Perjalanan ke Atap Dunia [05]

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #20

Oleh Indradya Susanto Putra

Awalnya agak susah mencari buku ini. Mungkin karena saya terlalu cepat mencarinya (dan terlalu bernafsu, karena saya doyan buku-buku kayak begini), padahal buku ini belum beredar di toko buku. Sampai suatu hari saya menemukan informasi tentang acara bedah buku ini di sebuah kampus swasta di Bandung, Sabtu 5 Mei lalu.

Acara tersebut sebenarnya dijadwalkan mulai pukul 19.00. Tapi waktu saya datang jam 20.00 pun acara belum juga dimulai. Hanya tampak beberapa orang (yang sepertinya panitia) di ruangan itu. Akhirnya saya hanya beli bukunya, tapi langsung pergi lagi karena ada acara lain. Lumayan, saya beli buku ini dengan harga Rp 39.900, lebih murah daripada harga aslinya yang Rp 58.000.

Seminggu kemudian saya baru sempat membaca buku ini. Persisnya di kereta dalam perjalanan menuju Jogja. Saya memang selalu gelisah dan tidak tahan kalau bepergian tanpa membawa buku. Dan buku ini ternyata sangat pas dibaca dalam perjalanan saya dengan kereta malam itu.

Membaca sebuah catatan perjalanan (travel writing) itu sesungguhnya sangat menyenangkan. Pembaca dibawa ke negeri-negeri asing, seolah ikut melihat dan merasakan apa yang dialami penulisnya, berikut pergulatan batinnya. Perjalanan ke Atap Dunia berkisah tentang mimpi Daniel Mahendra. Saat masih kecil ia begitu terpukau pada komik Tintin berjudul Tintin di Tibet. Selain itu ia juga sangat menggemari kisah petualangan Balada Si Roy karya Gol A Gong (tak pelak, soulbuku ini pun terasa sangat Gol A Gong). Belum lagi saat ia menonton film Seven Years in Tibet. Makin lengkaplah segala hal yang mendorongnya pergi ke negeri yang berada di dataran tertinggi di dunia tersebut.

Persiapan sebelum berangkat pun ia ceritakan dengan detail. Awalnya Daniel hendak pergi bersama seorang kawannya, namun karena ada halangan ia akhirnya harus pergi sendiri. Singkat cerita, Daniel pun berangkat dengan Thai Airways, menginap semalam di bandara Suvarnabhumi di Bangkok, lalu mendarat di Chengdu, Cina. Dari Chengdu perjalanan diteruskan lewat jalan darat.

Sungguh asyik saat menyimak kisah Daniel naik kereta yang perlahan-lahan melaju ke daratan tinggi, hingga ribuan meter dari permukaan laut. Kemudian saat Daniel menjalin pertemanan dengan beberapa backpacker dari negara-negara lain, jatuh cinta kepada seorang gadis Perancis yang sedang studi doktoral di India, bergantian terkena Acute Mountain Sickness (aneka penyakit yang timbul akibat berada di ketinggian ribuan meter) bersama Juan Carlos Muñoz, pemuda Amerika Latin namun berkewarganegaraan Amerika Serikat. Atau saat Daniel mengamati kehidupan warga Muslim Tibet yang minoritas dan sholat bersama mereka. Juga cara Daniel mengisahkan betapa sebalnya dia karena nama Indonesia ternyata tak terlalu dikenal oleh orang-orang dari negara lain, entah dia disangka orang Malaysia, atau saat dia bertemu orang betu-betul tidak tahu di mana itu Indonesia—kecuali saat sudah diberitahu bahwa Indonesia itu terletak di dekat Singapura dan Malaysia. Pendek kata: seru!

Daniel menuliskan pengalamannya dengan bahasa yang enak dan mengalir, namun hal ini tak mengurangi bobot tulisannya. Ia juga tak lupa menyelipkan potongan kisah yang ironis tapi disampaikan dengan kocak. Misalnya saat ia melihat kebiasaan warga Cina yang terkenal itu: berdahak keras dan meludah sembarangan. Daniel menulis: “Bukankah aku sedang berada di negara mereka? Mengapa aku harus jijik dengan kebiasaan mereka hanya karena aku datang dari negara yang tidak memiliki kebiasaan seperti itu?” Pemikiran yang cukup adil, saya kira, walau belum tentu semua orang setuju. Yang saya suka, Daniel selalu menyelipkan kutipan-kutipan indah pada awal setiap bab yang dia tulis.

Daniel juga gelisah. Awalnya dia sangat gembira karena akhirnya bisa mengunjungi negeri yang diimpikannya sejak lama. Namun saat ia memasuki kuil-kuil dan melihat para biksu yang sedang berdoa dijadikan tontonan oleh para turis, hatinya berontak. Tapi ia sedikit bisa berkompromi saat melihat bahwa para biksu itu pun tampak tidak peduli dan tetap khusyuk merapalkan kitab suci mereka.

Buku ini dilengkapi dengan foto-foto berwarna dan diberi kata pengantar oleh Gol A Gong—yang isinya tak kalah asyik dibanding tulisan Daniel. Yang lucu, Gol A Gong tampak “geram” saat Daniel meminta dibuatkan kata pengantar: “Huh! Sialan sekali Daniel ini! Baru juga ke Tibet, sudah menulis buku!”  Kemudian Gol A Gong pun mendidih dan adrenalinnya berontak. Naluri petualangannya muncul akibat membaca tulisan Daniel ini….hehehe!

Ya, saya kira memang begitu rasanya saat kita membaca catatan perjalanan orang lain—kita seolah ikut melihat pemandangan yang dikisahkan penulisnya, merasakan pergulatan batin penulisnya.

Walau demikian, ada beberapa catatan dari saya:

1. Subjudul Tibet, Nepal, dan Cina dalam Potret Jurnalisme tidak cocok dengan isinya. Setelah rampung membaca buku ini, menurut saya tulisan Daniel sama sekali bukan sebuah tulisan jurnalistik. Emosi dan pergulatan batin penulis sangat kuat di sini. Buku ini jelas sebuah memoar, lebih tepatnya lagi catatan perjalanan. Contoh buku catatan perjalanan yang ditulis dengan gaya jurnalistik adalah buku Haji Nekat yang resensinya saya tulis di blog ini juga.

2. Ada beberapa typo dalam buku ini. Misalnya di halaman 21, tertulis “Traveling, al you have to do…” (ya, kurang satu ‘l’). Kemudian di halaman yang sama ada tulisan begini: “Suhu udara yang minus 0° Celcius terasa….”. Hmm, menurut saya sih nol ya nol, tidak ada namanya -0°, kan? Kemudian dalam buku ini bandara di Bangkok itu selalu ditulis Survanabhumi, padahal yang benar adalah Bandara Suvarnabhumi.

3. Cap bertulisan “Menggapai Impian, Meraih Makna Perjalanan” itu sama sekali tidak perlu. Kalimat tersebut berbau buku motivasi, padahal ini travelogue—memoar dan catatan perjalanan Daniel Mahendra. Cover-nya sendiri sudah oke, gambar rel kereta di tengah kepungan gunung, sepi dan melankolis.

Namun, terlepas dari sedikit kekurangan di atas, saya harus mengakui bahwa ini buku keren. Jangan berpikir bahwa catatan dari saya di atas lantas membuat buku ini jadi tidak asyik disimak. Tebalnya yang 350-an halaman malahan terlalu tipis rasanya buat saya, karena kisah perjalanan Daniel ini sangat menarik. Mestinya ada lebih banyak traveler/backpacker yang menuliskan pengalamannya. Soalnya buku panduan traveling sudah terlalu banyak.[]

_________________________

* Editor dan penerjemah buku. Tinggal di  Bandung.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di indradya.wordpress.com [Mei 2012].