A Dream: Journey to the Roof of the World

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #35

Oleh Suntea Edogawa

Ketika keinginan telah tercapai dan kita telah berada di sana, semua menjadi selesai dan berhenti seketika. Terkadang proses untuk mencapai sesuatu acap kali jauh lebih bermakna ketimbang tujuan itu sendiri. – page 114 –
sounds familiar with my favourite quote ever (-To travel is better than to arrive-)

Rooftop of the world..
Atap Dunia…

Entah bagaimana kalian menyebutnya, itu tak akan menjadi masalah. Tak ada halal dan haram didalamnya. Dan entah kenapa, bersamaan dengan keinginanku untuk menginjakkan kaki di India, dimana Namaku diartikan sebagai Kedamaian, tiba-tiba terbersit keinginan untuk sekalian berkunjung ke negeri saudarinya, Nepal, Pakistan, Sri Lanka atau jika memungkinkan, Tibet.

Dan entah kenapa, nama yang terakhir tertanam dalam otakku. Negeri atap dunia, begitu orang menyebutnya. Negeri terjajah yang tetap indah, anggun dalam kultur alam dan budaya. Miris memang, membayangkan para Dalai Lama terusir dari tanah nya sendiri. Menatap tempat ibadah berubah fungsi menjadi obyek wisata komersil dimana keuntungannya lari ke kantong penjajah, bukan yang terjajah. Tapi, diluar semuanya aku tetap ingin kesana.

Berbeda dengan Mekkah, negeri kiblat muslim di seluruh belahan dunia, Tibet merupakan penggalan mimpi yang berbeda. Mekkah membutuhkan aku untuk mau dan mampu dalam arti sesungguhnya. Rukun islam kelima mengharuskan aku kesana. Dan aku akan kesana. Dengan kemampuan hati, niat dan semoga dengan pribadi yang kuharap bukan sekedar “muslimah” dalam konteks busana. Mampu bukan sekedar uang kawan, itu yang selalu para ustadz ajarkan.

Tibet bagiku bukan sekedar keinginan dan tantangan. Sanggupkah aku bermalam 2 hari di kereta, bertahan dengan culture shock dengan komunitas yang sama sekali berbeda di India, Nepal dan China, atau yang paling gampang, menepiskan egoku untuk menerima apapun kebiasaan dan kebudayaan disana dengan tetap bertahan sebagai orang biasa yang sedang belajar menatap dunia yang sesungguhnya. Tapi ketimbang filosofi yang akan banyak dicecar, mari kita bahas ini hanya sebagai keinginan.

Keinginan itu racun kawan, ia mengakar dan meraung sekuatnya. Racun itu tumbuh subur, dipupuk secara sengaja oleh Daniel Mahendra dalam bukunya “Perjalanan Ke Atap Dunia.” Sebuah buku yang membuatku terjaga lima jam untuk melahap ke-354 halaman nya. Satu hal yang sudah lama tak kulakukan setelah Harry Potter and the DeathlyHollows pertama keluar versi englishnya.

Berawal dari Komik Tin Tin di Tibet semasa kecil, Daniel cukup berani bermimpi. Tanpa ragu ia menanamkan pada dirinya, “Aku akan ke Tibet.” Mimpi itu semula biasa saja, terbayang namun lekang oleh waktu. Tertanam, namun kadang terbenam oleh pekerjaan dan liku kehidupan. Hingga suatu hari, seorang sahabat menantang kesungguhannya untuk pergi ke negeri impian. Dan ia sadar, inilah waktunya mimpi itu dikejar.

Dan bukan ikut-ikutan. Anggap saja aku sedang bermimpi. Mimpiku mungkin sama tinggi dengan Daniel. Negeri yang kami kunjungi akan sama. Dan bukan tak mungkin, aku akan bertemu Pampa, Carloz atau Chen disana. Namun, sungguh aku tidak berharap akan bertemu “Jeanne” disana hahahah… Tapi dalam mimpiku, setidaknya aku percaya, cerita kami akan berbeda. Percayalah, akan kuceritakan segalanya setelah kepulanganku tentunya.

“Aku memang tak pernah mengaku sebagai backpacker. Seingatku, belum pernah aku melabeli diri dengan istilah semacam itu, baik secara lisan maupun tulisan. Tetapi sekadar mengunjungi tempat-tempat wisata ala turis, apa menariknya? Terlampau standar dan belum tentu bisa menangkap aura kehidupan masyarakat yang sebenarnya di suatu negara. Sebagai turis barangkali hal itu tak masalah dan memang tak ada yang salah. Tetapi sebagai penulis, tempat wisata tak selalu mewakili denyut nadi kehidupan lokal yang sebenarnya.”

Demikian halnya Daniel menggambarkan dirinya. Jika dia saja bukan, apalagi aku. Dan semoga aku tidak pernah mengaku demikian. Travelling bagiku secara pribadi sejatinya merupakan pelarian, entah lari dari apa. Aku hanya berpedoman, run like there’s somewhere to go..and actually.. there’s so many places to go.

“Masa muda Daniel. Masa muda. Memang seharusnya begitu. Pergilah ke mana pun kakimu melangkah, itu akan menempamu. Memperkaya pengalaman batinmu. Tetapi pada saatnya tiba, jadilah laki-laki yang merasa cukup dengan keluarga di rumah.” – Page 319

Penggalan paragraph diatas setidaknya membuka mataku akan sesuatu. Untuk dan atas apa aku berlari. Aku hidup, bernapas, dan mencoba untuk bebas. Aku bukan orang yang kaya harta, tapi aku bertekad untuk hidup dengan memberi sebanyak mungkin. Aku bukan manusia luar biasa, tapi tak ada salahnya bermimpi untuk mendapatkan hal-hal yang tidak biasa.

Pergi adalah denotasi “lari” yang kupakai dalam tulisanku. Aku akan pergi, kemanapun aku mau. Dan aku yakin aku akan mampu. Namun aku berjanji, aku akan kembali dan mungkin akan berhenti berlari untuk suatu hal yang tak perlu kukejar atau kucari, karena itu pasti dari Illahi (teruntuk jodoh, mati dan rizki).

Simply, this book was awesome!!!
Untuk yang tak pernah berani bermimpi..bermimpilah…

_________________________________

* Part time auditor, full time traveller, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di sunteaedogawa.blogspot.com [November 2012].