Ceritakan Ranselmu! | Mengejar Mimpi Bersama Travel Writer

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #28

Oleh Indri Juwono

KAPA atau Kamuka Parwata adalah ruang bermainku di masa aku kuliah arsitektur. Klub pencinta alam yang berdiri tahun 1972 ini melantikku di tahun 1998, ketika aku sedang gemar-gemarnya jalan-jalan. Belajar untuk mengarungi semesta. Menembus batas ruang yang terbentuk dari perimeter kota. Membaui alam sebagai dasar kebutuhan ruang terbuka. Sebagai distraksi dari kepenatan pikiran menjadi mahasiswi arsitektur, perjalanan membuatku lebih peka pada kebutuhan dasar akan ruang-ruang hidup. Berada pada tempat terbuka, atau ruang berkapasitas minimal kebutuhan.

Dari kesukaanku menulis, bukan hanya cerita perjalanan, namun hal-hal lain, membuatku ingin menularkan kesukaanku ini untuk anak KAPA sekarang, sehingga mereka jadi bisa menuliskan perjalanannya menjadi lebih menarik, dan informatif bagi pembacanya. Memindahkan perjalanan ke barisan huruf dan kata, memberi deskripsi yang menggambarkan kondisi, mencari sudut pandang yang menarik, memberi nyawa pada tulisan untuk memikat pembacanya. Aku pun masih belajar hingga kini.

Jelas, pengalamanku menulis yang tidak terakui ini tidak akan membuatku serta merta bisa mengajari mereka. Terlintaslah ide baru untuk acara diskusi semi workshop tentang penulisan. Awalnya, idenya hanyalah membuat diskusi tentang bagaimana menulis cerita perjalanan sekaligus promo buku Perjalanan ke Atap Dunia bersama penulisnya, Daniel Mahendra. Untuk mendampingi penulis muda sahabatku ini kami tidak ada pilihan lain selain mas Gol A Gong, penulis cerita perjalanan senior idola kami berdua sebagai teman cakap yang akan menimpali diskusi. Apalagi mas Gong (begitu kami biasa memanggilnya) juga menulis kata pengantar untuk buku terbaru Daniel tersebut. Bukan sekadar kata pengantar malah, ini lebih seperti ulasan untuk cerita yang tertuliskan.

Ternyata gayung bersambut. KAPA antusias sekali dengan ide diskusi ini. Bisa sebagai bekal penulisan buku 40 tahun yang persiapannya sudah mereka mulai. Dan juga melengkapi program kerja pelatihan jurnalistik. Dibantulah aku oleh sekelompok tim dari KAPA yaitu Cherina, Tania, Miftah, Ratna, Samantha, dan Ghanniya untuk menggodok acara ini.

Mas Gol A Gong, pencipta karakter si Roy di novel seri Balada si Roy ini, ternyata mengidolakan Bang M Gunawan Alif, seorang travel writer sangat senior yang kebetulan atau untungnya adalah alumni KAPA. Deg-degan juga rasanya mau meminta Bang Emji Alif, begitu namanya begitu melegenda di klub pencinta alam ini sebagai salah satu penulis yang terkenal di jamannya, untuk ikut dalam diskusi yang digagas ini. Ternyata beliau menanggapi dengan semangat, bahkan antusias sekali dengan ide ini. Mungkin semangat 40 tahun KAPA sudah menjadi euforia di benak para alumni. Tak terkecuali aku juga.

Tidak mudah berjodoh dengan jadwal mas Gong yang selalu berkeliling Indonesia untuk memberikan kelas menulis. Begitu juga dengan Bang Emji yang sering berkeliling negeri juga terkait dengan pekerjaannya sekarang sebagai konsultan marketing. Juga dengan jadwal pekerjaan Daniel sehari-hari. Akhirnya kami menemukan tanggal yang klop yaitu 21 Juni 2012 dengan pertimbangan hari kerja akan banyak mahasiswa yang datang, dan juga masih sebelumMusim Pengembaraan KAPA, yang akan menjadi ajang praktek menulis cerita perjalanan yang menjadi materi utama diskusi. Bergulirlah publikasi acara untuk menyambut hari H. Sengaja dipilih lokasi di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia yang baru supaya lebih mudah dijangkau oleh peserta umum. Ruang auditorium yang menjadi tempat diskusi juga memiliki pemandangan indah menghadap danau Kenanga, yang juga berhadapan dengan Balairung UI dan Rektorat UI.

Pada hari pelaksanaan acara berlangsung ternyata peserta datang cukup banyak. Tercatat lebih dari 120 orang yang hadir dalam diskusi bertajuk “Ceritakan Ranselmu!” yang mendapat sponsor dari Eiger, salah satu perusahaan outdoor equipment ternama di Indonesia. Sempat terjadi beberapa hal teknis yang tidak seharusnya membuat aku deg-degan membawakan acara ini. Untunglah akhirnya sebagai moderator aku bisa menguasai acara dengan baik.

Sesi diawali dengan dialog dengan Bang M Gunawan Alif. Alumni yang akrab dikenal dengan nama pena Emji Alif ini bercerita tentang pengalamannya selama menulis cerita. Awalnya memang bang Emji suka menulis ceritanya ketika jalan-jalan dengan KAPA dan dikirimkan ke majalah Gadis. Malah sempat bang Emji mendapat ‘uang saku’ terlebih dulu dari majalah dengan syarat bahwa ia harus menuliskan ceritanya menjadi artikel majalah itu. Saat itu penulis cerita perjalanan tidak banyak. Bersama alm. Norman Edwin, tulisan-tulisan bang Emji menghiasi majalah remaja ketika itu. Bisa dibilang, persaingan menulis cerita perjalanan amat sedikit, sehingga penulis ketika itu bisa agak terkenal (dan punya pengagum).

Keuntungan dari hobi menulis itu beberapa kali bang Emji diminta melakukan ekspedisi ke daerah-daerah terpencil di Indonesia untuk mengambil data dan menuliskan kondisi daerah-daerah tersebut. Sempat diceritakan juga pengalaman beliau bergabung dengan Operation Drake, yaitu ekspedisi menemukan suku terpencil yang menggunakan sumpit beracun untuk melumpuhkan lawan. Dan pria yang kini berusia lebih dari 50 tahun itu berhasil disambut ramah oleh suku tersebut bahkan dijamu untuk tinggal. Berhasillah beliau mendapatkan bahan tulisannya berkat kecakapannya berkomunikasi dengan beramah tamah dengan suku tersebut walaupun tidak dengan bahasa yang sama. Pengalaman yang unik bukan? Peserta diskusi juga dibuat kagum oleh perjalanan bang Emji yang berkata sudah mengelilingi seluruh propinsi di Indonesia (ketika itu 27 propinsi). Jika harus mendengarkan pengalaman bang Emji seumur hidupnya, tentu dibutuhkan waktu yang lama saking menariknya berbagai perjalanan yang dilakukannya.

Pada sesi dialog dengan mas Gol A Gong diceritakan bahwa beliau mengidolakan Bang Emji Alif, dan sering membaca tulisan-tulisannya yang lebih dulu diterbitkan. Penulis serial Balada si Roy ini memilih menulis fiksi sebagai media cerita perjalanannya sebagai cara untuk merangkul pembacanya, karena menurutnya karya fiksi lebih mudah diterima oleh pembaca dan remaja sebagai segmen yang disasarnya ketika itu. Menurut suami dari Tias Tatanka ini, perjalanan itu perlu dituliskan untuk menyampaikan informasi, berbagi cerita dengan orang-orang yang belum pernah ke sana. Tidak banyak orang yang beruntung bisa bepergian ke mana-mana ketika itu, karena itu, keinginan untuk berbagi cerita dan menuangkan dalam bentuk tulisan menjadi kuat.

Hampir sama seperti bang Emji, beberapa kali juga penulis yang beken di era 80-an ini mendapatkan ‘uang saku’ sebelum melakukan perjalanan dengan imbalan tulisan yang dibuatnya dalam perjalanan. Tidak berarti penulis seterkenal mas Gong selalu dapat jalan mudah, namun kegigihannya untuk meyakinkan media bahwa ia akan menuliskan ceritanya untuk media tersebut patut diacungi jempol. Menulis sudah menjadi jiwa yang mendarah daging dalam jiwa yang baru pulang bertualang dengan istrinya keliling Asia. Karena itu sampai sekarang penulis penggiat Rumah Dunia ini masih berkeliling untuk memberikan workshop penulisan untuk lebih menggalakkan budaya literasi, termasuk juga di kampung halamannya sendiri, Serang, juga memberikan kelas penulisan secara teratur. Mulailah menulis di mana saja, cari angle menarik di tempat yang dikunjungi, lalu gali informasi sebanyak-banyaknya sehingga mendapatkan bahan tulisan yang kaya.

Sesi dialog dengan Daniel Mahendra banyak ditimpali candaan dari bang Emji maupun Mas Gong ketika menyenggol-nyenggol soal cinlok atau cinta lokasi yang ditulis Daniel di buku Perjalanan ke Atap Dunia, membuat suasana ruang diskusi menjadi segar. Penulis termuda di diskusi ini mengaku mengidolakan mas Gol A Gong di masa remajanya, menemukan bacaan yang amat cocok untuk remaja, sangat lelaki, dan membuatnya ikut Pramuka, kemping, dan ikut-ikutan gaya si Roy. Di buku terbarunya, awalnya Daniel menulis jurnal perjalanannya ini sebagai bahan untuk menulis novel, namun kemudian seiring dengan tingginya animo pembaca catatan perjalanannya di blog membuatnya memberanikan diri untuk menerbitkannya dalam bentuk buku, walaupun sudah banyak buku-buku tentang perjalanan ke Tibet baik oleh penulis Indonesia atau pun penulis asing.

Dengan terbitnya buku Perjalanan ke Atap Dunia, Daniel tidak bermaksud untuk membuat orang berbondong-bondong pergi ke Tibet (walaupun kenyataannya beberapa teman tertarik ke Tibet gara-gara membaca buku ini). Ia ingin membagikan pengalaman usahanya mencapai Tibet, yang telah menjadi mimpinya sejak SD, membuat orang berani untuk mewujudkan mimpi dan keinginannya. Setiap upaya akan ada jalannya. Menurut Daniel, Tibet hanyalah suatu tempat, suatu tujuan yang belum pernah kita jalani. Sesudah mencapai mimpi itu, yang berubah adalah ia menjadi lebih berani untuk menentukan target dan berani melangkah. Berani bertanggung jawab atas mimpi-mimpi selanjutnya.

Dari diskusi ketiga pembicara ada kesamaan menarik, karena ketiganya sama-sama mengaku suka bertualang karena membaca Winnetou, salah satu karya klasik tulisan penulis Jerman Karl May, yang ketika menulis tentang suku Indian itu bahkan belum pernah menginjak tanah Amerika. Dalam sesi berikutnya juga, ketika ditanyakan lebih suka traveling sendiri atau beramai-ramai, ketiganya menyatakan lebih suka solo traveling alias sendirian. Alasannya karena kalau solo traveling lebih mudah mengatur waktunya, lebih bebas mengambil keputusan memilih jalan, tidak direpotkan oleh perbedaan keinginan. Walau tidak disangkal juga, bahwa traveling berdua (dengan pasangan) itu menyenangkan juga, sih. Tapi sebenarnya menurutku, traveling sendiri, berdua, bertiga, atau bertujuh belas sekalipun, selalu ada enaknya, tergantung bagaimana kita menikmati perjalanannya saja. Selama kita tidak manja dan bisa mandiri, sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain (dan tidak direpotkan orang lain juga, sih!) sendiri atau ramai-ramai akan sama asyiknya. Bukankah perjalanan adalah pilihan? Jadi nikmati saja.

Sama sepertiku, ketiga pembicara ini ternyata juga penggemar kereta api sebagai moda angkut yang murah dan nyaman. Dengan kereta banyak kesempatan bertemu dan mengobrol dengan orang-orang sekitar, yang bisa memperkaya apa yang akan dituliskan. Lebih bermakna lagi bagi Daniel, karena ayahnya bekerja di PJKA, maka kereta api sudah menjadi bagian hidupnya sejak kecil, bagian dari petualangan-petualangan di masa remajanya.

“Apa makna ransel sebagai teman perjalanan?”
Bang Emji dan Daniel menceritakan bahwa setiap ransel sama saja, tidak ada kenangan tersendiri. Mungkin kedua orang yang terpaut dua dekade ini sering berganti-ganti ransel, baik milik maupun pinjam, sehingga yang dipentingkan adalah fungsinya. Beda dengan mas Gong yang memiliki ransel yang bernilai historis emosional sekali dengannya, yang sudah dibawa keliling Asia, dan akhirnya dilelang ketika mencari dana untuk korban bencana alam. Di perjalanannya keliling Asia beberapa bulan lalu, Mas Gong dan istrinya Tias Tatanka bahkan menjahitkan bendera-bendera negara yang dikunjungi ke ransel mereka.

“Bagaimana menghasilkan tulisan yang mengalir?”
Daniel menjawab, menulislah dengan hati. Tuangkan apa yang ada di pikiranmu sampai tuntas. Jangan pikirkan dulu tanda baca, salah ketik atau apa, menulis saja. Ketika sudah selesai, baru baca ulang, dengan pikiran.

Sesi diskusi dan tanya jawab ini ditutup dengan pertanyaan pamungkas,
“Ke mana impian terbesarmu untuk bertualang?”
Bang Emji, “Jika masih diberi kesehatan ingin ke Kilimanjaro, Afrika.”
Mas Gong, “Dalam beberapa bulan akan ke Cina, mengikuti hadist Nabi, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.”
Daniel, “Tahun 2013 ingin ke Macchu Picchu, Peru. Dan ingin mengunjungi tempat-tempat di mana agama dilahirkan. ”

Wow, mimpi-mimpi yang sangat luar biasa! Jangan mau kalah, ya!

Di penghujung acara ada games “Ceritakan Ranselmu!” yang ditunggu-tunggu peserta yang ingin mendapatkan ransel keren persembahan Eiger. Ada 15 peserta yang menceritakan tentang ranselnya, memeragakan ranselnya, dan dipilih lima pemenang berdasarkan cerita terfavorit dengan juri para pembicara. Terpilihlah Ratna Amelia Haqque sebagai pemenang pertama dengan cerita ranselnya yang meyakinkan (dan sepertinya memang butuh ransel baru). Selamat untuk para pemenang. Pemenang punya beban juga, lho. Harus menulis cerita dari ransel hadiahnya itu! Berarti, ia harus jalan-jalan dan bercerita. Maka, pergilah anak muda!

Tentukanlah mimpimu masing-masing, buatlah rencana perjalananmu. Awalilah dengan yang sesuai kemampuanmu. Selesaikan tahap demi tahap hingga sampai pada titik impianmu. Sesudah itu jangan berhenti.
Jangan pernah menyerah. Percayalah, bahwa akan selalu ada jalan untuk menggapai jika kamu sungguh-sungguh berusaha. Buatlah mimpi-mimpimu menjadi harapan yang layak diperjuangkan.

Depok, 19 Juli 2012. 02:19 AM

_________________________________

* Pembaca Buku. Pengamat Jalan. Arsitek.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di tindaktandukarsitek.wordpress.com [Juli 2012].