Epitaph dan Sebuah Persembahan

Ulasan Epitaph | #1

Oleh Hemma Yulfi

Tidak mudah menulis resensi untuk karya seseorang yang kau kenal dekat, seseorang yang kau ketahui dengan baik karakter serta isi kepalanya, terlebih lagi proses kreatifnya. Penilaianmu terhadap karyanya bertendensi menjadi bias dan kurang obyektif. Namun aku ingin menyingkir dari kotak dan menjadi orang lain saat mencoba menulis resensi Epitaph, karya seorang sahabat baik bernama Daniel Mahendra atau yang lebih populer dengan sebutan DM.

Sebuah paket kuterima beberapa hari yang lalu, yang dari alamat pengirimnya aku langsung dapat menebak isinya. Ada tiga buah buku yang sama di dalamnya. Pesan pengirimnya, masing-masing dari ketiganya adalah untuk disimpan di kantor, di dalam kendaraan, dan di rumah. Agar tak pernah merasa kehilangan, katanya.

Obyektivitasku kembali tertantang saat membaca kalimat persembahan yang sangat kuhapal di lembar ketiga yang sontak membuat mataku merebak. “Untuk bintang paling terang yang pernah ada dalam galaksiku…” Duh, terharu banget… Thanks, DM.

Oke, keluar kotak lagi. Aku ingat dulu, lebih setahun yang lalu aku pertama kali membaca nukilan Epitaph melalui internet. Kala itu aku membaca Epitaph dengan kapasitas sebagai orang yang tidak mengenal baik sang penulis. Apa yang terjadi?

Saat itu sore awal musim dingin di Sydney. Persiapanku sudah sempurna untuk menikmati bacaan: pemanas ruangan yang diset optimal, kaus kaki yang lembut dan hangat, serta secangkir kopi yang wangi dan mengepul. Memulai dengan membaca surat Haikal kepada Laras, aku pun tak bisa berhenti membaca. Emosiku diaduk-aduk saat membaca kisah Haikal dan Laras yang dirawi oleh tokoh utama, Langi.

Hari itu Epitaph sukses membuatku ketinggalan satu kelas presentasi di kampus. Blas lupa! Dan itu adalah pengalamanku membaca Epitaph secara obyektif.

Epitaph adalah sebuah karya yang diinspirasi oleh kisah nyata yang dialami penulis. Novel ini tergolong berat ditinjau dari segi tema, yakni melibatkan berbagai institusi resmi di Indonesia dengan beragam kontroversinya. Intriknya tetap kisah cinta, namun kemasannya jauh dari kesan cengeng dan picisan. Satu hal yang paling kusuka dari sebuah novel adalah bila ia bisa membuka wawasan pembaca. Epitaph mampu berbuat itu. Proses penulisannya jelas dilandasi oleh riset yang mendalam dan panjang, sehingga banyak hal baru yang dapat diperoleh pembaca dari membaca kisahnya.

Adalah Laras Sarasvati, mahasiswi IKJ yang memiliki cita-cita panjang, terlibat dalam sebuah proyek pembuatan film dokumenter yang disponsori oleh sebuah BUMN. Masalah timbul saat helikopter yang disewa oleh kru film dari TNI AD jatuh di lereng Gunung Sibayak Sumatera Utara dan dinyatakan hilang, sedangkan TNI AD kemudian menampik keterlibatan mereka dalam kejadian ini sehingga menimbulkan kontroversi.

Narasi dilakukan oleh ketiga tokoh utama secara bergantian: Langi sang penulis yang dipercaya untuk meramu berbagai catatan pribadi menjadi novel, Haikal sang kekasih yang ditinggalkan dengan rasa penasaran, serta Laras yang secara ajaib mampu meninggalkan catatan segar mengenai kejadian naasnya. Catatan Laras ini menarik, karena tokoh yang dinyatakan hilang (bahkan sangat mungkin telah meninggal dunia) turut bercerita secara gamblang berupa catatan yang ditinggalkan kepada Haikal. Bagaimana mungkin? Tentu saja semuanya mungkin di dalam fiksi, namun inilah uniknya. Penulis tidak ingin terjebak dalam kesan mistis, namun mau tidak mau pembaca jadi tergoda oleh kemungkinan tersebut.

Sebagai orang yang mengenal dekat penulisnya, aku tak bisa menampik kenyataan bahwa ego sang penulis kental terasa pada ketiga tokoh utamanya: Langi, Laras, dan terutama Haikal. Membaca Epitaph saat ini terasa seperti membaca diri Daniel Mahendra dan isi kepalanya yang “dia banget”. Ini kuanggap sebagai salah satu sisi kelemahan Epitaph, karena penulis tidak berusaha menciptakan tokoh yang bukan dirinya atau tokoh yang tidak memiliki karakter penulisnya. Tapi bisa jadi penulis lain juga berbuat demikian, toh aku tidak mengenal penulis-penulis lain seperti aku mengenal yang satu ini. Who knows?

Gaya penulisan DM terasa dipengaruhi oleh gaya penulisan tokoh sastra idolanya, Pramoedya Ananta Toer. Ini lumrah, mengingat tendensi manusia untuk berguru kepada tokoh yang diidolakan. Dari segi penampilan Epitaph cukup handy karena tergolong paperback sehingga relatif ringan dibawa. Menjadi lebih menarik dengan model sampul yang berbeda dan tambahan gambar ikon dogtag di halaman awal setiap bab. Mungkin bila ada bonus bookmark (pembatas buku) akan memberikan nilai tambah yang sangat berarti. Sangat disayangkan, dari segi editing Epitaph mengalami beberapa kekeliruan penulisan dan EYD. (Ini kutandai dengan beberapa coretan pensil di dalam novelnya) Mungkin karena prosesnya yang mengejar deadline (atau penulisnya yang suka procrastinating? Hihi!).

Hm… banyak yang ingin dikomentari, namun sejauh ini kupikir sudah cukup mewakili pemikiranku. Sekali lagi, tidak mudah menilai sebuah karya bila kau mengenal dengan baik senimannya secara personal. Mudah-mudahan apa yang kutuliskan tidak terlalu melenceng obyektivitasnya. Bagaimana pendapat teman-teman? Aku tau banyak yang sudah baca, walaupun grand launching buku ini sendiri baru akan digelar Maret mendatang.***

________________

* Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tinggal di Medan.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dan lengkap dari tulisan ini tetap mesti dilihat di blog marshmallow’s virtual diary.