Toko Buku Alternatif, Tak Sekadar Bisnis

Republika, Minggu, 19 Juni 2005

Nyaman. Itulah kesan saat memasuki ruangan tersebut. Ukurannya tidak terlalu besar, sekitar 20 meter persegi. Di dalam ruangan tersebut, terdapat beberapa rak yang terisi buku dari berbagai macam judul. Rak-rak tersebut disusun mengelilingi ruangan, menempel di tembok ruangan. Meskipun ruangan itu tidak begitu luas, tetapi nuansa hangat dan akrab seolah menyapa para pengunjungnya.

Suasana dalam toko buku alternatif nyaris seragam, interiornya disulap nyaris seperti ruang tengah rumah Anda sendiri. Di Bandung, toko-toko buku alternatif banyak menyebar di banyak tempat. Sebut saja, Toko Buku Kecil (Tobucil), Malka, Rumah Buku, dan Ultimus. Toh, hal tersebut sama sekali tidak menghalangi upaya para pengelolanya untuk menjajakan buku-buku koleksinya. Bahkan, keberadaan toko buku alternatif itu terus berkembang dan bertambah dari waktu ke waktu. Setiap tahun, selalu saja ada toko buku alternatif yang baru, menyusul yang lainnya. Masing-masing seperti berlomba menawarkan konsep baru yang mereka miliki kepada para pecinta buku.

Di dalam ruangan toko-toko buku alternatif biasanya hanya ada dua orang penjaga toko yang ramah siap melayani kebutuhan para pengunjung. Sepi adalah kata yang lebih cocok melekat pada tempat-tempat ini. Lokasi toko buku ini memang bukan di sentra-sentra perdagangan yang sibuk dengan aktivitas jual beli. Toko-toko buku seperti itu menawarkan konsep yang lebih dari sekadar berjualan buku. Tapi, justru itulah salah satu daya tariknya. Sebuah konsep di mana para pengunjung toko bisa berinteraksi mengenai segala hal tentang buku atau apapun. Di toko buku alternatif, para pengunjung bukan hanya bisa mendapat informasi awal mengenai buku yang akan mereka beli, tetapi bisa juga mendiskusikannya.

Dengan demikian, pengunjung bisa mengetahui dulu apa yang mereka beli. Membeli buku sepertinya bukan tujuan utama di toko buku kecil itu, membaca berjam-jam tanpa membeli pun tidak menjadi masalah. Kondisi itu, berbeda dengan toko-toko buku besar yang terdapat di mal maupun pusat perbelanjaan yang terkesan terlalu ‘bisnis’ dan jual-beli jadi tujuan utamanya. Toko-toko buku alternatif mencoba berinteraksi dengan ramah dan cerdas dengan para pengunjungnya. Para pengelolanya juga enggan memakai istilah konsumen untuk para pembeli buku di tempatnya, karena pada dasarnya bagi mereka semua pengunjung dianggap sebagai teman.

Mengenai koleksi buku yang ditawarkan, toko-toko buku itu juga terkadang sangat mengejutkan. Pasalnya, toko-toko buku alternatif seperti itu berangkat dengan konsep kekhususan atas koleksi yang dimilikinya. Semakin lengkap koleksi yang mereka miliki, sama artinya dengan semakin memanjakan para pengunjnung atau pecinta buku untuk terus mengeksplorasi kolesi buku kegemarannya. “Konsep inilah yang memang banyak dicari orang sekarang ini. Akan tetapi toko buku seharusnya mempunyai trade mark untuk koleksi bukunya,” tutur Daniel Mahendra, pemilikMalka, toko buku sastra di Jl PHH Mustofa Bandung.”Trade mark itu dimaksudkan untuk mempermudah para pecinta buku untuk memuaskan keinginannya terhadap buku.”

Menurut Daniel, setiap toko buku harus mempunyai ciri keunggulan masing-masing sehingga pengunjung bisa memutuskan tujuannya untuk mencari dan memuaskan keinginan terhadap buku kegemarannya. Ia menjelaskan, Malka sendiri lebih berkonsentrasi melengkapi koleksi-koleksi sastranya. Sedangkan Tarlen Handayani, pengelola Toko Buku Kecil (Tobucil) yang berlokasi di Jl Kyai Gede Utama Bandung, mengatakan, Tobucil saat ini sedang menambah jumlah koleksi bukunya dan mengembangkan klab-klab (sebutan untuk komunitas di Tobucil) yang ada di dalamnya.

Tarlen menjelaskan, Tobucil memang tidak akan terlalu fokus pada satu jenis literasi. Alasannya, kata dia, karena Tobucil ingin memperluas lagi aktivitas yang mendukung kegiatan klab-klab yang ada dalam koridor seni dan budaya. “Lebih luas daripada sastra, filsafat, atau lainnya,” katanya. Jika melihat konsep pengembangannya, baik Malka maupun Tobucil, memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mengembangkan konsep bisnis yang berbasis kepada pembentukan komunitas. Tarlen mengungkapkan Tobucil sudah mulai berpikir ke arah penambahan keuntungan. Di sisi lain, ada kaitan erat antara komunitas yang dikembangkan dengan bisnis yang dikelolanya.

“Jika kita berpikir untuk mencari keuntungan dalam artian sebenarnya, mungkin kalah dengan toko buku yang lain. Tapi yang kita maksudkan dengan mencari keuntungan adalah sejauh manaTobucilbisa lebih luas lagi manfaatnya bagi masyarakat,” papar Tarlen. Mengenai penjualan, umumnya toko-toko buku alternatif mengembangkan strategi sejenis. Daniel mengakui, toko buku alternatif biasanya menjual buku-buku koleksinya dengan harga yang lebih murah jika dibandingkan toko buku besar. Ini, sambung dia, merupakan senjata jitu bagi persaingan dengan toko buku besar.

Senada dengan itu, Tarlen menjelaskan, pada dasarnya pihak toko buku alternatif mengembangkan konsep berjualan buku yang adil, yakni, adil untuk pembeli, penjual dan penerbit. Dari 30 persen diskon buku yang biasanya diberikan oleh penerbit, ungkap Tarlen,Tobucil memberikan 10 persennya untuk pembeli buku. Namun selama ini, diakuinya, masing-masing toko buku sudah punya pelanggan setia. Jadi, sambung dia, hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap daya saing dengan toko buku yang lain. Ia mengaku tidak terlalu khawatir dengan hal tersebut.

Daniel mengatakan, biasanya keuntungan dari diskon yang mereka peroleh dari penerbit memang diambil sebagian untuk kepentingan toko. Namun kemudian, lanjut dia, keuntungan yang diperoleh toko buku biasanya kembali ke operasional pembentukan komunitas di toko buku alternatif itu sendiri. “Kami tidak ingin berbohong ketika kami juga hidup bersama dari keuntungan penjualan buku ini. Tapi, kebutuhan kami terhadap pembentukan komunitas ini lebih dari hal lain, karena komunitas ini yang sebenarnya kami impikan,” ujar Daniel.

Jelasnya, ungkap Tarlen, toko buku alternatif memang lebih menawarkan kejujuran dalam berbisnis. Ia mengaku, toko bukunya ingin dinilai apa adanya oleh para penikmat buku. Pasalnya, dari kejujuran itulah kesetiaan pembaca bisa terbentuk. Disinggung mengenai kiat-kiat mereka bertahan dalam bisnis yang digeluti saat ini, Tarlen dan Daniel membagi sedikit pengalamannya. Kata mereka, jatuh cinta pada pekerjaan yang kita kerjakan akan membuat kita lebih menjiwai dan masuk ke dalam dunia pekerjaan kita. Keduanya berharap, tumbuhnya toko-toko buku alternatif bukan hanya tren. Namun, bisa menjadi lokomotif untuk mengembangkan benih kegemaran membaca buku di masyarakat. “Semoga berkembangnya toko-toko buku alternatif seperti sekarang ini tidak seperti jamur di musim hujan,” ujar Tarlen.