Pseudonim: Idealisme dan Intrik Dunia Penulis

Ulasan Pseudonim | #04

Anindita Arsanti
Penulis lepas, tinggal di Yogyakarta

Judul: Pseudonim
Penulis: Daniel Mahendra
Penerbit: Grasindo
Cetakan: I, Juli 2016
Tebal: 266 hlm

Idealisme yang mengiringi jatuh bangun seseorang dalam merintis karir akan teruji waktu, terutama saat ia berbenturan dengan motif ekonomi. Karya yang semula sebagai keinginan hati untuk eksplorasi diri, harus kompromi dengan kebutuhan hidup. Tentu saja lewat adanya intervensi pihak lain untuk memenuhi selera pasar.

Hal ini menjadi benang merah novel terbaru Daniel Mahendra. Selama bertahun-tahun, idealisme Pra sebagai penulis menghasilkan beragamcerpen, novel, dan esai yang sesuai jiwa, hati dan pikirannya. Tapi semua tak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Pra putus asa, hidupnya kembang kempis sebagai penulis idealis. Ia tak mampu menolak tawaran untuk membuat skenario film animasi 3D meski harus meninggalkan idealismenya. Konsep cerita, tokoh, bahkan karakter sudah dibuat sesuai pesanan. Pra hanya tinggal mengembangkan ceritanya saja. Proyek berjalan mulus dan keuangan Pra membaik.

Saat proyek film animasi berhenti di tangah jalan, Pra berpindah jalur sebagai penulis skenario sinetron. Untuk ini Pra tak hanya harus meninggalkan idealisme, ia bahkan berkarya tidak atas namanya sendiri (pseudonim). Tulisannya atas nama Satar, orang yang menawari proyek tersebut, sekaligus penulis yang bekerja untuk banyakproduction house (PH). Landung, penulis skenario lain, saingan berat Satar, diam-diam menawari Pra untuk juga menjadi penulis pseudonim untuknya. Dan Pra menerima tawaran itu.

Hidup Pra makin menarik saat berkenalan dengan Radesya, Dokter Anak berparas manis yang bermimpi membangun sebuah klinik sederhana di desa. Radesya bahkan menerima pinangan Pra dan memintanya menulis novel baru sebagai mahar pernikahan. Namun mimpi buruk datang saat Satar dan Landung ditemukan tewas.

Kisah dalam novel ini semakin menarik diikuti. Selain ceritanya juga karena mengungkap sisi lain dunia penulis yang mungkin tak banyak orang kira. Kita dapat belajar bahwa komersialisasi yang wajar dari karya juga dibutuhkan untuk keberlangsungan proses berkarya. Idealisme tak mesti mati sepenuhnya dalam dunia industri. Idealisme dapat menghasilkan karya yang berkarakter, yang pasti memiliki tempatnya sendiri.

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat [24 September 2016].