Ulasan Niskala | #12
Oleh Petronela Putri
Blurb:
Pulang adalah kata paling indah yang dimiliki seorang petualang ketika ia tahu jalan menuju pulang.
Galang, seorang penulis, sedang melakukan perjalanan ke beberapa negara Asia. Di Everest Base Camp, Tibet, ia terserang acute mountain sickness. Teman-teman perjalanan Galang jadi tertahan di sana dan terjadilah keributan kecil yang nyaris menyulut perkelahian. Mereka mesti mengambil keputusan: menunggu Galang sembuh atau turun meninggalkannya di ketinggian ribuan meter itu.
Perjalanan Galang ke Tibet ternyata adalah janji yang coba ia tepati kepada kekasihnya, Sanggita. Dengannya, ia berencana keliling Eropa dan Amerika Selatan, tapi rencana itu nyaris urung dilakukan karena ia berniat menikahi gadis itu. Persoalannya, Sanggita lahir dan besar dari keluarga yang tak memperbolehkan anggotanya menikah dengan orang di luar keyakinan mereka.
Ketika Galang memutuskan akan tetap menikahi Sanggita, tiba-tiba gadis itu mengalami amnesia parsial akibat penyakit abses otak yang sulit disembuhkan. Karena Sanggita tetap hidup tetapi sudah tidak bisa lagi mengenal siapa pun, Galang nekat melakukan perjalanan seperti yang pernah ia rencanakan bersama Sanggita. Apakah ia bisa menepati janjinya?
Review:
Jadi gini, sebelumnya gue hampir nggak pernah baca buku berbau traveling. Baik nonfiksi maupun novel yang mengangkat tema tersebut. Terus beberapa minggu lalu, seorang teman dari Bandung mengirimkan novel ini dan satu lagi judulnya Perjalanan ke Atap Dunia –masih dari penulis yang sama. Berhubung bacaan gue random, jadi akhirnya gue putuskan membaca Niskala terlebih dulu, karena gue sendiri lebih senang baca fiksi ketimbang nonfiksi.
Berikut review lengkapnya.
1. First impression
Kalau boleh jujur sejujur-jujurnya, sih, yang pertama kali menarik buat gue dari buku ini adalah judulnya. Setelahnya, baru blurb di cover belakang. Menarik, karena ini bukan hanya kisah seorang penulis atau seorang traveler, tapi seorang penulis yang sekaligus seorang traveler. Lebih menarik lagi, karena novel ini ternyata mahar pernikahan sang penulis buat istrinya. Kapan kira-kira ada penulis nekat yang bakal ngasih mahar semacam ini buat gue? Hahaha.
2. How did you experience the book?
Penuturan ceritanya nggak begitu berat, bahkan ketika membahas hal-hal sensitif seperti keyakinan. Gue suka cara penuturannya, membicarakan hal yang berat-berat tapi penjabarannya ringan. Adegan favorit gue tetap di bab Prasapa, ketika Galang ngobrol sama Faul perihal agnostik, ateis, dan agama-agama lain. Faul menjawab santai, bercerita ngalor ngidul sambil ngebir. Dia bercerita tentang Tuhan dan keyakinan sambil ngebir. Antimainstream. Uniknya lagi, semua judul bab dalam novel ini juga menggunakan kata-kata dalam bahasa Sanskerta.
3. Characters
- Galang: seorang writer traveler yang biasa melakukan perjalanan untuk kemudian menuliskan pengalamannya untuk diterbitkan. Uniknya, dia nggak mau nulis buku panduan perjalanan yang isinya cuma tips-tips selama traveling, Galang biasa menuliskan pengalamannya dalam bentuk memoar.
- Sanggita: cewek 35 tahun yang nggak sengaja ketemu Galang di suatu acara dan langsung membuatnya jatuh cinta. Sanggita ini namanya berasal dari bahasa Sanskerta –sanggit, yang artinya dramatika atau penjiwaan. Di usianya yang sudah matang dan kehidupan yang sudah mapan, Sanggita belum menikah karena orangtuanya dan keluarga besarnya adalah penganut ajaran Sahitya (gue nggak tahu ini nama sebenarnya atau bukan, sempat gue googling tapi nggak nemu apa-apa). Sahitya mewajibkan penganutnya menikah dengan sesama mereka dalam tata cara tersendiri. Kebanyakan lelaki yang dekat dengan Sanggita mundur satu per satu karena enggan masuk ajaran Sahitya dan ditolak mentah-mentah oleh kedua orangtuanya.
- Mas Hendra: seorang kerabat Galang yang tinggal di Dago Giri, Bandung Utara. Bisa dibilang, dia ini tokoh pendukung yang paling besar perannya dalam kisah Galang. Ketika ragu atau ada masalah, Galang biasanya datang ke Sitinggil –tempat Mas Hendra dan istrinya tinggal.
- Mbak Tami: Istri Mas Hendra. Digambarkan sebagai seorang perempuan yang menyenangkan dan mudah bergaul dengan orang baru. Dia juga cepat akrab dengan Sanggita.
- Ganes: Teman SMA galang yang menjalankan bisnis travel di Lombok, perannya nggak begitu banyak memang, tapi cukup besar. Dia ini yang menyadarkan Galang untuk kembali ke Sanggita, setelah pertengkaran mereka dan Galang menyendiri ke Rinjani (bahkan nyarisaffair sama Blendine –seorang bule yang kebetulan lagi liburan di Lombok).
- Faul: Sahabat Galang yang ikut naik ke Gunung Padang, salah satu penganut agnostik yang kemudian diajak diskusi oleh Galang mengenai Sanggita. Cowok ini argumennya nyentil dan jalan pikirannya menarik, walau munculnya cuma sekilas.
- Blendine: entah porsinya sebagai tokoh protagonis atau antagonis, tapi yang jelas dia ini bule yang tertarik sama Galang waktu sama-sama berada dalam pendakian Rinjani. Sempat mengajak Galang liburan ke Gili dan keliling Indonesia Timur padahal sama-sama tahu bahwa mereka berdua punya pasangan. Ironisnya, Galang sempat ragu. Cowok sih biasa ya kayak gitu, jauh sedikit dari pasangannya, jadi nggak kuat iman )
- Juan, Eva, Dan, Joshua, Erick: sesama traveler yang ditemui Galang ketika akan ke Tibet, bersama-sama mereka ke Everest Base Camp. Di antara semuanya, Josh yang paling keras dan menyalahkan Galang ketika AMS dan mereka tidak bisa turun.
- Om Goenoeng dan Tante Nenden: Om dan Tante Sanggita yang sudah dianggapnya seperti orangtua sendiri, satu-satunya kerabat dekat Sanggita yang keluar dari ajaran Sahitya.
4. Plot
Plotnya menarik, walau ke belakang rasanya mulai kurang greget. Tapi nggak menghilangkan rasa penasaran akan kelanjutan ceritanya. Yang anehnya, setelah kenal dua tahunan dan beberapa kali jalan bareng sama Sanggita, Galang baru tahu belakangan bahwa dia agnostik.How come? Bagaimana mungkin dia nggak pernah sadar bahwa Sanggita memang nggak pernah shalat? Nggak pernah wudu? Agak janggal, sih, bagian ini.
Ah, tapi gue membaca buku ini sampai lima hari berturut-turut, nggak biasanya, karena wajarnya gue baca novel cuma dua atau tiga hari. Entah, mungkin karena terlalu menikmati isinya. Gaya bahasanya Indonesia banget, banyak kata-kata baku yang jarang digunakan dalam novel populer pada umumnya; guyub, tak pelak, menganyam kata, dan sebagainya. Tapi bukan masalah juga buat gue, karena udah beberapa kali juga ‘makan’ buku sastra yang rada berat.
5. POV
POV 3
6. Main Idea/Theme
Tentang seorang writer traveler yang berkenalan dan jatuh cinta pada seorang gadis agnostik dari keluarga besar penganut Sahitya yang taat, lalu mereka terhalang untuk menikah. Tapi nggak cuma itu, sih. Bagi gue buku ini semacam sepaket cerita tentang cinta, perjalanan, keyakinan, pilihan hidup dan segala-galanya. Di bagian ini, gue akan mengamini review singkat Teh Indri diGoodreads:
right book at the right time to read. Bacalah jika kamu merasa ragu.
7. Quotes
- “Bukankah tempat wisata tak selalu mewakili denyut nadi kehidupan lokal yang sebenarnya? Seorang penulis mesti berani melebur ke dalam kehidupan masyarakat sekitar, mendengar detak jantungnya, merasakan denyut nadinya, meraba sesuatu yang belum pernah terjamah oleh pancaindranya.”– hal. 25, Galang to Juan.
- “Galang, ketika seorang penulis melakukan perjalanan, ia tidak sekadar melihat. Ia harus banyak menemukan jalur-jalur yang tidak umum dilalui pejalan lain. Cara berpikirnya pasti out of the box.”– hal. 25, Heri Hendrayana to Galang.
- Senyuman yang dapat menenangkan gunung meletus sekalipun. Dalam hati aku berseloroh, hati lelaki paling barbar sekalipun rasanya bakal tunduk di hadapannya. Bukankah hati lelaki bisa lebih keras ketimbang semburan gunung berapi?– hal. 43, Galang.
- Simplicity is the ultimate sophistication– hal. 95, Galang (lupa halaman berapa aja, tapi banyak disebut-sebut dalam novel ini).
- “Peminum kopi itu pemikir. Sementara peminum teh itu romantis.”– hal. 122.
- “Kita bisa rajin ke masjid, tak pernah absen ke gereja, selalu ke pura atau wihara, tetapi siapa yang bisa mengukur kekhidmatan kita terhadap Tuhan, selain Tuhan sendiri? Aku memilih caraku. Memilih beribadah dengan caraku, cara yang tidak menyakiti orang lain, tidak disakiti orang lain.”– hal. 144, Sanggita to Galang.
- “Kalau kita menjalani sesuatu, lantas timbul ketidaknyamanan, itu bukan kepercayaan lagi namanya.”–Hal 155, Faul to Galang.
- Manusia itu makhluk yang sangat luar biasa, kok. Ia bersedia menjebakkan diri dalam ilustrasi yang ia ciptakan sendiri.– Hal. 160, Faul to Galang.
- “Aku telah tuntas membaca berpuluh-puluh kisah cinta indah nan abadi. Mulai dari Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, Rama-Shinta, Mendut-Pranacitra, hingga Siti Nurbaya-Samsul Bahri. Semua kisah indah dan abadi itu berujung pada titik yang sama, luka.”– hal. 212.
- “Ada begitu banyak pejalan, tapi sedikit sekali yang sembari menulis. Ada banyak sekali penulis, tapi sedikit sekali yang melakukan perjalanan.”– hal. 251, Blendine to Galang.
- “Petualang sejati adalah ia yang bisa berkata cukup kepada diri sendiri dan menyadari bahwa pulang adalah tempat paling indah yang menjadi tujuan hidupnya.”– hal.378, Juan to Galang.
8. Ending
Kurang greget sebenarnya, karena akhir cerita Niskala ini malah menggantung. Ada banyak pertanyaan yang terlintas di dalam kepala ketika menutup halaman terakhir.
Gimana kondisi Sanggita selanjutnya?
Ke mana Galang pada akhirnya?
Apa ia tetap jadi layang-layang putus nggak tentu arah, atau berbalik pulang ke Indonesia dan menemani Sanggita lagi?
Apa mereka jadi menikah?
Apa mereka begini dan begitu.
Banyak.
Tapi kemudian gue sadar juga bahwa mungkin memang tidak semua kisah butuh akhir. Ketika sebuah kisah diberi akhir yang menggantung, barangkali penulisnya sedang membebaskan pembaca untuk menerka-nerka sesuai dengan harapan atau versi masing-masing. Kalau gue, lebih senang akhir yang bahagia. Maka, gue berharap Galang pulang ke Indonesia, menemani Sanggita sampai ingatannya pulih, kemudian menerima Sanggita apa adanya. Di sini kesetiaan (dan janji menerima apa adanya) seorang lelaki akan diuji, seperti kata Juan.
9. Questions
–
10. Benefits
Intinya, sejak menyelesaikan membaca novel ini, gue jadi tahu istilah-istilah baru seperti agnostik –saking penasarannya. Kemudian, rasa-rasanya ‘pulang’ menjadi sepotong kata yang mendadak terdengar magis.
Pulang adalah kata paling indah yang dimiliki seorang petualang ketika ia tahu jalan menuju pulang.
Ya, bukankah setiap perjalanan selalu butuh satu tempat tujuan untuk pulang?
Barangkali memang begitu.
Demikianlah, dan 4/5 bintang untuk Niskala, untuk segala perjalanan, pergulatan keyakinan, perjuangan hidup, juga untuk Galang dan Sanggita. Semoga mereka berbahagia di mana pun mereka berada –dunia fiksi maupun dunia nyata.
_________________________________
* Penulis, tinggal di Jakarta.
Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di petronelaputribooks.wordpress.com [Mei 2014].