Tentang Buku, Fakta, dan Monolog

Ulasan Selamat Datang di Pengadilan | #5

Pikiran Rakyat, Kamis, 28 Maret 2002

Oleh Beni Setia

1.
SAYA mendapat tiga buah kado buku di momen Pekan Budayanyaa “Rabu” di Unpad Jatinangor, Anak Kabut, (Paragraf, Bandung, 2002) sebuah kumpulan puisi yang entah ke berapa dari Soni Farid Maulana, kumpulan cerpen Daniel Mahendra, Selamat Datang di Pengadilan, dan novel Dwi Hendro Basuki, Dari Kamar (Paling) Belakang. Dari ketiga buku itu ada benang merah yang menerangkan kesamaan dari kehadirannya, dan karenanya maka ketiganya akan bisa dibicarakan dalam satu tarikan nafas. Meski mustahil membicarakan kumpulan puisi Soni Farid Maulana, Anak Kabut, sebab sudah dengan panjang lebar dibahas oleh Edi Warsidi di “PR” Minggu, 10/3 2002. Bisa-bisa jadi overkritik, setelah selama ini ia dianggap over produksi — meski cuma variasi alit seperti yang panjang lebar disinggung Edi Warsidi.

Tapi, dalam beberapa segi, buku Soni Farid Maulana pun hadir dengan satu gejala yang unik, menarik, dan telah jadi semacam alternatif galib setelah bertahun cuma dianggap tindakan bergegas memotong tertib proses penerbitan buku. Yakni menerbitkan secara swadana, lalu distribusi swakelola. Pada momen ini seorang penulis tak hanya dipaksa untuk suntuk kreatif mencipta, seperti yang selama ini jadi mitos kesenian, tapi juga harus terampil menyunting, mendesain, menset, dan bahkan pelaksana teknis pencetakan dan penjilidan. Setelah itu menjadi distributor, atau cuma menjadi manajemen pemasaran dan ditutup jadi sang debt colector.

Dan seluruh prosesi itu, setidaknya yang terjadi dalam pengeksisan dari buku Anak Kabut, Selamat Datang di Pengadilan, Dari Kamar (Paling) Belakang dijelaskan dengan gamblang dalam tulisan Ageng Purnah Galih, “Cerita dari Penerbit” yang jadi produser pelaksana dari novel Dari Kamar (Paling) Belakang.

Semacam isyarat bahwa menerbitkan buku itu tak gampang — dan sama serunya dengan menulis buku –, karenanya, mengutip Remy Sylado, “cobalah menghargai karya orang lain.” Meski mungkin menguntungkan juga, karena seorang Soni Farid Maulana, untuk Anak Kabut yang terbit Januari 2002 dan dengan distribusi sendiri, telah balik biaya produksi pada awal Maret 2002 ini. Ini gejala apa? Apa itu mencirikan tingginya minat pada buku dan karya Soni Farid Maulana sehingga over produktifitasnya bisa diterangkan dari hukum ekonomi supply-demand? Atau itu menandakan kalau biaya produksi bisa ditekan rendah — ia mendapat dana dan sumbangan jasa cost produksi dari beberapa donatur individual –, maka BEP jadi ikut rendah dan bisa dicapai di dalam hitungan waktu yang singkat, dan setelah itu akan tersisa laba produksi. Mungkin Soni Farid Maulana harus mulai diberikan kesempatan bicara tentang teknis dan seni manajemen penerbitan buku — dann bukan kreativitas. Mungkinkah itu? Maukah begitu?

2.
BUKU kumpulan cerpen Daniel Mahendra unik. Pertama, judul kumpulan cerpennya tidak datang dari materi cerpen-cerpen yang dikumpulkannya, tapi dari lukisan Iwan R. Ismael yang berjudul Selamat Datang di Pengadilan — dengan teknik media pena, silkscreen di atas kertas. Saya pikir penjudulan yang menandakan sampul buku otonom dan sama sekali terpisah dari isi buku — meski ada kaitan tema, yakni sekitar ketidakadilan lewat “pengadilan” dari pihak-pihak berwenang dan mempunyai wewenang yang melakukan pendekatan kemanapun otoritarian kepada pihak yang cenderung dimarginalkan sebagai korban — adalah kesadaran baru dalam etika menerbitkan buku.

Yang bahkan tak dilakukan oleh Soni Farid Maulana yang banyak memperoleh keuntungan dari keterlibatan kolaborasi para pelukis itu. Celakanya, tak ada seorang pun yang mau mempedulikannya.

Kedua, Daniel Mahendra — ia menyebut dirinya DM –, menampilan semacam corak penulisan cerita pendek baru. Kebaruannya meruju pada pilihan seting dan tokoh yang berkutat di dunia kampus, dengan picu suasana sekitar demonstrasi mahasiswa yang didukung kelas menengah Indonesia, dan dengan tekanan pada suka duka para mahasiswa dan bukan letupan ideologi dan segala bumbu grand design-nya. Ini mengingatkan kita pada corak gerakan mahasiswa 66 dengan mitos pesta, belajar dan demo. Pada DM yang ada adalah kelas mahasiswa yang berdemo dan kelas mahasiswa yang hedonistik. Tapi mengapa mahasiswa itu hedonistik? Tak ada jawaban. Tapi kenapa mahasiswa itu berdemo? Ada jawaban, tapi jawabannya agak mengerikan: karena mereka menjalankan kesadaran hero dan patriotisme semu. Ada asumsi mereka terpanggil karena ada pihak yang dominan menindas dan si tertindas yang tanpa juru bicara.

Cerpen pertama, Bangsaku yang Fasis — dengan gaya repetitif yang menarik — berbicara tentang kesadaran semu itu. Mahasiswa berdemo melawan pemerintah yang otoritarian, tapi berubah menjadi pihak yang fasis otoritarian ketika ia menghayati peranan sebagai senior yang memiliki kekuasaan tak terbatas di hadapan plonco. Penandaan siklus sejarah. Tak mengherankan kalau DM tak mengakhiri koflik antara mahasiswa dengan orangtua yang khawatir dengan renungan filosofis tapi cukup dengan keharuan pemahaman dan sentimentalitas kehilangan — lihat cerpen Dia yang Telah Pergi. Karenanya cerpen-cerpen romantika kemahasiswaannya, yang bebas ambisi tema, mampu menghadirkan unikum. Yang paling bagus, saya pikir, adalah Epitaph. Di sini kita juga bisa menemukan fakta bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan bagaimana kekuatan itu mereka gunakan untuk menekan agar kasus korupsi tetap tertutup.

Segi lain dari DM adalah kecenderungannya untuk bertolak dari fakta, lantas membangun fiksi untuk menekan opini — mungkin karena ia memiliki basis pendidikan jurnalistik. Kita bisa menangkap apa yang ingin diungkapkan dalam cerpen Generasiku, Genersi Borjuis, dengan perjalanan panjang seorang intelektual dan rendevous dengan pacar yang merupakan kelompok henodis, anak dari para kelas menengah pembohong yang dibencinya. Fakta amat dominan pada DM, dan terkadang diungkapkan dengan pola-pola linier menulis berita atau feature. Tidak salah memang, dan mungkin akan jadi sumbangan bila teknik ini nanti dikuasainya.

3.
NOVEL Dwi Hendro Basuki adalah bunga rampai — ini bukan cemooh toh novel Ayu Utami pun bunga rampai, dan sastra klasik pun mengakui teknik ini di dalam respek mereka pada Kisah 1001 Malam. Ada kisah tentang penulis cerita novel kecil — sayang tak disebut judul — yang sibuk sendiri di kamar belakang, yang dikelilingi kamar-kamar kos, bermalam-malam, berdialog deengan dirinya sendiri dalam memaknai novel kecilnya itu. Dan sama seperti DM dalam memberi judul kepada bukunya, Dwi Hendro Basuki — saya merasa akrab dengan nama ini, karena amat nJawani dan tidak bersifat Banjaran dan Bandung — pun memberi nama judul bukunya bukan pada materi cerita novel kecilnya tapi kepada ruang di mana novel kecil itu ditulis. Ini gejala ketaktaatazasan — pada penulisan — yang konsisten dan bahkan dilakukan oleh dua orang yang latar belakangnya beda, dan dengan teramat menekankan eksistensi pihak yang memungkinkan sebuah buku terbit dan ditulis. Bukan mustahil nanti ada kumpulan puisi berjudul Yang Ditik Ulang Jun R, dengan subjudul Kantos Dillo D’art.

Yang kedua adalah novel kecil itu – judulnya mungkin tentang Pridia, Inamarti, dan Ibu. Yang paling menonjol di sini adalah ihwal teknik. Novel kecil ini dibangun dengan tiga orang pertama tunggal. Tangkahan pertama adalah tangkahan Pri, yang merenungkan diri dalam korelasi dengan faktor koeksistensi Inamarti dan Ibu.Teknik yang dipakai flashback dengan memakai fenomena buku harian. Di sini ditekankan fakta kesendirian dan kerinduan. Keinginan untuk keluar dan menjangkau orang lain yang melengkapi kesendirian. Berbeda dengan Sartre yang menekankan pentingnya domonasi subjek diri hingga diri utuh dan karenanya kehadiran orang lain akan selalu menjadi yang diekploiasi sebagai objek atau diri yang malah diabstraksi jadi objek — sehingga “orang lain itu neraka”, siksaan seperti yang diungkapkan drama Pintu Tertutup — maka bagi Dwi Hendro Basuki orang lain itu berkah.

Tapi ketika orang lain itu adalah Ibu, maka secara psikoanalisis itu bermakna trauma karena ia dilepas dari Ibu (baca: kelahiran) dan sekaligus shock karena diputuskannya relasi dengan ibu. Salah satu faktor dasar yang menyebabkan anak membunuh ayah dan menyesalinya sehingga ia mentransfernya menjadi totem. Saya pikir tangkahan kedua, tangkahan Inamarti dengan amat jelas mengungkapkannya.

Di sini Inamarti jadi objek yang disubjekan agar Pri bisa mengungkapkan rahasia trauma dilepaskan dari ketertarikannya dengan ibu. Sekaligus juga Inamarti itu subjek yang diobjekan – disebut bahwa Pri itu bajingan karena mengabstraksi dirinya yang jadi objek keluh-kesah dan sekaligus menjadi subjek yang mengobjekan Pri dengan pura-pura jadi yang punya perhatian pada Iri. Maka, pada dasarnya, si Inamarti itu cuma alterego Pri yang sengaja diciptakan oleh Pri, yang menerima surat-surat Pri dan sekaligus yang mengirim surat pada Pri — lalu surat-surat dibaca seperti membaca buku harian.

Di sini bisa dikatakan bahwa novel kecil itu sebenarnya merupakan monolog seorang Pradia. Mungkin dengan kesadaran itu pula kita harus membaca fakta yang diungkapkan dalam tangkahan ketiga, tangkahan ibu. Di sini selain diterangkan fakta perdamaian antara Pri dan ibu, juga diterangkan pembelaan ibu yang terpaksa menitipkan Pri kepada neneknya. Rasionalisasi dari trauma terpisahnya anak dari ibu — terutama dengan pilihan simbol (lahir) prematur –, juga diterangkan penerimaan Pridia pada trauma kelahirannya hingga ia relatif bisa membebaskan diri dari gejala neurosis. Dan karenanya Pri dari novel kecil itu — mungkin juga penulis novel kecil itu, yang tak identik dengan Dwi Hendro Basuki yang menulis buku itu — tiba pada keseimbangan semesta baru, mikromosmos. Dan sama seperti Inamarti, ibu ini pun cuma alterego Pridia — baca deskripsi Aku tutupkan gorden jendelanya perlahan, dengan catatan itu dilakukan oleh ibu yang mengintip ke dalam kamar Pri yang lelap tertidur, padahal tak ada gorden yang dipasang di luar ruang yang memiliki jendela itu, dengan kata lain, seharusnya yang dari dalam kamar mengintip ke luar dengan menyibakan gorden. Kecerobohan teknik monolog, seperti yang diungkapkan Budi Darma terhadap novel Putu Wijaya — tokoh yang banyak itu terkadang bertukar karakter.

Meski begitu yang dilakukan Dwi Hendro Basuki sudah benar. Ia sudah menguasai teknik, dan mungkin ia — kini — cuma tinggal membutuhkan cerita yang lebih berkaitan dengan banyak orang. Dan dalam usianya kini hal itu bukan harapan yang kosong. Insya Allah.***