Catatan Daniel yang Ber-tabik

Ulasan Selamat Datang di Pengadilan | #1

Oleh Septiawan Santana K

Cerita pendek (cerpen) memang bukan rumusan jati diri. Cerpen hanya sepenggal kehidupan seseorang ketika memotret kehidupan melalui sudut pandang seseorang atau sekumpulan orang. Catatannya mengudarakan kebebasan untuk merenung, menyimpulkan, menyatakan, “aku ada karena aku tak ada”.

Tapi, siapa yang menjadi ada. Di mana ke-ada-an itu hendak diletakkan. Kemana ke-ada-an si kritikus itu sendiri. Selebihnya, adalah torehan pikiran yang sengaja dicuatkan untuk si bukan-cerpen, bukan tokoh-tokoh yang terjadi dan diceritakan si cerpenis, bukan organ-organ dari keseluruhan si cerpen.

Nah, dalam hal inilah, tampaknya Daniel Mahendra membuka tabik pertama cerpen-cerpennya. Dalam kumpulan cerita, berjumlah sebelas kisah pendek kehidupan yang ditangkupnya ini, ia menggelinyang di antara kekacauan pikiran, peristiwa, kenangan, dan pelbagai hal yang menggodanya, untuk dijadikan sebagai “kegilaan” si pengarangnya sendiri.

“Kegilaan” pertama Daniel, sebagai pengarang yang baik, ialah ngotot. Ia bersikeras untuk tidak mau diperintah oleh mimesis ruang publik –dimana ia berdiri, ia meraup kehidupan, ia meraih mimpi, ia menulis, ia menerbitkan… Ia tidak mau terjatuh menjadi seuntai bagian dari perangkat semacam “pasar”, misalnya, yang kerap membelenggu banyak penulis sastra untuk bargaining. Untuk menegoisasi apa yang hendak dijatidirikan di dalam kisah-kisah cerpennya.

Jadinya, dalam kumpulan cerpen ini, ialah akumulasi carut-marut berbagai nego si pengarang dengan harapan atau impian yang ia idealisasikan sendiri. Dalam cerita Kemudian Jadilah Ia Wartawan, misalnya, kita temukan isi kisah yang klise, banyak dikupas, dan sering dieksploitasi. Dan, Daniel tetap kukuh menyatakan jatidiri-renungannya dari tangkapan seorang the other. Beruntunglah, kekerasan hatinya punya banyak dimensi. Dalam cerita ini, banyak tokoh menjadi dibuat tidak terduga, dibikin tidak kichts, tidak ngepop, dikemas dalam kepingan waktunya sendiri.

“Taruhan bin taruhan, semua yang memandangnya akan akur atas kecantikan parasnya. Rambutnya yang hitam begitu harum menghiasi bahunya yang mungil. Hidung dan bibirnya seperti diciptakan bagai anak kembar: serasi dan sensual.”

Deskripsi semacam ini menunjukkan komentar pengarang yang coba berintim-intim dengan pembacanya. Dan pembaca Daniel, dalam kisah ini, ialah orang-orang yang dekat dengan dunia wartawan dan mahasiswa. Pada titik inilah, Daniel meluaskan area pengiasan renungannya. Ia coba mengisi luang kisah-kisah cerpen tentang wartawan dalam bentukan dunia sekolah jurnalistiak (universitas) dengan profesi kewartawanan. Di dalam kisah berskematik percintaan ini, ia memasukkan banyak dimensi-dimensi yang terkait dengan dunia kewartawanan. Pada fase ini pula, Daniel memuncratkan hal-hal yang tampaknya jarang di-vulgar-kan oleh banyak pengarang. Sekaligus, mencerminkan bahwa pengarangnya memiliki kedekatan dengan dunia jurnalistik –tempat ia menimba ilmu, dalam status mahasiswa, di sebuah perguruang tinggi.

Dalam kaitan ini pula, seperti terlihat di beberapa cerpennya, ia memasukkan pemahaman: bahwa cerpen memang memiliki mimesis-evaluasi sendiri. Tokoh-tokohnya berjalan sendiri. Kisah-kisah kehidupannya meamng tidak dapat dinubuat oleh banyak kajian teoritik sastra. Kajian Realisme Sosial, umpanya. Dalam banyak hal, pemikiran ini banyak terbaca. Secara semiotik, banyak penanda dan pertanda mengungakapkan potret kisah semacam perjuangan sosial. Namun, banyak pula kisah cerpen Daniel yang menolak diatur dalam pemikiran pertentangan kelas.

Bagi saya, ini adalah “kegilaan” Daniel yang kedua di dalam tabik kumpulan cerpennya. Ia seperti hendak menjalarkan pemikiran tertentu, dari pelbagai wacana disiplin ilmu, tapi juga menolah untuk dijadikan organ dari kepungan kerigidan analisa teoritik. Jadinya, kisah-kisahnya menjadi independen, sensual, dramatis, dalam gaya penceritaan yang kerap “iseng sendiri”. Ia tak peduli pada pembaca yang coba mengikuti kepedihan, kegembiraan, horor, keruwetan, kekonyolan, dari kehidupan di dalam cerpen-cerpennya.

Dengan kata lain, Daniel mencoba bercerita, dari dasar hati yang paling dalam, tentang ketidakpedulian orang-orang pada kisah-kisah yang remeh, telah terpikirkan tapi malas diungkapkan, serta pelbagai drama telenovela –yang telah masuk ke dalam wacana kesadaran masyarakat, secara diam-diam– melalui olah pandang yang berbeda.

Bukankah ini menjadi sebuah daya magnet. Khususnya, bagi orang awam “sastra” –yang menganggap sastra hanya sebagai teman seketiduran– untuk membaca cerpen-cerpen Daniel Mahendra. Dengan kalkulasi: setiap cerpen ialah milik banyak orang untuk mengenali “apa yang diinginkan di dalam kehidupan keseharian ketika ia hendak (harus) memilih nasib”.

Karena itulah, kumpulan cerpen ini menjadi bermakna.

Bandung, Agustus 2001

_________________________________

* Lahir 6 September 1965 di Purwakarta, Jawa Barat. Mengajar Jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung sejak 1997 –sembari menulis puisi, artikel, bahan kuliah, dan buku. Beberapa puisinya telah muncul di majalah sastra HorisonAntologi Puisi Indonesia(KSI – Angkasa 1997), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (Dinas Kebudayaan DKI Jakarta & Masyarakat Sastra Jakarta, 2000), serta bersama beberapa artikelnya, di halaman-halaman puisi, budaya, dan opini berbagai surat kabar. Melalui buku Renungan Perkawinan (Puspa Swara, 1999), ia mengekespresikan sajian feature Jurnalistik Sastra ke dalam tulisan “how-to-do-it”. Saat ini sedang membuat naskah buku Jurnalisme Sastra (tengah diproses penerbit), serta Jurnalisme Investigasi.