Alaya di Negeri Atap Dunia

Ulasan Alaya | #02

Nurul Ulu
Pembaca, tinggal di Bandung

Kemarin beli buku di Gramedia Merdeka. Kover bukunya macam kover di komik Tintin. Begitu baca nama penulisnya, gak asing terbaca. Saya gak ingat karya buku-buku yang ia pernah tulis. Ini buku pertama Daniel Mahendra yang saya baca.

Saya gak menulis ini dalam keadaan terpaksa. Malah kepengen banget nulis resensinya. Ini bukan buku yang meninggalkan kesan bagus banget tapi anehnya membuat saya pengen nulis. Lho berarti bukunya bagus atuh. Hehe.

Baik. Mari saya mulai!

Judul Buku: Alaya Cerita Dari Negeri Atap Dunia
Penulis: Daniel Mahendra
Halaman: 413
Penerbit: Epigraf

Fyi, bukunya baru terbit September 2018. Hooh baru kemaren banget lahirnya. Selamat, Kang Daniel! *sok kenal heuheu*

Alaya adalah catatan perjalanan Daniel Mahendra mengarungi beberapa kota di Tibet dan Nepal. Ada menyempil sedikit catatan dari kota di Cina tempat ia transit.

Chengdu, Lhasa, Shigatse, Kathmandu, Phokara. Demikian kota-kota yang banyak disebut dalam bukunya. Kota-kota yang diperuntukkan bagi turis.

Daniel mencapai Tibet dengan kereta api. 44 jam menumpang sepur yang sama. Bagian ini aja udah menarik sih buat saya. Hampir dua hari dalam kereta, menempuh rel dari kota datar ke area pegunungan bersalju di ketinggian 4000 mdpl. Di negeri antah berantah!

Daniel berada di stasiun tertinggi di dunia. Samar-samar ia melihat Himalaya dari jendela kereta. Di antara ludah-ludah berceceran dan kamar mandi yang busuk rupanya, cerita di kereta api dari kota Chengdu di Cina ke Lhasa di Tibet salah satu yang paling saya sukai kisahnya. Terutama percakapan Daniel dengan orang-orang yang ia temui.

Dalam buku disebutkan Tibet merupakan impian Daniel. Mimpi omong kosong namun kegigihan membuatnya nyata.

Waktu saya pegang bukunya di toko, saya sempet mikir ini buku tebel juga untuk ceritain satu negara. Setelah baca, ohooo baru mengerti kenapa tebal. Bukan seminggu ia jalan-jalan di negeri atap dunia. Tapi satu bulan. Satu bulan itu lama banget buat standar orang Indonesia plesir di 1-2 negara.

Perjalanannya di Tibet bahkan baru dimulai di halaman 145.

Sudah pasti Daniel gak hanya merawi kesannya terhadap tempat yang ia kunjungi, namun interaksinya dengan orang-orang. Dan menurut saya kekuatan buku ini ada pada obrolan-obrolan tokoh utama dengan orang lain. Lucu. Getir. Sableng.

Secara keseluruhan yang saya sukai dari buku ini adalah: ceritanya naratif alias bukan cerita tip-tip perjalanan yang deskriptif dan membosankan. Dan banyak banget percakapannya. Ya ala-ala novel gitu.

Ada sih beberapa bagian yang kayaknya gak perlu. Tapi kelihaian Daniel meramu catatan perjalanan dengan rupa-rupa bahasa novelis maka ceritanya menarik aja. Lebih indah dan menggugah.

Dan lebih mengejutkan lagi, utamanya bagi saya, membuat kita bertanya-tanya sebenarnya kita jadi turis ini untuk apa, agar apa, demi apa…

“Tiba-tiba aku merasa malu menjadi turis yang berkunjung ke Tibet” tutur Daniel sewaktu mengunjungi Potala Palace.

Bila plesir di Tibet, turis harus menggunakan jasa travel agent. Di Nepal sebaliknya, turis jauh lebih leluasa menentukan ke mana ia mau berjalan.

Tibet adalah impian Daniel, namun Nepal lebih menyenangkan dan mudah untuk Daniel jelajahi. Sendiri.

Sering gitu ya. Kamu punya mimpi sejati. Begitu mimpi tercapai, kamu menyaksikan hal yang bertentangan dengan hati nurani. Lho kok begini. Yah kenapa begitu. Sungguh mengecewakan.

Lucu bagaimana Tuhan mempermainkan hati kita ini memang.

Bila ada satu hal yang bikin saya melek baca ini buku sampai jam 4 pagi, maka itu gara-gara Alaya.

Iya judul bukunya. Apa artinya Alaya. Sampai setengah buku habis saya belum tahu apa maknanya. Hingga saya maksa tidur sajalah!

Keesokan harinya barulah saya menamatkan Alaya. Sewaktu berbelanja di IBCC, Indra dan Nabil yang berkeliling mall, saya nunggu di foodcourt saja. Ini buku saya bawa dan menghabisinya hingga halaman terakhir!

Sungguh menyenangkan judul buku ini menggenapkan seisi cerita Daniel di negeri Atap Dunia.

Bagian akhirnya seperti berkejar-kejaran. Ada kesan fiktif dan saya tidak menyukainya. Terutama di bagian Daniel bertemu bapak-bapak pemilik warung kopi di Pokhara dan perempuan Prancis di tepi Danau Phewa.

Walo begitu, wejangan dari bapak warung kopi sangatlah menarik! Itu kamu jauh-jauh pergi nyari apa, Mas? Mba? Terjawab di halaman 352-353-354.

Ada pertanyaan menggantung. Bab-bab bukunya diberi judul unik. Dari bahasa sanskerta sepertinya, sama dengan Alaya. Atau bahasa melayu? Aduh saya belum tahu.

Purwaka, Melaya, Anja, Wiwandha, Wilasita, Wisapaha, Wasana.

Apa artinya ya… Apa ada catatan yang saya lewatkan dalam bukunya sehingga gak tahu apa arti kata-kata itu. Saya belum google, btw.

Dari segi teknis, ini buku gak nyusahin. Artinya font tulisan, ukuran huruf nyaman buat mata dan jarak antar teks yang enakeun cenah kata orang sunda mah. Pengaturan transisi cerita juga rapi.

Tulisan ini udah kepanjangan. Saya sudahi saja.

Alaya adalah buku perjalanan yang saya rekomendasikan. Bukan yang terbagus yang pernah saya baca, tapi satu yang terunik dan meninggalkan kesan senang bacanya. Mudah-mudahan Daniel Mahendra- penulis buku ini- punya kesempatan traveling lebih banyak dan bikin buku kayak gini lagi. Amin!

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di bandungdiary.id [27 September 2018].