Pikiran Rakyat, Minggu, 18 November 2001
Beni R Budiman
Pertumbuhan sastra Indonesia, terutama setelah era 50-an, hampir tak bisa dilepaskan dari dunia kampus. Sungguhpun kampus tak memberi andil secara langsung dalam perkembangan sastra tersebut, tapi paling tidak ada beberapa hal yang membuat mengapa kesusastraan dan sastrawan lebih banyak hidup dalam kampus, antara lain: pertama, kampus yang sering disebut sebagai center of exelence telah memungkinkan munculnya penghargaan atas intelektualisme. Lebih jauh lagi dengan itu, kampus memungkinkan munculnya tradisi kritis yang erat hubungannya dengan tradisi literat. Atau meminjam istilah A Teeuw sebagai keberaksaraan.
Kedua, masih berhubungan dengan pernyataan di atas, kampus sering diposisikan sebagai tempat tumbuhnya berbagai ilmu pengetahuan. Karena kondisi tersebut, tak heran pula jika kesusastraan sebagai bagian dari kerja intelektual, secara otomatis diposisikan sebagai salah satu keilmuan. Dan itu dibuktikan dengan hadirnya fakultas-fakultas sastra. Ketiga, masyarakat kampus sering dipandang pula sebagai kelompok yang selalu memberi inspirasi perubahan, agent of change. Gagasan akan perubahan menjadi hal yang mendapat perhatian penting. Pada wilayah ini sastra sering dianggap banyak memberi inspirasi akan perubahan-perubahan. Karena itu pula sastra kemungkinan besar bisa lebih hidup di dunia kampus.
Dan keempat, kampus sering dijadikan tempat bagi persemaian gagasan atau ideologi gerakan. Banyak aktivisme yang menyuarakan ideologi tertentu tumbuh dan dimulai dari kampus. Atas dasar itu semua, sastra sering dipandang sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran ideologi tertentu. Di Indonesia kenyataan tersebut telah menjadi persoalan klasik, seperti bisa dilihat dalam perseteruan Lekra dan Manikebu.
Tulisan ini hanya akan memberi gambaran serba singkat sejauh mana dan bagaimana perkembangan sastra tumbuh dalam kampus, terutama di Bandung. Penulis tak bermaksud membuat pendikotomian antara sastra kampus dan di luar kampus. Tulisan inipun tidak dimaksudkan bahwa para sastrawan kampus saja yang memberi arti bagi perkembangan sastra di Indonesia. Penulis tak hendak menapikan peran para sastrawan yang berada dan hidup di luar kampus. Selain itu, tulisan inipun tak hendak memberi justifikasi bahwa para sastrawan yang berada di luar kampus jauh dari intelektualisme, tradisi kritus, atau anti literat.
Memang tidak semua sastrawan Indonesia lahir di kampus, atau menempatkan kampus sebagai tempat persemaian kesusastraannya. Taruh, misanya Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, Ajip Rosidi, dan lain-lain. Tapi sejarah juga mencatat ada cukup banyak pula sastrawan pendahulu kita, atau sastrawan perintis, lahir dalam tradisi kampus, terutama pada masa setelah Chairil Anwar dan Idrus atau para sastrawan yang masuk dalam generasi 60-an. Hampir semua sastrawan dari generasi ini lahir dari kampus.
Kita bisa mencatat nama-nama, seperti Rendra, Umar Kayam, Supardi Djoko Darmono, Subagio Sastrowardoyo, Toety Heraty, Goenawan Muhamad, dan banyak lagi. Lebih muda lagi dari generasi tersebut Taufik Ismail, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Darmanto Jatman, Bakdi Sumanto, Slamet Sukirnanto, dan lain-lain. UI dan UGM menjadi tempat bagi tumbuhnya sastrawan generasi ini. Hanya beberapa sastrawan saja lahir di luar kedua kampus ini.
Begitu pula dengan kesusastraan Indonesia yang hidup di Bandung/Jawa Barat. Memang tidak semua sastrawan Bandung, terutama sastrawan perintis atau pendahulu, terlahir di kampus. Nama-nama seperti Ajip Rosidi, Utuy Tatang Sontani, Achdiat Kartamihardja, Trisnoyuwono, dan Toto Sudarto Bachtiar tidak tumbuh dalam tradisi kampus. Tapi rekan-rekan lainnya seperti Yus Rusyana, Jacob Sumardjo, Saini KM, Wing Kardjo, Suyatna Anirun, Sanento Yuliman, dan lain-lain tumbuh dan besar dalam kampus. Nama-nama tersebut bisa dibilang sebagai Founding Fatherdalam sastra Indonesia di Jawa Barat. Merekalah yang menyimpan tradisi sastra di hampir seluruh kampus di Bandung, seperti Unpad, IKIP, ITB, dan STISI/ASTI. Dari nama-nama inilah kemudian lahir para sastrawan yang lebih muda.
Pada mulanya hanya dua kampus saja yang kuat dalam penyebaran sastra di Jawa Barat, yaitu Unpad dan IKIP Bandung. Pada era awal 70-an ITB mulai terlibat tatkala lahar penyair Sanento Yuliman, Suyatna Anirun, dan Jeihan. Namun kemudian ITB mampu melahirkan generasi sastra yang kuat. Tercatat, misalnya Mamannoor, Juniarso Ridwan, Krisna Murti, Agus Sachari, Rul Sandre (empat nama ini merupakan tokoh dari Puisi Bebas), Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, Fazrul Rachman, Sujiwo Tedjo, Sigit Haryoto, Gaus Surachman, Hermawan Aksan hingga Anton Kurnia. Anton merupakan generasi 90-an atau generasi terakhir yang datang dari kampus ITB yang sekarang tak lagi nampak regenerasinya. ITB dan GAS (Gabungan Apresiasi Sastra)-nya yang dulu sangat populer kini tak lagi terdengar gaungnya.
Unpad dan IKIP merupakan kampus yang regereasi sastranya hampir tak pernah putus. Kedua kampus ini diuntungkan oleh adanya Fakultas Sastra atau Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Karenanya sastra menjadi bagian dari proses belajar yang formal dan selalu dikaji secara ilmiah. Ini tentu saja sangat menguntungkan bagi penerusan dan perkembangan tradisi sastra, sungguhpun menjadi tidak segala-galanya. Memang banyak sastrawan besar lahir dari proses belajar yang formal dari jurusan sastra. Tapi tidak sedikit pula sastrawan sebesar lahit bukan dari tradisi sastra yang formal dan ilmiah tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa keilmuan formal dalam sastra tak memberi jaminan bagi kesastrawanan dan kreativitas sastra.
Dari IKIP Bandung kita bisa mencatat nama-nama seperti Yus Rusyana, Saini KM, Jacob Sumardjo, Karna Yudibrata. Nama-nama ini merupakan sastrawan yang memberi tonggak bagi tradisi sastra di kampus IKIP Bandung. Setelah nama diatas banyak lahir nama-nama lain seperti Usep Romli, Godi Suwarna, Eddy D. Iskandar, Taufik Faturahman, Tetet Cahyati, Ajang Budiman, Sigit Sulistyo, cecep Burdanyah, Hadi AKS., Agus S. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, Ahid Hidayat, Rahmad Budi Santosa, Erwan Juhara, Eryandi Budiman, Nenden Lilis A., Deden A. Aziz, Tateng Gunadi, Wan Anwar, Doddy Ahmad Fauwdzy, Rina Daryani, Herwan FR, dan banyak lagi. Dan yang menarik nama-nama ini masih terus berlanjut hingga generasi paling kini yang aktif di ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra), seperti Nyi Ida Nurlaela, Iis Wiati, Moch. Syarif Hidayat, Lukman Asya, Arif Senjaya, Ujianto Sadewa, dan lain-lain.
Sementara itu, kita bisa mencatat nama-nama yang memberi inspirasi bagi perkembangan sastra di kampus Unpad. Nama-nama seperti Sutardji Calzoum Bachri, Wing Kardjo, Wilson Nadeak, Ade Kosmaya, Aam Amilia, Etty RS., sekalipun tak langsung merupakan sastrawan yang banyak memberi inspirasi bagi pertumbuhan sastra di kampus Unpad. Dari kampus ini pula lahir nama-nama, seperti Yessi Anwar, Diro Aritonang, Miranda Risang Ayu, Lea Pamungkas, Hikmat Gumelar, Acep Iwan Saidi, Deni A. Fajar, Dian Hendrayana, Tedy A. Muhtadin, Kartawi, Haryawan, Mudita K. Lani, Eryanti Nurmala Dewi, Moch. Syafari Firdaus, Mona Silviana, Taty Haryati, dan banyak lagi. Untuk lebih jelasnya kita bisa mencatat dari antalogi Ombak Pajajaran (1993). Kampus ini pun tak berhenti dalam regenerasi sastranya yang dilakukan melalui GSSTF, Rawayan, dan kelompok diskusi lainnya. Generasi terkini antara lain Nizar Machyuzar, dan Pandu Abdurahman Hamzah.
Selain itu STSI/ASTI merupakan kampus berikutnya yang cukup banyak memberi kontribusi bagi perkembangan sastra. Keberadaan Saini KM, Jakob Sumardjo, dan Suyatna Anirun sebagai pengajar sekaligus pendiri di kampus ini telah memberi motivasi yang sangat besar bagi pertumbuhan sastra. Karenanya dari kampus ini beberapa nama sastrawan potensial, terutama penyair, lahir, antara lain: Beni Yohanes, Joko Kurnaen, Rachman Sabur, Diro Aritonang, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Ipit S. Dimyati, Uki F. Marzuki, Aendra H. Medita, dan lain-lain. Berdasarkan informasi terkini, dari kampus inipun tercatat nama-nama baru, seperti Diva Galuh Purba, Doni Muhamad Nur, dan lain-lain yang diharapkan bisa memberi kontribusi yang baik bagi perkembangan sastra di kampusnya.
Awalnya perkembangan sastra di Bandung/Jawa Barat hanya tumbuh di kampus-kampus yang memiliki jurusan sastra dan bahasa lebih jauh lagi jurusan seni, seperti Unpad dan IKIP, selanjutnya ITB dan STSI/ASTI. Namun yang menarik sekarang ini, pertumbuhannya semakin menyebar hingga ke kampus-kampus yang tidak memiliki jurusan seni/sastra dan yang tidak memiliki tradisi sastra secara ajeg.
Biasanya kampus-kampus ini tumbuh dari imbas pertumbuhan sastra di luar dari kampusnya. Hal ini, misalnya terjadi pada kampus IAIN, Unisba, STIKOM, Uninus, dan STISI. Kampus-kampus ini mendapat pengaruh atau motivasi dari para sastrawan yang kebetulan memberikan ceramah-ceramah atau pertemuan informal dalam dunia kepenulisan.
Hal ini bisa dicatat dari kampus IAIN, Unisba, dan STIKOM. Ketiga kampus ini tumbuh gairah sastranya setelah setelah banyak sastrawan di luar kampusnya hadir berdiskusi tentang proses kreatif atau dari pementasan sastra yang bersifat apresiasi. Apresiasi yang terus dilangsungkan secara intens inilah yang memungkinkan tumbuhnya gairah akan kesusastraan di kampus-kampus ini.
Dari pertemuan kesusastraan inilah kemudian pada akhir tahun 80-an di IAIN Sunan Gunungjati muncul nama Matdon. Ia merupakan penggerak sastra pertama di kampus tersebut, dan memberi pula gairah bersastra kepada generasi selanjutnya. Selain itu, media kampus pun ikut memberi andil bagi lahirnya para penulis tersebut. Berikutnya muncul nama-nama seperti Nandang Darana, Bambang Q. Annes, Dedi Ahimsa, dan lain-lain. Kampus ini banyak mengundang para sastrawan, seperti Saini KM, Kuntowijoyo, Jakob Sumardjo, Acep Zamzam Noor, Juniarso Ridawan, filsuf Bambang Sugiharto, Soni Farid Maulana, Nenden Lilis A., Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan lain-lain.
Hal yang sama terjadi pada kampus Unisba. Sebelum lahir nama-nama seperti Yus R. Ismail, Katherina, kampus ini tak melahirkan pengarang. Setelah kedua penyair ini baru kemudian muncul nama lain seperti Daniel Mahendra, terutama mereka yang menulis di media kampusnya. Kampus ini cukup aktif pula mengundang para sastrawan dari luar, seperti Rendra, Abdul Hadi, Putu Wijaya, dan para sastrawan dari Bandung.
Begitu juga yang terjadi dengan kampus STIKOM Bandung. Kampus ini sebenarnya hanya memfokuskan pada dunia komunikasi, dengan jurusan Jurnalistik dan Public Relations. Kehadiran para pengajar yang cenderung merupakan pengarang telah mengubah kampus ini menjadi begitu dekat dengan sastra. Sungguhpun kampus ini terbilang muda, bahkan bisa disebut kampus kecil, dibanding kampus-kampus seperti Unpas, Unisba, Uninus, IAIN, dan yang lainnya, tapi kampus ini dianggap yang kini paling aktif dan banyak menghasilkan pengarang dan penulis kebudayaan yang cukup potensial. Bisa dicatat antara lain: MD. Yasir, Iman Abda, Budi Rachmat, Agus Hadiyana, Jhon Hendra, Farra Ebtiwiningsih, Evi Larasati, Wagiyo, Dwi Setiadi, Dadang Suherman, dan banyak lagi. Tercatat ada 71 penulis dari kampus ini yang kini kebanyakan menjadi wartawan.
Namun kembali pada persoalan pentradisian sastra di kampus, ternyata tak semua nama-nama tersebut hadir dalam pentas sastra yang lebih luas. Banyak diantara mereka akhirnya cukup hidup dalam ruang kampusnya yang kecil dan sempit. Dari sekian nama tersebut hanya beberapa nama saja yang bisa muncul ke permukaan sastra yang lebih luas. Bahkan banyak di antara mereka yang hilang dan meninggalkan dunia sastra. Tentu saja banyak alasan yang membuat kenapa mereka meninggalkan sastra, dan pada tulisan ini saya tak perlu menjelaskannya.
Akhirnya, lewat tulisan ini, kita berharap kehadiran para pengarang tersebut, bisa lebih membuka diri dan mensosialisasian karya secara lebih luas lagi. lebih jauh lagi akan tumbuh para sastrawan baru dari kampus-kampus lain yang belum terdengar sedikitpun gaungnya. Dari nama-nama di atas, kita bisa tahu bahwa kampus ternyata bisa banyak memberi kemungkinan bagi perkembangan sastra. Tentu saja kita tak hanya butuh banyak sastrawan dari kampus. Tapi kita butuh dari kampus muncul sastrawan-sastrawan yang lebih berkualitas.
* Beni R. Budiman, penyair, alumnus sastra Prancis IKIP Bandung.