Ulasan Epitaph | #13
Oleh Ipon Bae
Membaca resensi novel Pelacur Politik dan Hehehe karya TANDI SKOBER disebuah Koran lokal Mitra Dialog Cirebon sabtu-legi (23 januari 2010) 7 safar 1431H. resensi tersebut ditulis oleh jurnalis DADANG KUSNANDAR, DADANG KUSNANDAR coba membedah novel karya TANDI SKOBER dengan gaya tuturnya yang kulturistik dan futuristik tapi masih ada kata yang Bengal dan literature yang janggal . memahami novel karya TANDI SKOBER seperti membaca/menginginkan, membangun sebuah singgasana di alam barzah mungkin juga alam surga, adalah sebuah lencana. Dari novel PPHHH,Tandi Skober mencoba memperkenalkan jurnalisme sastrawi kultural (aliran ala Tandi Skober), genre ini baru saja terlahir dari novel PPHHH yang terbilang baru dalam aliran journalism (mungkin). Jurnalisme sastrawi kultural disebut juga narrative reporting karena penyajiannya dalam bentuk narasi tanpa basa-basi “sing linuwih” dengan meng-klimak-kan kata masturbasi . Istilah passionate journalism juga bisa digunakan untuk menyebut aliran ini (maaf jika berkenan). Ada juga yang menyebut jurnalisme sastrawi kultural sebagai literary journalism. terlepas dari itu semua, jurnalisme sastrawi kultural menyodorkan hal baru yang menarik untuk dikaji, diteliti. Lagi pula Kenapa harus malu memakai bahasa sendiri?
Senin-pon (25 januari 2010) 9 safar 1431 H. kembali Koran lokal Mitra Dialog Cirebon meresensi novel EPITAPH karya DANIEL MAHENDRA di kolom asal Oyeg. Membaca Dari ulasan resensi tersebut sang penulis novel DANIEL MAHENDRA mencoba mengemukakan unsur-unsur yang setidaknya harus dimiliki jurnalisme sastrawi (maaf, kembali lagi pada jurnalisme sastrawi hehehe). Unsur yang dimaksud yaitu gaya bercerita harus menggunakan adegan atau dialog (scene by scene contruction), laporan atau ulasan yang utuh atau menyeluruh (immersion reporting), tehnik tulisan, pelaporan dengan riset dan berupaya mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan pemberitaan dari novel EPITAPH itu sendiri (third person point of view), dan DANIEL mengutamakan kedalaman pemberitaan sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk menghasilkan satu novel/pemberitaan , dan DANIEL MAHENDRA adalah seorang penulis pengemban tugas mulia.
Yang unik dari kedua novel ini adalah adanya tehnik penggabungan antara unsur sastra dan jurnalisme. Di mana jurnalisme berupaya menghadirkan sebuah fakta peristiwa dan sastra menekankan penyajian fakta dengan menghadirkan nilai kebenaran secara utuh. Gaya penulisan sastra sangat kental terlihat, sehingga pembaca tidak dibuat bosan jika berinteraksi dengan genre ini. Gaya yang di maksud bukan sekedar menyajikan kata-kata puitis sekaliber karya Kahlil Gibran, melainkan melainkan gaya bercerita yang mengalir.
Di Indonesia, aliran ini di perkenalkan oleh para wartawan yang pernah bergelut di mess media. Ada salah satu orang yang konsentrasi dalam membuat tulisan/laporan dan pemberitaan dengan genre ini, dialah DADANG KUSNANDAR jurnalis asal Cirebon . dengan bekal yang di miliki DADANG KUSNANDAR berupaya meramu tulisan berbahasa Cirebon pegot menjadi karya-karya yang menarik. Namun sayang, upaya tersebut mandeg karena keterbatasan dana untuk mempublikasikannya.
“laporan-laporan dan novel-novel ini ibarat kawan lama yang datang bercerita” demikian kata pacar saya. Memang, membaca jurnalisme sastrawi seakan menyajikan sesuatu yang super kompleks bagi kita. Ada pelibatan unsur psikologis berupa emosi. Pembaca diajari untuk berempatik kepada apa yang dia baca. Selain itu dari rahim KAKI LANGIT KENCANA terlahir jabang bayi ILUMINASI yang di tulis oleh LISA FEBRIYANTI, LISA FEBRIYANTI turut serta menyumbangkan karya sastra fiksi fantasi , LISA FEBRIYANTI Berpendapat“ Jurnalisme sastrawi itu harus panjang, dalam, legam dan terasa gesekannya.” Salah satu contoh Jurnalisme Fiksi sastrawi adalah novel ILUMINASI, yang di tulis oleh LISA FEBRIYANTI telah menunjukan kelihaiannya sebagai penulis sekaligus “jurnalis” + millist hehehe.
Lain Judul Lain Pula buku dan isinya, FERRY HERLAMBANG ZANZAD dan ZEVENTINA OCTAVIANI penulis novel ELLE ELEANOR yang meraih sukses terheboh dari tanggapan pembaca di berbagai kota besar Indonesia mengatakan dalam status FBnya (FERRY HERLAMBANG ZANZAD) “ Jurnalisme sastrawi mengandung karakter, drama, babak, adegan dan konflik.” Selain itu ZEVENTINA yang sedang memakai gaun berwarna merah darah melanjutkan sambil menyeloroh, “laporan Jurnalisme sastrawi tidak pecah-pecah atau terpisah satu sama lain.” lihatlah hutan telah gundul, mulailah kita bercocok tanam hijaukan bumi dengan menyisihkan setiap 2 ½ persen dari setiap tulisan kita ke kencleng bumi .
dari beberapa novel yang terlahir dari rahim KAKI LANGIT KENCANA ini, adakah formula 5W 1H menjadi produk baru di setiap paragrafnya?. TANDI SKOBER mengatakan dalam esainya yang berjudul Skober report, untuk penulis-penulis jabang bayi . WHO harus diubah menjadi Karakter, WHAT dijadikan alur, WHERE menyatakan setting, WHEN mengandung urutan waktu kejadian, WHY menjelaskan latar belakang, dan HOW harus disulap menjadi narasi. Betul begitu?
Yah namanya juga cerita, Mas IPON… LISA FEBRIYANTI lalu mencoba menggali informasi mulai dari kalangan rendahan FB sampai kalangan atas. Multigolongan dan kalangan yang telah ditemuinya untuk mendapatkan informasi yang akurat dalam mencari bahan untuk karya tulisnya. Selain itu peliputan juga harus menggunakan tehnik wawancara (bukan wawancanda) yang dalam. Verifikasi yang menjadi esensi jurnalistik tersaji dalam tulisan atau karya novel.
Dari semua cerita dan berita yang di kemas dalam bentuk novel, ada sebagian dari karya-karya tersebut yang memiliki kekentalan unsur sastra hikayat, bukan hanya dari tehnik berceritanya yang menyerupai penulisan cerpen, novel, (bukan berita) tapi juga dalam pemilihan diksi yang jarang digunakan dalam penulisan berita yang selama ini kita baca di media cetak.
BARAKALLAH.
Penulis adalah bukan siapa-siapa, jangan berharap untuk dikenal, tapi perhatikan sepak terjang pemikiran dan tarikan nafas di setiap hurufnya.
Cirebon, 25 Januari 2010
________________
* Pembaca, tinggal di Cirebon.