Selamat Datang di Pengadilan Dibedah Mahasiswa

Ulasan Selamat Datang di Pengadilan | #4

Koran Bali, Edisi: 09 Th ke-1, 26 November – 2 Desember 2001

Oleh Wayan Sunarta

Denpasar, Koran Bali

Sepasukan polisi tampak berjaga-jaga di depan gerbang kampusku yang pikuk. Peralatan tempurnya begitu lengkap dan sombong. Sisanya mengatur lalu-lintas jalan dua arah yang terkenal semrawut. Di kedua belah ujung jalan tampak satu SSK (Satuan Setingkat Kompi) pasukan tentara berhijau loreng. Peralatan tempurnya tidak beda jauh dengan si polisi: lengkap lagi sombong!

Sementara dari dalam kampus terdengar teriakan garang aktivis-aktivis mahasiswa menjual orasi dan berbagai tuntutan. Satu persatu menaiki podium. Mencaci-maki sebuah ‘nama’ yang hampir selalu diucapkan oleh setiap aktivis. Mahasiswa lainnya menggerombol menyemut di sekitar podium. Sisanya (baca: yang tak begitu peduli dengan perubahan!) hanya menonton dari bangku koridor sambil mengempulkan asap rokok atau memeriksa polesan gincu terakhir. Sedangkan para dosen hanya bisa melongo memandangi suasana yang hampir selalu dirasakannya setiap hari sambil mungkin berpikir, “Huh, lagi-lagi tak bisa parkir mobil di halaman dalam!” begitu mungkin dengusnya.

Percikan adegan di atas hanyalah sebuah cerpen. Namun sebagai cerpen tentu cerita itu berangkat dari realita yang ada di lapangan. Kita mungkin kembali ulang-alik, berkontemplasi, atau sekadar nostalgia romantika demonstrasi besar-besaran menurunkan rezim Soeharto dari kursi kekuasaannya yang nyaris langgeng itu.

Cuplikan cerpen di atas berjudul “Bangsaku yang Fasis” karya Daniel Mahendra. Cerpen tersebut merupakan salah satu isi buku kumpulan cerpen yang bertajuk “Selamat Datang di Pengadilan” yang dibedah para mahasiswa, Senin (26/11) lalu, di auditorium Universitas Udayana.

Bedah buku cerpen itu dihadiri oleh mahasiswa perguruan tinggi yang ada di Denpasar, bahkan juga mahasiswa dari luar Bali. Hadir juga Budayawan Nyoman Gde Sugiarta, Ketua Kosma Unud Wayan Gendo Suardana, Aktivis Djatimiko Wiwoho, Ngurah Karyadi, jajaran pers kampus Akademika Unud, dan pecinta sastra di Denpasar.

Bedah buku cerpen yang penuh berisikan cerpen protes sosial itu, seakan ironis dengan “drama absurd” pembongkaran paksa yang dilakukan Tim Gabungan terhadap tempat mangkal PK-5 dekat Kampus Sastra. Realita di alam non-fiksi menyusup dan memamerkan diri di alam fiksi dalam karya-karya cerpen Daniel itu. Benar apa yang dituliskan Daniel dalam cerpennya yang berjudul “Bangsaku yang Fasis” itu. Dan itu telah terbukti pada kasus tragis yang menimpa PK-5.

Menurut Kojenk, mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang hadir dalam diskusi itu, teks dalam cerpen-cerpen Daniel telah berbicara sendiri. Daniel memberikan otoritas penuh terhadap kata-kata untuk terus menyuarakan dan mengutarakan kebenaran dari dalam kampus sepadan dengan realita di lapangan,” ujar Kojenk.

Menyinggung dunia aktivis kampus yang konon tidak solid pasca reformasi, Daniel mengatakan tidak semua aktivis kampus berangasan, banyak juga yang baik. Sama halnya, tidak semua aparat keamanan buruk, banyak juga aparat yang masih mempunyai perikemanusiaan.

Menanggapi Kojenk, cerpenis Daniel mengatakan sesungguhnya dia iri melihat kawan-kawan mahasiswa yang mampu turun ke jalan, berdemo besar-besaran. Sedangkan dia hanya bisa berjuang di depan komputer dengan kata-kata yang mungkin saja sudah basi. “Saya hanya bisa berjuang lewat kata-kata saja,” ujar Daniel merendah.

Penyair Riki Dhamparan Putra yang bertindak sebagai pembanding dalam diskusi bedah cerpen itu menuturkan, Daniel dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah berani mem-proklamirkan diri kepada khalayak sebagai cerpenis. Namun begitu, Riki memuji cerpen-cerpen Daniel cukup kuat menyatakan kebenaran yang sekarang ini sering dipermainkan. “Suara kebenaran hampir berkilauan dalam cerpen-cerpen Daniel,” puji Riki.