpi masa kecil. Apakah kamu masih mengingat impian masa kecilmu? Apa yang ingin kau lakukan ketika telah beranjak dewasa? Daniel Mahendra masih mengingatnya. Dia ingin menjejaki tanah Tibet, sejak keterpukauannya akan cerita si Tintin. Tetapi Daniel Mahendra sadar, bahwa mewujudkan mimpinya tidaklah semudah saat memimpikannya. Daniel sadar untuk menuju Tibet membutuhkan dana yang tidak sedikit, juga beberapa peraturan yang tidak membuatnya semakin mudah. Sampai seorang kawan datang dan menyadarkannya kalau tidak ada mimpi yang tak bisa diwujudkan, asal kita mulai mengusahakannya dari satu langkah kecil.

Setidaknya, Daniel berpikir jika melakukan perjalanan bersama kawannya ini, bebannya akan berkurang karena tidak perlu memikirkan segala sesuatunya sendirian. Maka mereka berdua pun mulai menyusun rencana demi rencana, mengumpulkan informasi demi informasi, bahwa perjalanan ke Tibet itu sangat mungkin dilakukan dengan dana yang hemat. Mereka mulai mendaftar nama-nama maskapai penerbangan untuk mencapai dataran tertinggi di dunia itu, serta travel agent yang dapat memfasilitasi mereka. Ya, untuk berkunjung ke Tibet, wisatawan harus mendapatkan travel permit, tidak dapat berkunjung secara independen. Nah, ketika persiapan demi persiapan mulai terbentuk, datang kabar tidak mengenakkan bagi Daniel. Kawannya itu akhirnya memutuskan untuk mundur, karena pekerjaan dan urusan pribadinya membuatnya harus bepergian ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke Benua Eropa.

Apakah Daniel mundur seiring dengan kawannya tersebut membatalkan keberangkatannya? Jika ya, maka tak akan ada buku berjudul Perjalanan ke Atap Dunia ini. Maka buku ini akhirnya mengisahkan bagaimana perjalanan Daniel menuju Tibet. Buku ini disusun secara naratif, dengan menceritakan pula persiapan-persiapan praktis yang dilakukan oleh Daniel. Bagaimana pengalamannya saat menginap di bandara, melakukan perjalanan berhari-hari di dalam kereta, hingga akhirnya menjejak Tibet. Bagaimana Daniel berjuang untuk mengadaptasikan fisiknya, ketika dia pun sempat terserang penyakit ketinggian; juga kawan-kawan baru yang awalnya asing, hingga menjadi sekumpulan sahabat perjalanan nan akrab. Nah, dalam ceritanya pun disisipi cerita roman dengan seorang gadis Prancis yang ditemuinya paska perjalanan utamanya dari Tibet.

Bagaimana kesan saya terhadap buku ini? Ya sebenarnya secara keseluruhan buku ini menarik. Memadukan antara pengalaman-pengalaman menarik penulis dan juga informasi-informasi yang dibutuhkan para pejalan hemat. Tetapi, ya, seperti kebiasaan saya saat membaca buku, hal-hal teknis tak luput dari perhatian saya. Banyak penulisan yang tidak baku, atau tanda baca yang tidak pas. Juga, hm, di beberapa bagian saya merasa penulis bekerja keras sekali untuk membuat pembacanya terkesan akan ceritanya. Ini yang membuat saya terganggu, ketika Daniel transit di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, dia memutuskan untuk menginap di sana untuk menghemat anggaran. Nah dia pun mengelilingi bandara nan luas tersebut, lalu muncul kalimat ini: Aku seperti Tom Hanks di film The Terminal yang kelelahan dan kesasar di bandara besar di sebuah negara asing! Apakah kalimat itu menarik? Ya, awalnya. Jadi dia mengajak pembaca mengumpamakan pengalamannya seperti sebuah film, suatu deskripsi yang menarik, bukan? Tetapi ketika kalimat itu diulang sampai dua kali, kok rasanya ya berlebihan (menurut saya). Kentara sekali Daniel ingin menunjukkan, hei, pengalamanku ini sungguh menarik, seperti sebuah film itu lho! Ah, come on, jika memang pengalamanmu menarik, pembaca sudah cukup kok dengan hal-hal yang kamu uraikan dan sekali saja kesimpulan.

Lalu saya teruskan membaca. Di buku ini kita diajak berjalan-jalan bersama Daniel mulai dari Bandung, Bangkok, Chengdu, Lhasa, dan Phokara. Ada satu adegan yang membuat saya terhenyak dan akhirnya menemukan satu hal baru: Sialan, ternyata memang kaum pejalan dan petualang itu memiliki sifat yang egois dan berengsek, ya! Ini nih adegan yang saya maksud:

Awalnya aku selalu senang kalau ada penduduk lokal yang datang mendekat dan mengajak ngobrol. Karena itu berarti aku bisa mendapatkan materi tulisan dari orang Nepal langsung. Aku memang membutuhkan itu. Ada beberapa yang baik, yang memang hanya ingin berbincang. Tapi selebihnya: minta uang!

Jadi ceritanya, di situ penulis kesal saat dia sedang beristirahat seorang diri di sebuah danau di Pokhara, dia didatangi beberapa orang mulai dari menawarkan mariyuana hingga meminta uang. Ya kalau saya yang mengalaminya sih pasti akan merasa terganggu juga. Tetapi coba cermati satu alinea di atas yang saya ambil dari halaman 294. Saya merasa Daniel tidak tulus saat berbaur dengan penduduk lokal, karena dia sudah memiliki tujuan tersendiri untuk memenuhi materi tulisan (bayangkan, materi tulisan tersebut akan jadi suatu artikel yang jika dipublikasikan akan menghasilkan uang, bukan?). Tetapi ketika warga lokal yang giliran mendatanginya dengan motif tertentu, dia kesal luar biasa. Well, I just thought that he wasn’t being fair in this story. Jujur, saya pun disadarkan karena saya beberapa kali seperti itu. Saya mendatangi kota baru, negara baru, dengan tujuan memperkaya pengalaman, memanfaatkan fasilitas yang diutamakan untuk penduduk lokal, tetapi saya kadang menjadi bersikap curiga ketika warga lokal mendatangi saya untuk menjual barang atau jasanya. Saya langsung bersikap ketus dan terganggu, padahal sayalah sang tamu. What a shame, traveler!

Dan di bagian-bagian akhir buku, sekali lagi saya merasa penulis berlebihan. Terlalu banyak tellingdaripada showing. Terbaca dari ‘pidato’nya yang berbusa-busa akan makna perjalanan yang didapatkannya, makna meraih mimpi masa kanak-kanak, yang sebenarnya pun sudah ia sampaikan di awal dan dalam proses perjalanannya. Kesimpulan memang perlu, tapi rasanya tidak sampai sebanyak itu (baca bab ‘Pulang’ dan ‘Rapsodi Seorang Pemimpi’). Well, saya pikir banyak orang mungkin akan menyukai tulisannya. Tetapi bagi saya yang tidak terlalu menyukai bahasa yang membuai (ingat, ini nonfiksi, seharusnya dapat memilah benar bagian-bagian yang perlu menggunakan gaya bahasa sastrawi), banyak bagian yang justru malah membuat saya berpikir: well yeah, alright, I got it, nggak usah terlalu berbusa deh.

Hehe. Maafkan resensi saya yang terlalu cerewet, tapi menurut saya memang seharusnya buku ini pure fiksi saja, ya. Tapi, untuk kalian yang memiliki impian untuk menjejaki Atap Dunia, saya merekomendasikan buku ini. Ayo, tak ada hal yang tak mungkin jika kita mau berusaha, termasuk menuju Tibet!

_________________________________

* Pembaca, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di dinoybooksreview.wordpress.com [Minggu, 13 Oktober 2013].