Epitaph [02]

Ulasan Epitaph | #15

Oleh Lita Soerjadinata

I’m tired, Lita. Please wake me up before the dinner time.

Kalimat itu diucapkan Jay – begitu dia biasa dipanggil – saat pamit untuk tidur. Tapi siapa sangka, itulah kalimat terakhir yang ia ucapkan. Jay, tunangan saya itu, tertidur dan tidak pernah bangun lagi. Ia pergi di sore itu, di hari tepat dua tahun kami bertunangan, tepat di hari ulang tahun saya, dan tepat dua minggu sebelum kami menikah.

Kenangan akan Jay yang wafat enam tahun lalu masih terus membekas di benak saya. Kenangan yang terus memanggil saya untuk datang ke Yogya, di mana saya bisa membaca tulisan-tulisan tangannya di kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerjanya, yang masih belum sanggup untuk saya singkirkan. Di rumah itu, yang Jay beli beberapa bulan sebelum ia wafat, masih tergeletak catatan-catatan kecil yang biasa ia selipkan di mana-mana untuk mengungkapkan perasaannya pada saya. Jay memang pelit bicara. Melalui kertas-kertas itu saya bisa memahami apa yang ia rasa dan ia pikirkan. Seperti pesan terakhir yang ia taruh di spot kecil, tempat favorit saya di rumah itu: I will go for couple days, my dear. Just take your time to have your own adventures…

Tapi, buat saya, hidup berjalan terus. Dua tahun setelah Jay wafat, saya sudah berani lagi untuk membuka hati saya untuk orang lain, yang kemudian datang silih berganti. Meski pun sampai sekarang, saya masih bisa melihat tawa Jay yang khas kemana pun saya pergi.

Saya kembali teringat pada Jay setelah membaca novel ini. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya saya bila kejadian yang menimpa Haikal terjadi pada saya.

Haikal, penulis dan wartawan, kehilangan kekasih hatinya yang hilang bersama helikopter yang ia tumpangi di belantara hutan Sumatera Utara. Laras Sarasvati, nama kekasih Haikal, hilang bersama ketiga rekannya, saat ia mengerjakan proyek pembuatan sebuah film dokumenter. Tak cukup sampai di situ, keengganan pihak militer mengungkap hilangnya helikopter mereka yang ditumpangi Laras dan rekannya membuat jenazah korban tidak diketemukan.

Hubungan Laras dan Haikal agaknya menjadi inti cerita novel yang ditulis Daniel Mahendra ini. Bagaimana keduanya bertemu, bagaimana keduanya menjalani hubungan mereka dan cara mereka untuk saling mengisi, disajikan secara sederhana sarat penuh makna. Kisahnya tidak sesederhana kisah cinta biasa. Ada banyak nilai filosofis yang disajikan penulis dalam buku ini.

Sebagai penulis, saya pikir Daniel Mahendra merasa terbebani untuk menyodorkan banyak fakta pada pembaca tulisannya. Tengok saja bagian yang menceritakan latar belakang alasan mengapa Laras memilih jurusan sinematografi. Daniel Mahendra sampai merasa perlu menghambur-hamburkan 10 halaman untuk menjelaskannya. Meski memuat informasi tentang tokoh-tokoh yang berhasil di dunia perfilman, pengumbaran pengetahuan itu terasa memuakkan. Beban ini yang saya pikir membuat Daniel melupakan plot, yang membuat saya tergagap-gagap bila cerita tentang Laras tiba-tiba berpindah ke cerita tentang Haikal.

Di luar itu, Daniel Mahendra berhasil menuliskan ceritanya dengan segenap rasa. Kalimat-kalimat yang ia tuliskan terasa ‘kencang bunyi’nya, membuat saya sempat terhenti beberapa kali untuk merenungi kalimat-kalimat tersebut. Misalnya ini: Hidup adalah penungguan. Tapi, kita maknai prosesnya”. Dan ini: Masa lalumu akan selalu ada bersamamu, tapi semakin banyak kau membebaskan diri dari fakta-fakta dan lebih memusatkan diri pada emosi-emosi, kau akan lebih menyadari bahwa di masa kini selalu ada ruang seluas padang rumput, menunggu untuk diisi dengan lebih banyak cinta dan lebih banyak kegembiraan hidup.(lits)

__________________

* Moderator Goodreads Indonesia 2010, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari ulasan ini di-posting di goodreads penulis.