Daniel Tak Mampir ke Tibet

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #13

Oleh Donny Anggoro

Memang ada beberapa buku-buku jenis ini terbit macam Perjalanan Asia (Gola Gong), Menelusuri Lorong Dunia (Sigit Susanto), Amsterdam Surprises (Ekky Imanjaya), The Naked Traveller (Trinity) sampai Halo Moskow (Lilimunir Croft Cusworth) yang mengukir prestasi tersendiri di mata pembacanya, namun lahan ini kebanyakan malah diolah salah satu penerbit terkemuka menjadi buku kiat “cara melakukan perjalanan” yang lebih bermaksud mengajak masyarakat untuk ikut melakukan perjalanan, bukan mendengarkan “dongengan”.

Padahal sebelum menempuh tahap untuk turut serta seharusnya diterbitkan lebih banyak buku catatan perjalanan yang dibuat berasal dari semacam persinggungan budaya guna memberi wawasan baru kepada para pembacanya. Kebanyakan menerbitkan “buku kiat perjalanan” memang tak salah, namun rasanya lebih baik menerbitkan sesuatu yang menjadi kilasan memori menarik penulis, ketimbang mengajarkan orang, padahal kenyataannya tak banyak orang mampu melakukan perjalanan, pun hingga sampai ke luar negeri.

Dan, membaca buku ini, Perjalanan ke Atap Dunia sungguh menyenangkan karena seperti halnya buku-buku catatan perjalanan yang pernah terbit sebelumnya, buku karya Daniel Mahendra ini memang punya “sesuatu” yang mampu bercerita dari dalam, sesuatu yang membuat penulisnya memang tak sekadar mampir ke Tibet, melainkan telah berbuat banyak hal menggugah sehingga patut ditulis.

Buku ini dibuka dengan asal muasal penulis yang sudah lama memendam impian untuk pergi ke Tibet, berawal dari keterpukauannya pada negeri itu setelah membaca komik petualangan Tintin khususnya “Tintin di Tibet” dan film “Seven Years in Tibet”.  Tapi, tidak mudah mewujudkan impian tersebut, karena semula penulis ingin melakukan perjalanan ke Tibet bersama kawannya, Ijul. Niat pergi bersama akhirnya gagal, namun penulis tetap berkeras mewujudkan impiannya setelah melakukan beragam survey terlebih dahulu. Dan, perjalanan ke Tibet memang bukan perkara mudah. Daniel harus melalui China terlebih dahulu sedangkan ia sendiri tak bisa berbahasa China. Pelbagai pengalaman menarik sebelum ke Tibet pun berlangsung, karena hampir semua aksara ditulis huruf kanji semua di samping tak banyak mengerti bahasa Inggris!

Tentu ini menyulitkan, apalagi sebelumnya Tibet dikenal sebagai negara yang tertutup. Namun, tak banyak yang mengetahui bahkan Daniel sendiri bahwa Tibet adalah bagian dari invasi China sehingga di sini semuanya diharuskan berbahasa China. Tak ada tulisan Tibet, semuanya diganti tulisan dan bahasa China (hlm.118), bahkan tidak ada foto Dalai Lama, adanya foto Mao Zedong, pendiri RRC. Sedangkan orang-orang lebih banyak paham bahwa Tibet adalah bagian dari China, seperti halnya provinsi-provinsi lain yang ada di China saat ini.

Daniel sebagai penulis pun sempat kebingungan menjelaskan keberadaan dirinya tatkala bertemu para pelancong lain pun saat berada di Tibet. Ya, negara Indonesia ternyata kurang dikenal. Mereka baru mengerti ketika  Daniel menjelaskan bahwa Indonesia dekat dengan negara Filipina atau Thailand. Namun itupun masih terasa samar-samar sehingga mengecewakan Daniel sebagai pelancong.

Cerita menarik lain ketika sang penulis berada di Lhasa, salah satu kota di Tibet. Kendala bahasa memang menjadi masalah, tapi Daniel tetap berkeras melanjutkan perjalanan. Namun akibatnya banyak kejadian menyulitkan dan juga lucu walau ia akhirnya menemui masjid dan juga restoran untuk muslim. Terutama saat memesan makanan, sang pelayan bahkan manajer restoran sama sekali tak bisa bahasa Inggris sehingga Daniel terpaksa mengajak mereka pergi ke dapur, melihat makanan yang sedang dimasak lalu menunjukkan masakan yang ia inginkan! Selain itu di Lhasa begitu banyak bertaburan para tentara berjaga-jaga seolah negara sedang dalam kondisi gawat darurat perang. Hal ini sempat mengejutkan Daniel yang semula sempat dimaki-maki bahasa China oleh tentara hanya gara-gara memotret!

Lalu ada yang menarik berdasarkan cerita Eddy, kawan seperjalanan Daniel asal Malaysia, yaitu ia bercerita di Tibet populasi suku Han hanya sebanyak 6% dibandingkan suku Tibet sebesar 93%. Ironisnya yang maju secara ekonomi di sana adalah orang-orang dari suku Han (hlm.117) sehingga menjadi masalah sensitif.

Membaca buku ini toh pembaca seperti mendapat asupan baru perihal negeri asing. Apalagi Daniel Mahendra yang juga dikenal sebagai sastrawan (salah satau novelnya yang sudah terbit tahun 2009 adalah Epitaph) dan penyunting buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengolahnya menjadi gaya bertutur ala novel yang enak dinikmati pembaca. Sisi lain yang menarik, Daniel sebagai pelancong ternyata bukan tipe pelancong yang penuh perhitungan, melainkan tipe “langsung tancap gas” sehingga walau ia didera kesulitan berbahasa tetap bersikukuh menyesuaikan diri, apapun resikonya-satu hal yang jarang ada dalam buku travel writing. Tentu poin ini yang menarik, bagaimana cerita pelancong di negeri asing yang tidak menguasai bahasa negeri yang dikunjunginya. Gaya menulis seperti ini sebenarnya lebih menarik dan pernah dilakukan dalam buku Halo Moskow (Lilimunir Croft Cusworth, 2007) juga Menelusuri Lorong Dunia (Sigit Susanto, 2006) ketimbang tinjauan singkat yang terpecah-pecah menjadi semacam kolase (antologi tulisan) seperti Amsterdam Surprises (Ekky Imanjaya).

Menulis dengan gaya seperti ini memang tak mudah, dibutuhkan disiplin penulisan yang tinggi dari pembuatnya karena  ya, pembaca, Daniel memang tak (sekedar) mampir ke Tibet!*

_________________________

* Wartawan dan editor lepas sebuah penerbit di Bandung. Tinggal di  Jakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di oase.kompas.com [Mei 2012].