Cerita dari Negeri Atap Dunia – Alaya

Ulasan Alaya | #04

Ainun Fitriyah
Pembaca, tinggal di Semarang

Okay then, i want to write about “Alaya” a book that told me a story about traveling to the roof of the world, Tibet.

Jadi hari itu saya lagi senggang dan otaknya lagi abstrak banget tidak tahu mau ngapain. Kluyuran naik motor siang hari, pamit mau ke kostan teman di Tembalang yang hanya berjarak beberapa menit dari rumah di Banyumanik. Eh tapi si teman saya malah entah kemana susah pula di hubungi, padahal panas sekali hari itu. Saya juga hanya pakai celana rumah-an dan kaos biasa tidak pakai jaket. Akhirnya memutuskan untuk mengarahkan stank motor menuju Gramedia di tengah kota Semarang. Yang perjalanannya membutuhkan waktu hingga 20 menit ditemani keramaian kendaraan lainnya.

Berputar-putar lah saya di toko buku mencari yang mana ingin saya bawa pulang sebagai teman sebelum tidur. Alaya – cerita dari negeri atap dunia karangan Daniel Mahendra menjadi satu dari dua buku yang saya timang menuju kasir dan akhirnya saya bawa pulang. Buku ini menceritakan tentang perjalanan seseorang menuju dataran tinggi di China bernama Tibet. Banyak buku dengan cerita-cerita menarik berderet di barisan yang sama dengan Alaya ini.

Tanpa sadar saya teringat bahwa saya pernah membuat daftar keinginan, dan di dalam catatan hal-hal yang ingin saya lakukan itu ternyata ada nama daerah bernama Tibet yang ingin saya kunjungi. Tidak perlu banyak pertimbangan saya langsung mengambil, membaca keterangan yang tertera di cover belakangnya sebentar dan kemudian melanjutkan mencari calon bacaan lain sambil tetap menimang si Alaya.

Judul : Alaya – cerita dari negeri atap dunia

Pengarang : Daniel Mahendra

Penerbit Epigraf, tebal 413 halaman, harga di pulau jawa Rp 99.000

Butuh waktu delapan belas hari untuk saya membaca habis 413 halaman buku ini. Menarik. Awalnya saya pikir hanya akan seperti cerita perjalanan biasa. Perjalanan yang mudah dan selalu menggembirakan, di bumbuhi dengan beberapa kejadian biasa yang diangkat sedikit lebih atraktif agar terasa menarik. Ternyata isinya lebih kepada catatan perjalanan dan beberapa renungan hidup sang penulis yang bergejolak dalam dirinya secara pribadi. Selain cerita perjalanan juga ada sedikit-sedikit catatan kecil untuk anaknya yang bernama Sekala. Manis dan berkarakter juga ternyata buku ini.

Selain cerita yang sarat makna juga buku ini dipenuhi berbagai informasi. Yaap, informasi bagaimana cara-cara yang memungkinkan kita untuk menuju Tibet, kota di tempat tinggi yang dalam bayangan saya terdapat desa dengan suasana hangat menyenangkan di tengah-tengah pegunungan salju yang dingin. Itu yang saya bayangkan. Sepertinya dulu saya lihat secuil gambaran itu dari sebuah majalah travel and adventure. Lain halnya dengan si penulis buku yang saya baca. Pemicu keinginannnya menuju Tibet adalah buku cerita petualangan Tintin di Tibet. Ada yang pernah baca atau tahu cerita itu? Saya pribadi sepertinya tidak pernah tahu, mungkin suatu saat nanti akan tahu juga hahaha.

Mulai dari pilihan jalur yang bisa digunakan untuk menuju Tibet, agen travel, pembuatan visa, informasi harga, maskapai, tempat penginapan, serta berbagai hal lain yang bisa membantu para pembaca untuk memahami kondisi penulis dan seperti apa kondisi perjalanannya. Tidak melulu tempat wisata yang di kunjungi seindah apa yang dibayangkan, malah jauh dari keadaan ideal yang disimpan lekat-lekat dalam otaknya selama ini. Adalah ekspektasi tinggi yang seringkali membuat kenyataan jadi terasa hambar atau bahkan membuatmu tersenyum kecut karena kurang sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Hal seperti itulah yang sempat di lalui oleh si om Daniel Mahendra.

Selain menceritakan perjalanannya sedetail yang mampu dan perlu untuk di sampaikan, om Daniel juga menulis catatan pribadi untuk anaknya. Kadang terdiri dari berbagai cerita khilas balik masa dahulu yang bersamaan dan selaras dengan perjalanannya di negeri atap dunia.

Beberapa kali saya berpikir kalau buku ini mungkin seperti catatan seseorang yang sedang mencari jati dirinya, semacam mencari arti kebahagian. Kadang juga saya berpikir buku ini cocok sekali untuk catatan bagi para ayah, hahaha. Mungkin karena secara manis ada catatan milik om Daniel teruntuk anaknya yang bernama Sekala. Ada beberapa bagian yang masih belum bisa saya pahami dengan baik dalam pemaknaan nya dalam kehidupan pribadi, mungkin juga karena itu buku ini terasa masih menyisakan beberapa halaman yang menarik untuk saya.

Terlepas dari semua itu traveling sepertinya kurang lebih bertujuan untuk melihat keindahan dunia, melihat bentuk kehidupan yang lain di luar ruang hidup kita pribadi, belajar mengontrol dan menjadi pembuat keputusan untuk diri sendiri. Beberapa hal yang hanya bisa dilatih saat kamu melakukan traveling. Mengenal dan belajar dari karakter orang-orang baru yang kita temui dalam perjalanan. Hahaha semacam pembelaan untuk hobi traveling. Dan tentunya traveling seorang diri dapat memberi kita lebih banyak waktu untuk berpikir dan mengenal diri lebih dalam. So, lets go traveling around the world.

… percakapan di bawah ini, antara Daniel dan Barista, lelaki penjaga warung kopi di terminal bus Pokhara, Nepal.

apa yang kamu cari, Daniel?”

Tiba-tiba aku tercekat dengan pertanyaannya. Belum pernah ada orang yang bertanya seperti itu selama perjalananku. Apa yang aku cari? Gila! Aku tidak bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu.

Apa yang aku cari? Aku menyeruput teh hangatku yang masih mengepul. Ia tersenyum seakan menangkap kegugupanku.

masa muda, Daniel. Masa muda. Memang seharusnya begitu. Pergilah ke mana pun kakimu melangkah. Itu akan menempamu. Memperkaya pengalaman batinmu.” ia menyedot lagi rokoknya. “tetapi pada saatnya tiba,” ia melanjutkan, “jadilah lali-laki yang merasa cukup dengan keluarga di rumah.”

ya, apa yang kamu cari, Daniel?

Menjadi lelaki memang harus pergi. Tapi dia juga harus pulang, karena ada yang mengasihi dan dikasihi di rumah!

(kutipan dari buku Alaya, dari penulis Gol A Gong).

Happy reading to you all, love.

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di hastakaryakata.com [29 Januari 2019].