Tentang Sebuah Perjalanan

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #40

Oleh Fransisca Ria S

Ada jarak yang memisahkan antara pengalaman inderawi dan batin yang dirasakan sang penulis.

Apa yang menarik dari sebuah perjalanan? Yang pasti bukan tujuan. Hal yang selalu menarik dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri. Catatan perjalanan Daniel Mahendra ke Tibet dan Nepal yang diterbitkan Medium, Mei lalu, menguatkan pernyataan tersebut.

Bertahun-tahun Daniel memimpikan Tibet, negeri di atas awan yang—dalam kaca mata Daniel—jadi bulan-bulanan China, memiliki jajaran pegunungan yang indah, dan kedamaian yang sakral.

Mimpi itu, selama bertahun-tahun pula, ia kisahkan pada kawan, ia tuliskan di blog pribadi dan sama sekali gagal ia pangkas dari lamunannya. Namun ia selalu tak berani mewujudkannya karena pikiran lain di benaknya bicara tentang yang muskil, bukan yang mungkin.

Hingga seorang kawan meniupkan keberanian pada nyalinya untuk mewujudkan mimpi tersebut. Meski akhirnya sang kawan yang diharapkan jadi teman perjalanan batal berangkat, Daniel berhasil merealisasikan mimpinya. Bukan perjalanan yang gampang karena ada saja kendala yang muncul menjelang keberangkatan, tapi nyaris semua tahapan perjalanan berlangsung sesuai rencana.

Agen perjalanan di Tibet yang ia kontak dari Bandung mengatur semua perjalanannya. Perjumpaannya dengan para pejalan dari negara-negara lain membuat ia tidak perlu merasa sendirian. Meskipun, ini yang menarik, ia justru merasa sendiri dan sunyi saat kakinya telah menjejak tujuan yang menjadi mimpinya bertahun-tahun.

Sayangnya, buku setebal 356 halaman ini terlalu banyak berkisah tentang detail teknis perjalanan. Sesuatu yang memang mungkin sangat berguna bagi para petualang baru yang hendak pergi ke Tibet dan Nepal, tapi terlalu kering untuk pembaca yang menginginkan spirit atau mendapatkan makna di balik perjalanan itu sendiri.

Menarik bahwa Daniel mengupas background sejarah, politik, maupun sosial dari tempat-tempat yang ia datangi. Tapi terkesan bahwa penambahan informasi ini hanya “tempelan”. Ada jarak yang memisahkan antara pengalaman inderawi dan batin yang dia rasakan, dengan informasi yang berusaha ia jejalkan ke dalam kisah.

Padahal ada banyak pengalaman Daniel selama dalam perjalanan yang sangat menarik untuk dieksplorasi lebih jauh. Misalnya, perjumpaan dia dengan para biksu yang telah dijadikan “komoditas” turisme.

Ia hanya mengungkapkan rasa kesal dengan para turis yang seperti tanpa hati memotret dan mengamati para biksu tersebut, tapi sayangnya ia tak mengisahkan apakah ada para biksu di sekitar lokasi itu yang memang dengan penuh kesadaran menjadikan diri sebagai komoditas?

Tanpa berniat membandingkan, saat saya membaca buku ini, saya teringat catatan perjalanan Agustinus Wibowo. Ia mendeskripsikan dengan cara menarik bagaimana para biksu ini juga mengejar-ngejar turis dan menawarkan batu jimat untuk dibeli. Cerita tentang para biksu yang menjual jimat ini menimbulkan kesedihan yang sunyi tentang Tibet.

Ada yang hilang di sana, bukan semata karena ada tentara China yang ada di setiap pojok, atau orang Tibet yang tak sepiawai etnis Han yang menguasai akses perdagangan, tapi sesuatu yang jauh lebih besar dari itu. Sesuatu yang mestinya menjadi tanggung jawab bersama kemanusiaan.

Pertemuan Daniel dengan perempuan Prancis dan percakapannya dengan lelaki penjaga kedai kopi di Nepal juga merupakan perjumpaan-perjumpaan menarik di mana pembaca—setidaknya saya—ingin mengetahui lebih mendalam pengalaman batin yang dialami oleh penulisnya.

Sayangnya, tentang pertemuannya dengan perempuan Prancis tersebut—yang disebut Gola Gong dalam kata pengantarnya sebagai cinta lokasi—Daniel hanya menuliskannya sambil lalu, tentang apa yang terjadi pada “permukaan”, bukan pada kaitan sosok tersebut dengan “perjalanan”-nya.

Percakapannya dengan penjaga kedai kopi juga demikian. Pertanyaan penjaga kedai kopi tentang “apa yang kau cari?” sebenarnya memberi ruang sangat luas bagi Daniel untuk mengisahkan tentang “perjalanan” batin yang ia alami, esensi yang jauh lebih menarik dari perjalanan spasial.

Tapi mungkin saya terlalu menginginkan lebih karena buku ini sendiri sudah dilabeli sejak awal sebagai “potret jurnalisme”, yang mungkin artinya lebih pada laporan pandangan mata. Dalam konteks itu, Perjalanan ke Atap Dunia menjadi bacaan menarik bagi mereka yang sama sekali belum pernah menginjak Tibet dan Nepal.

Bukan semata pada bagaimana cara menuju ke sana dan dengan cara apa, tapi juga perjumpaan dan pengalaman baru yang terjadi di sepanjang jalan. Bagaimanapun perjalanan selalu memberi kita hal-hal tak terduga. Dan ketakterdugaan selalu lebih menarik daripada segala hal yang sudah pasti.

_________________________________

* Wapemred/Redaktur Pelaksana Harian Sinar Harapan.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di Harian Sinar Harapan [Sabtu, 20 April 2013].