Toko Buku Harus Bangun Komunitas

Pikiran Rakyat, Kamis, 29 September 2005

Ini cukup menarik, karena ternyata pendirian toko buku alternatif ini memiliki kunci tersendiri. Seperti kata Daniel Mahendra, pemilik pondok sastra Rumah Malka, yang penting membangun komunitasnya. Ini bisa dilihat dari Tobucil dengan klab-klab kreatifnya, Rumah Buku dengan Eksponen Textour-nya, dll.

Jadilah sebuah sinergi, komunitas literasi juga maju, seiring dengan pendirian toko buku alternatif. Upaya membangun komunitas ini dilakukan pula oleh Daniel dalam mengelola Rumah Malka.

Berikut obrolan Kampus dengan jebolan Fakultas Ilmu Komunikasi Univeritas Islam Bandung jurusan jurnalistik.

Kenapa bikin toko buku?

Mendirikan toko buku sudah lama saya cita-citakan. Apalagi jadi penulis, itu lebih lama lagi. Intinya begini, untuk berhasil seseorang harus berani menentukan sikapnya sendiri. Nah, konsekuensinya saya memilih berhenti jadi pegawai dan memutuskan jadi entrepreneur-lah… (sambil tertawa lagi).

Kira-kira September 2004 saya terakhir ngantor sebagai jurnalis. Sementara Toko Buku Malka sudah mulai berjalan saat itu.

Lalu apakah ada ilmu yang diambil selama pindah-pindah tempat kerja dengan pendirian Malka?

Praktis ada. Rumah Malka bukan sekadar toko buku alternatif yang kegiatanya hanya menjual buku sastra saja. Kegiatan usahanya ada penerbitan, distribusi buku, perpustakaan, kedai, juga kelas cerpen. Ilmu selama pindah-pindah media itu, dan juga ilmu dari kampus dulu, kampus ya, bukan dari kuliah, saya jadi lebih tahu banyak tentang pengolahan sebuah naskah mentah, melewati proses produksi sampai ke tangan pembaca. Nah ilmu itu setidaknya membuka jalan bagi Malka untuk memiliki usaha penerbitan buku sekaligus distribusinya. Semua saya pelajari di pers mahasiswa. Luar biasa sekali pers mahasiswa bagi saya. Lebih dari itu, ilmu jurnalistik tidak sekadar membuat toko jadi tempat transaksi jual beli semata. Tapi juga tempat berdiskusi antara mengelola dengan konsumen. Semisal, ada yang bingung dan tanya soal jurnalisme sastrawi. Nah kan kita bisa jawab dan kasih usul soal buku-buku yang musti dibaca. Ada relasi nilai di sana. Ditambah pernah mampir sebagai wartawan bisnis, wah itu saya dapatkan ilmu-ilmu berbisnis secara gratisan. Mulai dari hadir di seminar-seminar bisnis sampai bertemu dengan pengusaha-pengusaha kaliber di Kota Bandung. Itu menjadi modal membangun usaha tanpa merambah-rambah hutan dulu, tapi tinggal meneruskan jalan setapak yang sudah ada. Saya menyebutnya amunisi.

Apakah tidak ada usaha lain yang diminati selain bikin toko buku dan jadi penulis?

Semuanya berawal sejak masih SD. Saat ibu pergi ke pasar, saya ngubek-ngubek kios buku di Palasari. Saat itu, pasar buku masih terletak di lantai atas. Tanpa sengaja saya menemukan sebuah buku karangan Karl May, Winnetou-Kepala Suku Apache. Ternyata buku itu menginspirasi saya tentang sosok laki-laki yang keras, berani, dan punya sikap hidup yang kuat, seperti tokoh Old Shatterhand. Ditambah Balada Si Roy karya Gola Gong saat menginjak SMP. Saya tumbuh dengan buku-buku seperti itu. Buku-buku itu makin memberikan motivasi untuk diri sendiri sebagai laki-laki. Terutama motivasi menulis. Masa mereka bisa, saya nggak bisa. Jadi kecintaan pada buku sudah seperti udara. Saya bernapas dengan itu. Sejak kecil saya jadi pengumpul buku. Orang rumahan. Kalau sudah baca buku di rumah, hidup sudah terasa indah saja rasanya. Hahaha! Lama-lama keterusan sampai dewasa.

Apa sejak SD itu sudah pingin jadi penulis?

Yah belumlah. Anak kecil yang beranjak remaja, apa aja kan pingin digeluti. Semua hal kayaknya bagus untuk dicoba. Tapi proses akhirnya menggiring saya bermimpi menjadi seorang penulis. Sebagai pribadi yang introvert dan inferior, saya lebih suka mengoceh dengan tulisan. Selain itu, dengan menulis kita tidak akan tercoret dari sejarah.

Selain itu, olah tulis-menulis ini sudah sejak SMP saya geluti. Kerja jurnalistik sudah saya rasakan sejak SMP. Malah saya baru tau saat kuliah kalo tulisan saya waktu SMP, hasil wawancara yang saya tulis ulang, disebut feature.

Tapi saya perlu sadar, dengan kemampuan saya, hidup dengan menulis saja rasanya tidak mungkin. Kalau ada orang lain yang bisa, saya hormat sekali dengan orang itu. Saya realistis sajalah. Berapa banyak sih media massa mau menampung tulisan saya? Atau penerbit mana saja yang mau menerbitkan buku saya? Itu pula alasan-alasan kenapa menjadi penulis harus ditopang oleh produktivitas lain. Makanya saya tetap bekerja sebagai jurnalis beberapa tahun ke belakang. Dan Rumah Malka adalah mimpi yang sedang saya jalani. Mimpi lain mungkin punya percetakan sendiri. Muaranya semua itu melebur dalam satu kompleks kesenian. Pokoknya hidup ini harus punya mimpi.

Apa karena itu pula, untuk mendukung keuangan Malka, Anda banyak disibukkan dengan kegiatan bisnis bersama sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer*?

Hah? Kata siapa itu? Tidak sama sekali! Bukan berbisnis dengan Pram. Terlalu naif bagi saya jika melakukan itu. Saya tetap pada porsinya sebagai profesional, karena membantu penerbit Lentera Dipantara, penerbit yang menerbitkan ulang karya-karya Pram. Itu semua berangkat dari rasa ingin membantu Pram saja. Tidak dibayar pun saya cukup gembira bisa membantu terbitnya karya-karya Pram.

Kenapa Anda pilih Pramoedya? Sampai-sampai Anda mendirikan Pramoedya Institute dan milis “membacapramoedya”?

Begini ceritanya. Sebagai sastrawan, selama Orde Baru, karya-karya Pram masih dianggap sebagai karya-karya terlarang serta membahayakan. Parahnya lagi, karya-karya itu dibakarin. Nah, saya berusaha mengajak orang untuk lebih menghargainya. Kalau betul Pram pernah berbuat kesalahan di masa lalu, saat masih di Lekra*, bukan berarti kita bisa membakar karyanya. Tentu kesalahan-kesalahan di masa lalu itu tidak perlu dibawa-bawa dengan menghancurkan karya-karyanya. Kita perlu melihat secara objektif pada setiap hal. Jangan dulu membakar buku sebelum membacanya. Pengarang siapa pun itu.

Bagi saya, sosok Pram sebagai penulis, memberikan inspirasi luar biasa. Dari masa muda, dengan hanya bermodal mesin tik, ia tidak pernah lelah dan terus produktif hingga usia senja. Saat saya melihat diri sendiri, hidup di masa modern, ada komputer, ada perpustakaan, ada internet, kokmasih bermanja-manja? Keterlaluan sekali! Lebih dari itu, Pram menulis bukan berdasarkan pada imajinasi belaka, tetapi melakukan riset dan penelitian sejarah.

Apakah kampanye soal Pram sudah ada hasilnya, yah, paling nggak dampak positif buat Malka? Seperti di Friendster yang jumlahnya mencapai 1.500 orang? Terus di milis ada 300 members?

Hahaha! Kalau friendster itu untuk bersenang-senang saja. Tapi intinya, saya berusaha mengajak orang atau kawan-kawan untuk tidak mendewa-dewakan Pram. Ia tetap saja seorang manusia biasa yang bisa marah, egois atau tidur ngegeletak di ruang tamu rumahnya. Itu kenapa saya sering menuliskan perjalanan saya setiap berkunjung ke rumah Pram. Biar orang melihat Pram apa adanya. Herannya image Pram malah makin melekat, terutama di Malka. Itu dilihat dari sisi kemudahan orang mencari buku-buku Pram yang cukup lengkap di Malka. Baik yang telah diterbitkan ulang maupun kumpulan catatan-catatan Pram yang tidak diterbitkan. Akses saya ke perpustakaan Pram memang longgar sekali. Karena itu, mungkin Malka diidentikkan “sangat” Pram, artinya orang kalau cari buku Pram, yah, di sini tempatnya.

Apakah dengan memiliki ciri khas seperti itu akan membuat Malka bertahan di tengah persaingan dengan toko-toko buku sejenis, yah, misalnya dengan common room-nya Tobucil yang telah lebih dulu berdiri?

Hahaha… Persaingan macam apa? Malah toko-toko buku lain yang sejenis Malka, seperti Tobucil atau Ultimus, misalnya, mendorong keberadaan Malka. Kita itu saling support. Kita sering bikin acara bareng. Saling merekomendasikan satu sama lain. Kalau ada orang datang cari buku Pram, selalu saya tanya, tahu dari mana kok cari ke Malka, mereka kerap menjawab: direkomendasikan oleh Tobucil atau Ultimus. Bayangkan! Jadi di mana persaingannya?

Kalo tidak terlalu khawatir dengan persaingan, tapi apakah Anda yakin hidup Malka akan lama?

Kalau saya tanya Anda apakah yakin menggeluti profesi jurnalis akan lama, bisa menjawab? Proses hidup saya mengajarkan saya untuk selalu optimis. Saya tidak pernah pesimis kecuali soal pernikahan. Hahaha! Di dunia ini penuh dialektika. Tidak ada yang kekal. Inti dari bisnis ini, selain buku yang dijual, adalah kekuatan keberadaan komunitasnya. Keduanya akan menjadi sisi-sisi yang menunjang keberadaan toko buku. Membangun komunitas dengan diskusi-diskusi dan gelaran acara, akan mendorong orang lebih banyak datang. Dari situ tentunya orang akan tertarik beli buku. Nah kalau menggencarkan bisnis tanpa komunitas, toko buku tidak akan memiliki jiwa apa-apa.

Selain itu, Malka sendiri tidak berpangku pada bisnis jual beli buku di toko semata. Saya membayangkan ia akan menjadi korporasi yang memiliki usaha-usaha mandiri di bidang penerbitan, pendistribusian, dan percetakan. Dari hulu ke hilirlah. Selain itu, ada pula perpustakaan gratis dan kelas penulisan. Semisal penerbitan, sekarang sampai bulan depan saja ada 5 sampai 6 buku yang siap diterbitkan. Itu semua menjadi amunisi ke depan untuk mewujudkan Rumah Malka Coorporation. Gila ya!