Epitaph: Sebuah Kenyataan

Ulasan Epitaph | #21

Oleh Hardi Vizon

Sebetulnya sudah lama aku tuliskan sebuah ulasan untuk novel terbaru sahabatku Daniel Mahendra (DM) yang berjudul “Epitaph”. Tapi entah mengapa, tulisan itu tak kunjung ku publikasikan. Ada saja yang membuatku mengulur waktu. Sampai akhirnya, akupun berkesempatan untuk menghadiri soft-launch novel tersebut di Newseum Indonesia-Jakarta, 12 Januari 2010 kemarin, menghadirkan sebuah kenyataan yang membuatku sangat terkejut.

Epitaph bercerita tentang catatan perjalanan cinta dua anak manusia bernama Laras dan Haikal. Perjalanan cinta yang penuh romantika tidak biasa. Tidak biasa, karena mereka menjalankannya dengan penuh kualitas. Kualitas yang benar-benar kualitas. Tapi terpaksa terpisah untuk selamanya karena sebuah kecelakaan helikopter.

Laras, mahasiswa IKJ, yang terlibat dalam pengambilan gambar sebuah film dokumenter di Pegunungan Sibayak, Medan pada Agustus 1994 dinyatakan hilang bersama kedua sahabatnya, Birhi dan Tedi, serta dua awak helikopter tersebut. Jatuhnya sebuah helikopter sesungguhnya hal yang biasa saja. Namun, di sini menjadi sangat luar biasa, karena jatuhnya helikopter milik Angkatan Darat itu harus ditutup-tutupi dari pemberitaan. Media tidak mendapatkan berita yang sesungguhnya mengenai jumlah korban. Demi menjaga nama baik militer, mereka sama sekali tidak mengakui adanya warga sipil yang menjadi korban. Karena dikhawatirkan akan adanya citra buruk terhadap angkatan darat yang telah dengan semena-mena menyewakan peralatan milik negara kepada warga sipil.

Dua tahun kemudian, yakni pada April 1996, puing heli itu beserta kerangka para korban ditemukan. Lagi-lagi dalam hal ini pihak angkatan darat hanya memberitakan ada dua korban di situ, yakni para awak heli tersebut. Ketiga kerangka warga sipil tersebut, disembunyikan. Pihak keluarga yang hendak mengambilnya diberi tiga persyaratan yang sungguh menyakitkan.

Pertama, tidak boleh ada pihak pers yang mengetahui kejadian ini. Kedua, tidak boleh ada upacara penyambutan, baik di bandara maupun di kampus IKJ. Dan yang ketiga, kerangka-kerangka tersebut tidak boleh dibawa pakai peti mati, melainkan dimasukkan ke dalam sebuah tas jinjing kecil dan dibawa ke dalam kabin! Aih… syarat ketiga benar-benar membuat emosi kita tersulut. Namun, itulah yang terjadi. Pihak keluarga tidak hanya bersedih yang sangat atas meninggalnya salah seorang anggota mereka, tapi juga sangat berduka atas perlakuan yang tidak manusiawi terhadap rangka tersebut. Meski sudah berupa rangka, tapi bukankah itu juga manusia yang mesti diperlakukan seperti manusia? Mengapa hanya demi nama baik sebuah institusi, kita musti mengorbankan rasa kemanusiaan kita? Bukankah kita harus memperlakukan mayat dengan cara yang baik dan halus? Argh… berbagai kekecewaan bergelayut di benak ini ketika membaca cerita di novel tersebut.

Lantas, apakah yang membuatku benar-benar terkejut dengan novel ini? Dalam acara tersebut, DM memutarkan film dokumentasi kejadian asli yang mengilhami novel tersebut. Sangat miris melihatnya. Dan yang tak kalah mengejutkan adalah bahwa ternyata tokoh Laras itu tidak lain adalah kakak kandung DM sendiri! Aku benar-benar tidak mengetahuinya. Aku terkejut bukan alang kepalang. Barangkali banyak sahabat narablog yang sudah mengetahuinya, tapi sungguh, aku baru saja mengetahuinya.

Keterkejutan itu membuatku tercekat. Sehingga, ketika giliranku tiba, sesaat setelah tayangan itu diputar untuk memimpin doa, aku kehilangan kemampuan berkata-kata. Tenggorokanku seolah tersumbat. Dadaku bergemuruh. Pikiranku kacau. Untaian kalimat doa yang sudah kupersiapkan hilang seketika. Cukup lama aku terdiam hingga akhirnya Cuma sanggup meminta hadirin untuk mengheningkan cipta dan berdoa dalam hati masing-masing.

Terbayang olehku betapa pergolakan emosi yang dialami DM sejak usianya 18 tahun, hingga saat ini. Sebuah rasa yang dipendam sebegitu lama. Dan dari rasa itulah novel ini terwujud. Namun, sungguhpun demikian, novel ini tidak lantas menjadi melankolis dan penuh luapan emosi. DM berhasil menyajikannya dengan manis dan membuat kita larut dalam kisahnya. Aku sangat menyarankan sahabat narablog untuk membaca novel ini. Bukan karena dia sahabatku, tapi karena novel ini memang pantas untuk dibaca, dan perlu…

__________________

* Dosen, tinggal di Jogjakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dan lengkap dari tulisan ini dapat dilihat di blog Surauinyiak [Januari 2010].