Niskala: Tentang Janji

Ulasan Niskala | #13

Oleh Eka Perwitasari Fauzi

Menepati janji merupakan resolusi saya di awal tahun 2014 lalu. Perjalanan selama tahun sebelumnya-lah yang mengajarkan saya arti menepati janji. Janji yang saya buat tidak main-main, karena menyangkut masa depan dan dengan siapa saya membuat janji. Janji kepada diri sendiri memang paling mudah dibuat namun tidak sedikit yang pada akhirnya melanggar janji itu.

Niskala saya temukan ketika melangkahkan kaki ke toko buku di sebuah pusat perbelanjaan tahun 2013 lalu. Waktu itu kebetulan saya sedang pulang ke Indonesia dan memang menunggu-nunggu buku ini karena tersiar kabar akan rilis tahun itu. Maka betapa girang hati saya (eh, saya selalu girang lho kalau menemukan buku karya mas Daniel Mahendra hehe) ketika tumpukan buku inilah yang menyambut saya ketika memasuki toko buku tersebut.

Sejak membaca Perjalanan ke Negeri Atap Dunia, saya memang selalu menantikan karya-karya Mas Dani. Jika buku sebelumnya menceritakan perjalanan sang penulis, lebih pada catatan perjalanan, Niskala membawa nuansa lebih dalam tentang menunaikan sebuah janji.

Realistis. Satu kata yang bisa saya lontarkan sebagai komentar terhadap niskala. Bagaimana tidak, cerita “happy ending” memang hanya ada di novel picisan, dan kenyataan hidup tidak selalu semanis di novel-novel percintaan.

Dalam Niskala, kisah hidup kita sebagai manusia biasa menjelma dalam tokoh Galang. Dimana melalui bermacam karakter yang mengelilinginya, ia mengajarkan kita tentang bahwa perjalanan hidup tidak selamanya sesuai dengan keinginan kita. Banyak orang mengucap “Besok, saya akan melakukan A”, atau “Ok, besok, saya akan bawakan hal yang anda minta”. Tapi pada kenyataannya, detik demi detik, jam demi jam, hari demi hari, janji yang diucapkan tak kunjung ditepati. Ada pepatah yang berkata “semua yang ditunda-tunda pada akhirnya akan menjadi terlupakan dan tidak akan terlaksana”.

Pemenuhan sebuah janji merupakan bukti konsistensi manusia. Janji dan mimpi adalah dua hal penting yang bagi saya, seorang pengejar mimpi. Janji dan mimpi merupakan bahan bakar hidup. Mimpi adalah arang di bawah tungku kehidupan kita. Janji adalah api yang menyala membakar mimpi – mimpi itu. Ketika janji paling sederhana saja tidak mampu ditunaikan, bagaimana dengan janji yang lebih besar?

Namun ketika janji dan mimpi terusik hanya ada dua pilihan: menunaikannya apapun halangannya, atau melupakannya. Dua-duanya sama-sama upaya dalam melanjutkan hidup. Namun, tokoh Galang mengajarkan kita bagaimana pentingnya menepati sebuah janji dan bagaimana mengatakan “cukup” pada diri kita sendiri.

PS:
Buku inilah yang memacu semangat saya untuk menepati janji pada orangtua saya untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Menepati janji untuk membawa almh. Ibu saya untuk melihat Jerman, Negara yang selalu ingin ia kunjungi, dan menepati janji pada diri saya sendiri untuk mewujudkan impian melihat Big Ben di London. Janji yang saya buat hampir sepanjang hidup saya. Alhamdulillah semua janji dan mimpi terpenuhi dan saya pun mampu berkata “cukup” pada diri saya sendiri.

Ini waktunya, pulang…

_________________________________

* Alumni Laurea Magistrale, Jurusan Media Education, Università della Calabria, Cosenza, Italia. Kini tinggal di Jakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di doppelgangerishere.wordpress.com [Januari 2015].