Menjemput Impian

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #31

Oleh Eka Perwitasari Fauzi

Ehm! Bukan lagunya Kla Project lho tapi boleh deh dijadiin soundtrackuntuk postingan kali ini hehe. Cerita kali ini diilhami dari buku “Perjalanan Ke Atap Dunia” karya Mas Daniel Mahendra, yang bukunya langsung saya comot dari rak buku di salah satu toko buku begitu sampai Jakarta. Saya sudah tahu kalau buku ini sudah terbit lama tapi berhubung saya lagi nggak di Indonesia, buku ini jadi salah satu benda yang saya idam-idamkan selain teh botol dan gado-gado (yang ini belum keturutan).

Buku ini merupakan sebuah catatan perjalanan yang ditulis oleh penulisnya selama berkelana menjelajah Tibet melalui Cina kemudian dilanjutkan dengan perjalanan ke Nepal. Menariknya semua dikemas tidak dengan gaya turis tapi lebih pada sudut pandang jurnalisme, mengingat pengarangnya juga seorang wartawan senior.

Penuturan yang demikian personal, seakan membawa saya turut melihat Tibet dan Nepal dengan mata kepala sendiri. Betul apa kata mas Gol A Gong yang dituturkan di bagian pengantar. Saya bisa jadi Juan Carlos, Tan, Chen, atau bahkan jadi Daniel Mahendra sendiri!

Ya, jadi seorang Daniel Mahendra sendiri. Karena terus terang, perjalanan mas Dani mirip dengan perjalanan saya ketika ke Jepang. Jika Tibet adalah impian mas Dani, maka Jepang adalah impian saya dari kecil. Jadi, ketika membaca petualangan demi petualangan, mulai dari tercetusnya ide untuk pergi, hingga akhirnya memutuskan untuk mimpi, cari tiket, bikin visa, boarding pesawat, bermalam di airport, bertemu orang asing, semua yang dirawi (duh, saya ketularan untuk menggunakan kata ini) dalam buku ini, sungguh saya tahu benar rasanya. Boleh cerita sedikit ya tentang mimpi saya?

Saya tidak pernah keluar negeri apalagi pergi ke luar negeri sendirian. Tapi saya cukup gila untuk membuat keputusan untuk pergi sendirian ke negeri yang sudah saya impikan sejak kecil karena tergila-gila dengan manga (komik Jepang), anime, hingga segala bentuk kebudayaan Jepang. Saking gilanya dan saking inginnya mewujudkan impian ini, waktu SMP saya pernah asal njeplak bersumpah nggak akan menikah sebelum sampai ke Jepang (edan memang).

Entah mungkin sejak saya dengan berapi-api mengucapkan itu, semesta mulai menjalankan prosesnya hingga tahun 2009, saya benar2 menginjakkan kaki di Tokyo. Jepang adalah negara pertama yang saya pijak di luar Indonesia, sendirian. Hingga sekarang saya masih takjub jika ingat ketika pertama kali melihat Tokyo Tower.

Tapi itulah kekuatan mimpi. Seperti yang mas Dani bilang bahwa ketika kita punya suatu mimpi maka semesta bekerja untuk melancarkan jalannya.

“Siapa nyana, ketika pikiran kita telah fokus, Semesta pun memantulkan keinginan kita yang selama ini kita tebarkan: dalam bentuk jalan keluar. Sontak datang berbondong-bondong ribuan kesempatan di depan mata. Mata kita jadi terbuka dan ada saja celah yang bisa kita kerjakan, yang tadinya bahkan sama sekali tidak terpikirkan.” – Perjalanan Ke Atap Dunia, 2012

Itu yang saya rasa ketika mulai mengurus segala keperluan ketika hendak berangkat ke Jepang. Mulai dari urusan visa, tiket, hingga kembali ke tanah air, entah kenapa semua lancar. Seolah Allah SWT melalui semesta memuluskan perjalanan ini. Melalui buku ini, saya seolah dibenarkan untuk selalu mencorat-coret entah itu kertas atau tisu selama menunggu di stasiun Morioka. Catatan perjalanan itu penting. Menuangkan segala emosi selama menjalani proses “living a dream” itu penting.

Apa rasanya mewujudkan impian? Tidak bisa digambarkan. Kalau Daniel Mahendra mengalami kekecewaan ketika melihat Kota Lhasa, Potala Palace dan kehidupan para biksu yang dikomersialkan demi pariwisata, saya lebih beruntung. Seorang teman Jepang yang tahu bahwa pergi ke Jepang adalah impian saya sejak kecil, pernah melontarkan sebuah pertanyaaan:

“Wita, sekarang kamu ada di Jepang, melihat Jepang dengan mata kepala sendiri, bertemu dan membaur dengan kami (orang Jepang), apa rasanya? Adakah yang berbeda dengan yang selama ini kamu bayangkan atau impikan?”

Saya jawab dengan sumringah, “Tidak ada yang berbeda. Semua sesuai persis dengan bayangan saya selama ini. Kalian orang-orang yang luar biasa unik.”

Apa Selanjutnya?

Ada satu hal yang membuat saya sungguh-sungguh tersenyum ketika membaca buku ini selain kisah cinlok mas Dani dan Jeanette tentunya hehe. Satu hal itu adalah munculnya pertanyaan yang berkaitan dengan pencapaian mimpi: lalu apa selanjutnya?

Pergi ke Tibet sudah. Berhenti merokok sudah (saya salut dengan pencapaian mimpinya mas Dani yang satu ini, saya sangat dukung kampanye anti rokok sih, hihih). Lalu apa berikutnya?

Membaca pertanyaan ini saya langsung terpikir bahwa ketika hal yang diimpikan tercapai maka hidup kita tidak selesai sampai di situ. Entah, mungkin sifat rakus/tamak dari manusia bisa mendapat kredit untuk ini karena setelah mimpi tercapai jawaban selanjutnya adalah bermimpi lebih banyak lagi. Kemudian saya berpikir bermimpi itu sama saja dengan menantang diri sendiri.

Setelah Jepang, ada dua negara lain yang saya cita-citakan untuk dikunjungi, yaitu Inggris dan Italia. Inggris karena saya fans berat The Beatles dan Enid Blyton jadi bermimpi untuk mengunjungi Beatles Museum di Liverpool dan piknik di padang rumput hijau ala Lima Sekawan serta bercita-cita bertemu Lady Diana dan tentunya menikah dengan Pangeran William (eh, saya punya fotonya lho, diselipkan di buku Matematika waktu SMP dulu, hehe). Sedangkan Italia karena awal 2002/2003 saya adalah seorang pecandu sepak bola dan penggemar klub AC Milan dan bermimpi bahwa suatu hari saya akan berdiri di depan stadion San Siro.

Dan, alhamdulillah, saya sedang menjalani impian ke-dua yaitu mengunjungi Italia bahkan tinggal di sana untuk sekaligus menjalani impian ke-tiga yaitu melanjutkan kuliah di luar negeri. Mimpi ke-tiga ini sungguh spesial karena mimpi ini bukan hanya milik saya tetapi juga milik almarhumah mama.

Mimpi selanjutnya, Inggris, akan segera saya wujudkan. Mungkin selanjutnya saya harus berseru seperti ini: “Saya akan menikah di Inggris!!” (sayang Pangeran William udah keburu disamber orang hihihi).

Seorang teman pernah berkata, “Bermimpilah kawan, mimpi sebanyak-banyaknya karena impian-impian itulah yang membuat hidup kita lebih bermakna”

Entah apakah tulisan kali ini bisa disebut sebagai review buku tapi yang pasti membaca buku ini terus terang seakan diingatkan dengan mimpi-mimpi yang masih banyak tergantung di angkasa. Semoga saya juga bisa berani melangkahkan satu kaki untuk meraih mimpi-mimpi berikutnya yang lebih besar.

NB.

Terima kasih untuk Mas Daniel Mahendra karena sudah mewujudkan satu impian saya tahun ini: punya “Perjalanan ke Atap Dunia” dan bubuhan kata-kata pemacu semangatnya. Mimpi yang satu ini tentunya tidak lepas karena neechan tersayang Imelda Coutrier. Hontouni Doumo Arigatou. Aku jadi punya dua buku Perjalanan ke Atap Dunia, deh hehe. Semoga kalian juga bisa terus mewujudkan impian-impian berikutnya.

_________________________________

* Mahasiswa Laurea Magistrale, Jurusan Media Education, Università della Calabria, tinggal di Cosenza, Italia.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di doppelgangerishere.wordpress.com [September 2012].