Perjalanan ke Atap Dunia: Racun!

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #30

Oleh Yudi Kudaliar Febrianda

Membaca Perjalanan ke Atap Dunia karya Daniel Mahendra ini seperti menyeret kita ikut ada dalam alur ceritanya. Kita seperti malaikat yang ikut di samping si penulis menyaksikan apa dan ngapain aja dia. Alur ceritanya mengalir secara runut dan detil tapi tidak membosankan. Porsi untuk metafornya pas, tidak berlebih. Kadang ada juga novel yang metaforanya berpanjang-panjang sehingga jadi malas untuk membacanya.

Tidak seperti tulisan tentang traveling lainnya yang memulai ceritanya dari lokasi atau objek yang akan diceritakan. “Perjalanan ke Atap Dunia” ini justru memulai dari proses niat, merealisasikan niat, proses realisasi sampai perjalanan/traveling itu sendiri. Hal ini tidak hanya membuat pembacnya tertarik untuk datang ke daerah yang diceritakan tapi juga memahami proses untuk mencapai daerah tersebut. Mulai dari bagaimana mengurus visa, tiket, mengatur waktu, bagaimana menyiapkan dananya sampai mengatur itineraryyang sesuai dengan kantong dan keinginan.

Menarik menyimak bagaimana proses DM yang tadinya menyimpan mimpi untuk pergi ke Tibet karena masa kecilnya membaca komik Tintin di Tibet lalu mimpi itu tiba-tiba membuncah karena seorang teman bernama Ijul. Pada bagian ini saya mendapatkan pelajaran bahwa kita butuh keberanian untuk mewujudkan mimpi. Selama ini seringkali saya punya alasan untuk menunda wujudkan mimpi-mimpi. Padahal sebenarnya itu hanya sekadar menutupi kegamangan karena tidak tahu bagaimana cara mewujudkan mimpi tersebut.

Begitu juga dengan DM sebelum bertemu Ijul. Apakah mungkin bisa pergi ke Tibet? Pertanyaan itu selalu muncul pada DM. Bahkan untuk sekadar yakin pun dia belum bisa. Memang kadang kita butuh dorongan untuk berani mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. Simaklah satu paragraph di halaman 24 ini:

Suatu hari di awal 2011, seorang kawan, Ijul namanya, lagi-lagi bertanya padaku, “Jadi kapan mau ke Tibet?” Aduh! Aku masih juga belum bisa menjawab. Ketika aku hanya bisa tertawa, di situlah aku sadar: rupanya aku tidak pernah betul-betul kongkret dalam mewujudkan impianku soal Tibet. Semata angan belaka. Lamunan tanpa tahu malu. Lalu Ijul menambahi, “Kalau kamu nggak pernah merencakan pergi, kapan sampainya?

Jleeb! Dialog ini jadi menusuk hati saya. Begitu banyak mimpi-mimpi untuk menjelajahi pedalaman Papua, Kalimantan, Sulawesi dan bahkan Sumatera. Dan selama ini hanya sekadar menunggu keberuntungan saja. Tidak pernah ada perencanaan yang benar-benar dimulai dari diri sendiri. Dulu Gola Gong dengan Balada Si Roy-nya membuatku berani merenda mimpi untuk keliling Indonesia, tapi ternyata itu masih kurang. DM berhasil mengingatkanku bahwa mimpi itu perlu dikongkretkan, jangan disimpan saja.

Kita memang harus berani bermimpi, tapi jangan lupa kita juga harus berani mewujudkan mimpi-mimpi itu

* * *

Ada sesuatu yang berbeda dari sudut pandang yang digunakan oleh DM dalam menulis cerita perjalanannya ini. Sesuatu yang berbeda dari buku-buku traveling yang sedang menjamur saat ini. Perbedaanya ini justru jadi kelebihan. DM dalam bercerita tidak hanya semata menceritakan tentang bagaimana uniknya atau bagaimana berbedanya, bagaimana menariknya suatu daerah, budaya, dan masyarakat baru. Paradigmanya sangat jauh dari pakem brosur pariwisata yang hanya menyajikan keelokan.

EMPATI!

Yaa… Satu hal tersebut membuat buku Perjalanan ke Atap Dunia karya Daniel Mahendra ini menjadi berbeda dan menarik dibanding buku-buku traveling lainnya. Beberapa kali perperangan batin pada DM ketika menyaksikan ada perlakuan yang tidak wajar dilakukan oleh turis dan pengelola daerah wisata tersebut (baca: pemerintah). Seperti yang dia tulis di hal. 118:

Dalam hati, aku membatin: justru adalah hak bangsa Tibet untuk menetukan kemerdekaan bagi negerinya sendiri. kenapa juga pemerintah Cina mesti menginvasi Tiber. Tak ada tulisan Tibet, tak ada bahasa Tibet, semua diganti dengan tulisan dan bahasa Cina. Tak boleh memasang foto Dalai Lama. Semua harus diganti dengan foto Mao Zedong, pendiri RRC. Mengibakan!….”

Banyak yang katanya traveler tidak mau peduli dengan kondisi seperti yang terjadi di Tibet tersebut. Yang penting bagi mereka adalah traveling untuk kepuasan diri sendiri. Yang penting bisa mencapai destinasi sebanyak mungkin.

DM di buku ini nampak sekali kaya dengan informasi terkait daerah yang dikunjunginya. Dia tidak hanya mencari info tentang transportasi, akomodasi, kuliner atau objek yang menarik. Tapi juga tentang budaya, sejarah dan hal lainnya.

* * *

Ketika mengunjungi daerah baru dengan masyarakat dan budaya serta alamnya berbeda dengan apa yang kita saksikan setiap hari cenderung akan muncul rasa takjub, heran, kaget, senang dan kadang-kadang kecewa. Suatu sikap yang sangat manusiawi. Seringkali ekspektasi kita tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Sering muncul pergulatan bathin. Bacalah apa yang dialami DM di hal 155:

Ketika teman-teman mulai bergerak dari halaman parkir menuju pintu masuk halaman istana, aku masih berdiri seorang diri di pinggir jalan depan istana. Memandang jalan raya. Ramai. Penuh kendaraan. Sementara kulihat ratusan Tibetan berjalan di trotoar menuju istana untuk beribadah. Aku melihat pemandangan yang kontras. Antara modernisasi dengan tradisi yang sudah ratusan tahun lamanya bersemayam. Tiba-tiba aku merasa miris, tidak terima dan gulana seorang diri. Padahal aku bukan siap-siapa. Tidak juga beragama Buddha.

Kususuri trotoar. Aku ngelangut: apakah etis aku memasuki Potala Palace sebagai turis? Sekadar menonton dan menyaksikan peninggalan? Bukankah ini tempat ibadah yang mesti dihormati keberadaanya? Bukan sajian sirkus yang ditonton dengan kelakar dan decak kagum. Tiba-tiba aku merasa tak berminat.”

Atau yang di halaman 166:

“…..Aku tercengang! Sontak aku menghentikan langkahku. Aku kaget bukan kepalang. Aku urung memasuki ruangan. Aku tak bisa menerima kondisi ini. Ini sungguh tidak etis. Apakah memang begini kondisinya? Para monk itu kan sedang beribadah. Membaca kitab suci di dalam sebuah ruangan. Apakah layak dijadikan tontonan para turis? Apa yang hendak dilakukan turis di dalam ruangan itu kalau bukan untuk menonton? Memang, memotret dilarang di dalam sana. Tetapi tetap saja menonton, bukan?

Aku tidak bisa menerima. Hatiku tak bisa mengizinkan diriku melakukan ini. kulihat para monk itu merapal kitab suci begitu khusuknya. Mereka memang tidak memperdulikan turis yang lalu-lalang di depan dan di samping mereka. Tetapi pemandangan yang kulihat sungguh tidak etis. Sungguh tidak pantas. Sungguh tidak terhormat. Aku memutuskan keluar dan menjauh dengan hati gulana.”

Kejadian seperti itu sudah sangat sering terjadi di mana-mana. Kemarin sewaktu Waisak di Borobudur, ketika para bhiksu sedang berdoa dengan khusuknya, para turis ramai-ramai memotret persis di hadapan muka sang bhiksu dengan flash pula. Atau sewaktu Festival Dieng kemarin. Dengan semena-menanya para turis dan fotografer mengatur-atur posisi para pelaksana upacara ruwatan sehingga para pelaksana acara adat tersebut menjadi tidak nyaman.

* * *

Warung kopi atau rumah makan adalah tempat yang wajib saya didatangi ketika melakukantraveling. Selain untuk memenuhi selera, tempat tersebut adalah gudang informasi. Berbagai macam orang yang datang, berbagai macam pula informasi yang lalu lalang di sana. Apalagi ketika kita datang ke tempat yang baru. Ke warung kopilah. Ajak ngobrol saja apa di sana. Sering kita akan menemukan informasi yang tidak terduga. Atau akan mendapatkan kenalan yang kemudian jadi sahabat di perjalanan. Atau bahkan kita akan menemui sebuah pelajaran berharga.

Coba simak dialog-dialog yang dialami DM dengan lelaki penjaga warung di Pokhara pada halaman 318. DM tiba-tiba disodori pertanyaan sederhana tapi ternyata cukup menohok hatinya.

Apa yang kamu cari, Daniel?”

Sebuah pertanyaan sederhana tapi tidak sesederhana itu menjawabnya. Bahkan DM pun tak bisa menjawab pada saat itu.

Masa muda Daniel. Masa muda. Memang seharusnya begitu. Pergilah ke mana pun kakimu melangkah, itu akan menempamu. Memperkaya pengalaman batinmu. Tetapi pada saatnya tiba, jadilah laki-laki yang merasa cukup dengan keluarga di rumah.”

Dialog-dialog yang terjadi sepanjang halaman 318-321 adalah dialog sederhana tapi sangat filosofis dan dalam maknanya. Tentang pencarian jati diri, tentang kesepian, tentang kebahagiaan, tentang perjalanan.

hati yang bahagia tidak menciptakan kegelisahan. Gelisah adalah pengejawantahan dari ketidakbahagiaan”

* * *

Don’t Judge!

Yap! Jangan pernah semena-mena menghakimi seseorang hanya dari penampilannya. Niscaya anda akan sering terkecoh. Jangan terjebak pada simbol-simbol status yang semu. Itu juga pesan yang disampaikan oleh DM. Pada bagian “Don’t Judge a Traveler by His Rucksack” di halaman 249-254, DM menceritakan pengalamannya berkenalan dengan banyak traveler yang salah kostum. Ada yang penampilannya cupu tapi ternyata jam terbangnya sangat tinggi. Seperti seorang bapak asal Kanada bernama Wil (65). Dia berkelana bersama anaknya dengan membawa koper. Sangat tidak mencerminkan seorang yang sering bepergian. Tapi ternyata, ia telah pernah ke Machu Picchu di Peru, Mongolia, seluruh daratan Eropa dan Afrika!

* * *

Who’s the backpacker? Ini pertanyaan yang sering menjadi perdebatan. Seperti apakah seorangbackpacker itu sesungguhnya. Apakah seorang yang melakukan perjalanan dengan ransel di punggung? Atau backpacker mengacu pada sikap dan cara melakukan perjalanan? Di halaman 260, DM seperti sedang meredefinisi ulang dirinya yang seorang pejalan dan penulis.

Aku memang tak pernah mengaku sebagai backpacker. Seingatku, belum pernah aku melabeli diri dengan istilah semacam itu, baik secara lisan maupun tulisan. Tetapi sekadar mengunjungi tempat-tempat wisata ala turis, apa menariknya? Terlampau standar dan belum tentu bisa menangkap aura kehidupan masyarakat yang sebenarnya di suatu negara. Sebagai turis barangkali hal itu tak masalah dan memang tak ada yang salah. Tetapi sebagai penulis, tempat wisata tak selalu mewakili denyut nadi kehidupan lokal yang sebenarnya.

Seorang penulis mesti berani melebur ke dalam kehidupan masyarakat sekitar. Mendengarkan detak jantungnya. Merasakan denyut nadinya. Meraba sesuatu yang belum pernah terjalamah oleh panca inderanya. Serta melihat dari sudut pandang yang bebeda…”

Saya setuju sejuta persen dengan hal ini! Pertama jangan biarkan diri kita terjebak dengan definisi-definisi absurd yang kadang malah menghambat. Kedua, sebaiknya jadilah “penyelam”. Selami jiwa daerah dan masyarakat serta budaya pada daerah yang dikunjungi. Jika DM sebagai penulis merasa wajib untuk itu, maka saya sebagai lulusan Antropologi merasa itu sudah sangat wajib! Travelingtanpa menyelami masyarakat di daerah tersebut ibarat makan sayur tanpa garam. Ada tapi tanpa makna. Jika hanya melihat-lihat dan mendengarkan penjelasan guide seperti layaknya turis. Apa yang bisa kita diceritakan hanya sebatas informasi dari guide dan kasat mata yang kita lihat pada waktu itu.

* * *

Dalam traveling, teman dan sahabat bisa kita temui di mana saja. Asal kitanya mau membuka diri dan memang harus membuka diri sebagai seorang traveler. Dan terkadang kita akan dapat bonus bertemu seorang yang tiba-tiba membuat perasaan jadi nyaman atau justru gelisah tak menentu. Entah itu sesame traveler atau dengan penduduk lokal. Jika dengan penduduk lokal risikonya bisa diangkat jadi mantu.

Bagian “Lelaki dan Telaga” di halaman 302-315 adalah bagian yang bikin saya iri dengki tingkat tinggi. Daniel Mahendra, Lucky Bastard! Seorang perempuan Perancis bernama Jeanette entah kesurupan apa mau-maunya cinlok sama DM. Saya jadi curiga, kebiasaan DM duduk di tepi telaga tiap sore memang untuk menebar pesona layaknya burung cendrawasih dengan bulu-bulu indahnya. Dan Jeanette berhasil masuk perangkapnya!

Hahaha…. Ok, mari tinggalkan igauan lelaki sirik iri dengki di atas.

Tapi cinlok itu memang risiko perjalanan. Dia hadir begitu saja tanpa bisa direncakan. Tapi saranku, jangan pernah berharap lebih jika sedang mengalami cinlok di perjalanan. Apalagi main hati. Jika tidak mau perjalananmu akan tersiksa oleh kegalauan sendiri.

Seseorang pernah menasihatiku, “Jika waktu kamu hanya seminggu, maka nikmatilah seminggu itu. Jangan berharap lebih”. Tapi jika ingin lebih, itu episode berikutnya.

* * *

Membaca buku karya Daniel Mahendra berjudul “Perjalanan ke Atap Dunia” seperti membaca Balada Si Roy dalam bentuk lain. Buku ini menjadi pelepas rindu pada si Roy. DM pun di halaman 347 terus terang mengakui bahwa ia sangat terinspirasi oleh si Roy dan Gola Gong. Bahkan dengan jujurnya ia mengakui meniru Gola Gong.

Menurutku itu sah-sah saja. Tapi DM tidak berhasil meniru Gola Gong secara utuh. Dia justru membentuk gayanya sendiri sebagai pengembangan dari gaya si Roy. Bagiku pun, si Roy dan Gola Gong adalah guru, adalah katalisator adrenalin. Gara-gara baca BSR, aku jadi bermimpi untuk keliling Indonesia dan dunia.

Jika Al Quran mengajariku menjadi Muslim, maka BSR mengajariku menjadi laki-laki.

_________________________________

* Bekerja sebagai CSR, Traveler Photographer, tinggal di Depok.

Tulisan ini ditulis untuk keperluan bedah buku “Perjalanan ke Atap Dunia“, di Rumah Dunia, Serang, Banten, 3 Agustus 2012.