Pramania: Dari Aktivis Sampai Selebriti

Kompas, Minggu, 6 Februari 2005

DI awal abad ini pernah ada yang menulis: Pramoedya Ananta Toer (80) lebih kuat daripada Soeharto (83). Terang saja. Rezim Soeharto yang pernah menahan sastrawan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu selama belasan tahun di Pulau Buru tumbang pertengahan tahun 1998 dan sejak itu terus-menerus dinista di berbagai forum. Namun, Pram di masa paling gelap dalam sejarah Indonesia merdeka pun (1966-1998) terus-menerus menambah populasi pemujanya dari kalangan muda dan berlanjut hingga kini, masa yang paling bebas dalam sejarah Indonesia modern.

Hari lahirnya yang ke-80 pada Minggu, 6 Februari, ini agaknya saat yang tepat memotret bagaimana keterpajanan pada Pram menjadi semacam gaya hidup. Karya-karya Pram yang sebagian besar berbentuk roman tidak lagi terbatas sebagai buku wajib baca bagi para aktivis, tapi meluas ke segala kalangan sampai ke wilayah selebriti. Buku-bukunya tak lagi dijual di tempat tersembunyi atau dari tangan ke tangan para pemberani, tapi kini dipajang di tempat yang paling benderang di toko-toko buku besar. Sejumlah milis dan situs di ruang sibernetis didedikasikan buat Pram. Guru sastra yang cerdas mulai memperkenalkan karya sastrawan yang berkali-kali diunggulkan sebagai calon penerima Nobel Sastra itu di sekolah-sekolah menengah.

Didik Supriyanto, wakil pemimpin redaksi situs berita Detik.com, tak pernah lupa bertanya kepada para pelamar dalam perekrutan wartawan apakah mereka mengenal dan pernah membaca karya Pram. Menjawab pernah saja seorang pelamar sudah mendapat poin. Menjawab belum pernah berarti nama pelamar langsung dicoret. “Aneh kalau ada wartawan belum pernah membaca karya Pram yang telah berkali-kali dicalonkan sebagai pemenang Nobel,” kata Didik.

Nama Pram mendapat tempat pula di kalangan “gaul” anak muda yang sering nongkrong di bilangan Dago, Bandung. Saban Sabtu sore, ketika anak-anak muda berdatangan untuk kencan, mejeng, atau nonton pertunjukan musik di Kafe Minke, Jalan Dago, sekelompok orang dari usia remaja sampai lansia justru asyik mendiskusikan roman-roman Pram dalam suasana santai sambil minum kopi dan teh.

Minke adalah tokoh utama dalam tetralogi Pram, empat karyanya semasa disiksa rezim Soeharto di kamp Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Kafe Minke tidak lain emperan toko buku dan perpustakaan Rumah Malka di bilangan Dago. Sejak awal 2005 Kafe Minke pindah ke Jalan Suci, Bandung.

“Ada saja anak SMA yang datang,” kata Daniel Mahendra, pengelola Kafe Minke dan pendiri Institut Pramoedya. “Rata-rata mereka belum mengenal Pram saat pertama datang.”

Institut itu berdiri pada Desember 2002. Awalnya diskusi diselenggarakan dalam wadah Klub Baca Pramoedya di Toko Buku Kecil, Jalan Juanda. Kafe Minke berdiri bersamaan dengan terbentuknya Rumah Malka itu. Institut Pramoedya pernah bikin lomba baca cerpen karya Pramoedya yang diikuti banyak anak SMA pada 2003. Daniel sendiri bekenalan dengan karya Pram pada saat kuliah di Jurusan Jurnalistik Universitas Islam Bandung, ketika fotokopi Jejak Langkah milik kawannya tertinggal di rumahnya. Setelah menyelesaikan buku itu, Daniel berburu tiga roman tetralogi lainnya dan sekarang menjadi penggemar berat Pram.

Salah satu peserta diskusi Kafe Minke mengatakan berkenalan hingga jatuh hati pada buku-buku Pram di tempat itu. “Setahun lalu saya tidak kenal siapa Pram dengan baik, saya cuma tahu Pram seorang pengikut Lekra,” kata Irawati, guru les murid SD yang telah menyelesaikan tetralogi.

PRAMOEDYA dan karyanya menjadi simbol pergerakan sejak dasawarsa 1980-an sampai menjelang rezim Soeharto runtuh. Bukan aktivis namanya bila belum pernah membaca Pram. Lantaran larangan Kejaksaan Agung menerbitkan dan mengedarkan buku-buku Pram, menjual dan mengedarkannya pernah jadi kebanggaan di kalangan aktivis. Kebanggaan itu menjadi-jadi setelah trio aktivis Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho, dan Bonar Tigor Naispospos dari Yogyakarta ditangkap dan dipenjarakan dengan dakwaan melakukan tindak pidana subversi pada 1989-1990.

Saat ditangkap Bambang Subono masih aktif sebagai Ketua Kelompok Studi Sosial Palagan (KSSP) Yogyakarta. Aktivis yang tak pernah kuliah ini berkenalan dengan karya Pram dari rekan-rekannya sesama aktivis. Sejak awal 1980-an tetralogi Pram sudah beredar di kalangan aktivis Yogyakarta, Solo, Bandung, dan Surabaya dalam bentuk fotokopi ketikan naskah aslinya. Tahun 1985, kata Bambang Isti, “merupakan saat puncak karena hampir seluruh aktivis di Yogya, Bandung, dan Surabaya membaca dan memiliki tetralogi Pram.”

Pram dan karya-karyanya, menurut Bambang Isti, pernah jadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa dan rakyat melawan rezim Soeharto. Yang digambarkan Pram dalam Rumah Kaca, bagi Bambang Isti, sangat mirip dengan suasana yang dihadapi para aktivis penentang Soeharto waktu itu. Begitu cintanya dengan karya Pram, Bambang Isti hampir melonjak kegirangan saat menemukan buku Ibunda karya Maxim Gorky yang diterjemahkan Pram di pasar buku loak Shopping Center masa-masa itu.

Thoriq, mantan pemimpin redaksi majalah Balairung di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta akhir 1980-an, mengisahkan Pram saat itu jadi simbol perlawanan di kalangan aktivis pers kampus maupun aktivis jalanan di berbagai tempat. “Faktual novel-novel Pram memang bagus dan kebetulan waktu itu bisa mempersatukan aktivis anti-Soeharto,” kata Thoriq yang kini penulis lepas dan konsultan media di Jakarta. “Karena itu, saat Bambang Subono, Isti, dan Bonar ditangkap, kami menggelembungkan peristiwa itu untuk melakukan perlawanan dengan mengadakan berbagai aksi.”

Budiman Soedjatmiko (35), pendiri Partai Rakyat Demokratik yang kini bergabung ke PDI-P, mengenal nama Pram justru dari guru Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) saat duduk di kelas III SMP. Perkenalannya dengan buku-buku Pram bersemi ketika duduk di bangku SMA. Bumi Manusia dihabiskannya semalam suntuk. “Waktu itu buku-buku Pram, apalagi tetralogi, seperti bacaan aktivis,” kata Budiman. “Sepertinya kurang bernas ’gitu jadi aktivis kalau belum baca buku Pram.”

Bonar yang disebut-sebut waktu itu sebagai auctor intellectualis dalam pengedaran buku-buku Pram mendapat hukuman terberat dibandingkan dengan Bambang Subono dan Bambang Isti. Lucunya, Bonar tidak pernah tertangkap tangan. Di rumah kosnya di Yogya tak satu pun karya Pram tersimpan. Yang justru dijadikan barang bukti untuk menangkap dan memenjarakan Tigor adalah fotokopi diktat kuliah bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tentang pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno yang dijumpai aparat di rumah kosnya. Buku itu disebutkan membuktikan dakwaan akan kegiatan subversi Bonar menyebarkan faham yang bertentangan dengan Pancasila. Bonar dijatuhi hukuman delapan tahun enam bulan penjara.

Gelombang kekaguman pada karya-karya Pram itu berlanjut terus pada pertengahan tahun 1990-an, ketika rezim Soeharto masih kukuh berlapis baja. Suzie Caroline yang waktu itu duduk di bangku pertama SMA Asisi, Tebet, Jakarta, setelah membaca tertralogi Pram milik pamannya spontan menulis resensi Bumi Manusia sebagai tugas pelajaran sastra dari guru bahasa Indonesianya. Kontan saja sang guru kaget dari mana Suzie mendapat buku yang waktu itu dalam status dilarang Kejaksaan Agung. Mendengar itu Suzie lebih kaget.

“Saya tidak tahu buku itu dilarang,” kata Suzie, yang beberapa tahun lalu kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Tapi, guru bahasa Indonesia saya itu malah menjelaskan Pramoedya sebagai sastrawan penting Indonesia kepada kami di depan kelas.”

Resensi Suzie secara tidak langsung memperkenalkan Pram kepada satu kelas murid SMA Asisi waktu itu. Maka, ketika polemik hangat berlangsung di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1995 karena Pram mendapat Hadiah Magsaysay dari Filipina, Suzie dan belasan kawannya minta izin kepada kepala sekolah untuk bisa menyaksikan secara langsung diskusi tersebut. “Kami dibolehkan meninggalkan kelas, malah kepala sekolah memberi kami ongkos taksi,” kata Suzie.

MUSIM berganti. Soeharto tumbang, BJ Habibie naik takhta tapi kemudian terjungkal di pemilihan umum yang mengantar Abdurrahman Wahid ke istana presiden. Buku-buku Pram mulai saat itu bebas diperdagangkan. Setiap orang mudah mendapatkannya di toko-toko buku. Tak lagi ada ketakutan membaca, membeli, dan mengoleksinya. Pamor Pram dan karyanya sebagai identitas aktivis dengan sendirinya memudar. Maftuh, aktivis pers mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta Arena menuturkan meski membaca dan memiliki buku Pram tidak lagi kebanggaan bagi aktivis saat ini, buku-buku tersebut tetap bacaan wajib bagi aktivis.

“Karena banyak buku Pram di pasaran, banyak orang membaca karya-karyanya yang lain tapi belum pernah baca tetralogi,” kata Maftuh. “Sekarang membeli buku-buku Pram bukan prioritas karena harganya yang mahal dan bisa dibeli kapan saja.”

Namun, Rifky dan Ragil, aktivis generasi terbaru di Yogyakarta, merasa masih bangga mengoleksi buku Pram. Sosok Pram bagi Rifky tetap merupakan simbol perlawanan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan.

Pram kini memang bukan lagi monopoli aktivis maupun komunitas sastra yang terbatas. Ketika pamor Pram sebagai ikon perlawanan memudar, grafik penggemar dan penjualan buku Pram terus melonjak. Konsumennya beragam. Murid SMA, mahasiswa, pekerja kerah putih, pengusaha, buruh, sampai penyanyi pop, dan artis sinetron. Saat Akademi Kebudayaan Yogyakarta mengadakan acara Pram dan Kita di hari lahir sastrawan itu dua tahun lalu, lebih dari 1.000 orang memenuhi gedung pertemuan UGM. Akhir tahun lalu, saat Pram menghadiri festival pembelajaran yang diselenggarakan jaringan aktivis di Asia Pasifik, kamar Pram tidak pernah sepi dirubung anak-anak muda.

“Antusiasme publik terhadap Pram tampak sekali. Mereka adalah orang-orang lama sampai anak-anak muda yang baru dengar-dengar nama Pram,” kata Faiz Ahzoul dari Akademi Kebudayaan Yogyakarta.

Richard Oh, pemilik toko buku QB, merupakan salah satu penggemar berat Pram. Oh pertama kali berkenalan dengan Pram melalui Rumah Kaca yang ia beli seharga Rp 35.000 di Pasar Senen sekitar 20 tahun lalu. Seminggu kemudian buku itu dilarang. Oh sempat ngumpet-ngumpet membacanya. Sejak itu ia berburu buku-buku Pram. Buku Pram, menurut Oh, tergolong paling cepat terjual di toko bukunya. Sejak tahun 2000 QB telah menjual lebih dari 10.000 eksemplar buku Pram. Pembelinya bisa digolongkan kalangan menengah atas.

“Mereka masih melihat Pram sebagai spirit dan memandang Pram sebagai pejuang yang punya legenda sehingga bukunya harus dimiliki,” kata Oh, yang saking menggemari karya-karya Pram, memberi nama anak ketiganya sebagai Madelaine Pramoedya.

Roy Jenoniah, vokalis grup musik rok Boomerang dari Surabaya, adalah penggemar Pram. Roy pertama kali menemukan roman Gadis Pantai di sebuah toko buku di Yogyakarta karena penasaran mendengar cerita kawan-kawannya yang aktivis tentang buku-buku Pram. Membaca buku Pram, kata Roy, membuat ia bisa membayangkan bagaimana jalannya peristiwa yang diungkapkan sepintas lalu dalam buku-buku resmi sejarah. “Kata-katanya keras, bahasanya lugas dan tidak bertele-tele,” kata Roy.

Aktris sinetron Arjuna Mencari Cinta, Happy Salma (25), juga penggemar berat novel-novel Pram. Ia membaca Bumi Manusia saat masih kelas III SMA, setahun sebelum Soeharto jatuh. Ia mengaku masih merasa menjadi orang penting karena bisa membaca buku yang pernah dilarang pemerintah beredar. Dua tahun kemudian ia membaca Gadis Pantai dan sejak itu ketagihan dengan novel-novel Pram. Sekarang semua karya Pram ia koleksi. Saking kagumnya kepada Pram, Happy mendatangi Pram di rumahnya dan menangis saat bertemu Sang Maestro.

“Pak Pram tahu aku juga rupanya. Mungkin dari anak dan istrinya, ya?” kata Happy.

Sebentar lagi Pram tak lagi dikenal hanya melalui karya-karya sastra atau karya-karya sejarah dalam format buku, tetapi melalui film. Paruh kedua tahun 2004 produser film Hatoek Soebroto dan Pramoedya Ananta Toer telah menandatangani kontrak pembuatan film Bumi Manusia. Sekarang masih dalam tahap persiapan. “Kira-kira dua tahun lagi baru bisa selesai, sebab persiapan artistiknya butuh waktu lama untuk latar cerita awal abad ke-20,” kata Hatoek.

Mengapa tertarik memfilmkan Bumi Manusia? “Ceritanya dahsyat, ada soal kekuasaan, ada percintaan juga. Dialog di dalam novel itu cantik sekali,” kata Hatoek. “Yang makin bikin saya tertarik memfilmkan Bumi Manusia adalah kenyataan bahwa novel itu sudah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa.”

Bung Pram, selamat ulang tahun! Anda lebih kuat daripada Soeharto. (wis/edn//ben/Y09/SAL)