Perjalanan ke Atap Dunia: Apa yang Kamu Cari, Lelaki?

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #2

Oleh Gol A Gong

Saya baru saja meletakkan 2 koper, ketika Daniel Mahendra – penulis novel “Epitaph”,  menghubungi saya. Daniel meminta saya menulis kata pengantar untuk calon bukunya; “Perjalanan ke Atap Dunia”. Saya baru tiba dari perjalanan mengunjungi beberapa kota di United Arab Emirats; Dubai, Abu Dhabi, dan Ruwais, 16-25 Desember 2011. Bukan perjalanan petualangan, tapi memberikan pelatihan menulis. Itu sebabnya tidak memakai ransel. Tapi, sepanjang perjalanan pulang dari Dubai ke Jakarta di dalam pesawat Garuda, di kepala saya sudah terhampar sebuah rute petualangan baru! Saya berencana akan road to Makkah di bulan Maret hingga Mei 2012 bersama istri saya Tias Tatanka lewat darat. Saya akan mengajak Tias menyusuri Singapore, Kuala Lumpur, Bangkok, New Delhi, Muscat, Dubai, Abu Dhabi, Saudi, dan Qatar.

Saatnya Bertualang
Dan begitu mendarat di rumah, Daniel yang dikenal dengan blog penganyamkata itu, menyodorkan naskah bukunya pula! Lengkaplah sudah “penderitaan” saya ini. Saya seperti dibangunkan dari tidur panjang! Lima belas tahun saya dan Tias membangun Rumah Dunia, komunitas literasi di kampung Ciloang, Serang, Banten. Hidup saya tidak ke mana-mana sepanjang 1996-2011, kecuali berkomitmen di Rumah Dunia. Tentu saya rindu debu jalanan, terik matahari, orang-orang asing yang saling tatap curiga, dan senyum-senyum ramah hadiah dari Tuhan! Rindu semesta! Rindu segala sesuatu di sekeliling saya bergerak! Saatnya berpetualang, memang.

Apalagi setelah “Perjalanan ke Atap Dunia” rampung saya baca. Huh! Sialan sekali Daniel ini! Adrenalin di tubuh saya mendidih. Baru juga ke Tibet, sudah menulis buku! Saya juga bisa. Saya sudah tidak sabar untuk segera pergi menyandang ransel; menuju Tibet kalau perlu. Dan tentu menulis buku. Ya, sekarang saatnya saya dan istri bertualang!

Ketika membaca naskah buku Daniel ini, saya tenggelam dan merasakan menjadi bagian dari  paragraf demi paragrafnya. Saya merasakan tersedot ke detail-detail yang  ditulis Daniel, mengalir deras menantang untuk diarungi. Saya membayangkan sebagai pelakunya. Misalnya, saat Daniel menginap di bandara Bangkok, saya merasakan sedang tidur di sana juga. Saat Daniel menaiki pesawat ke Chengdu, China, saya sedang duduk di sebelahnya, menjadi traveler juga. Saat naik kereta ke Lhasa, saat menginap di penginapan murah, saat sholat di masjid Lhasa, saat sibuk mencari sarapan di Kathmandu, saat tersandung cinta lokasi dengan Jeanette, gadis Perancis di Pokhara, saat …, ah, saya merasakan menjadi traveler bersama Daniel! Saya bisa seorang Tan, Chen, atau Juan Carlos!

Saya yakin pembaca buku “Perjalanan ke Atap Dunia” akan merasakan hal yang sama, karena buku ini ditulis Daniel dengan teknik menulis fiksi, sehingga pembaca tidak seperti sedang membaca sebuah brosur perjalanan. Pembaca juga akan merasakan kesepian, ketika Daniel merasa kesepian. Saat Daniel mengalami cinta lokasi, pembaca pun pasti akan tersenyum-senyum.

Daniel cukup pandai memindahkan apa yang dilihat dan dirasakannya, apa yang ditemukan dan dialaminya. Para pembaca pasti bakan berdebar-debar gelisah dan bertanya kepada dirinya sendiri: sudah seberapa jauh saya pergi dari rumah?

Maka, sekarang saatnya kita bertualang!

Travel Writer
Begitu banyak petualang, traveler atau backpacker. Tapi sedikit sekali yang sembari melakukan pekerjaan menulis. Seperti adagium W. Somerset Maugham, “Kalau ingin menjadi pengarang, pergilah ke tempat yang jauh, atau merantaulah ke negeri orang. Lalu tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat.” Begitulah Daniel. Ketika seorang penulis melakukan perjalanan, dia tidak sekadar melihat, tapi justru banyak menemukan peristiwa untuk ditulisnya. Dia selalu akan menempuh jalur-jalur yang tidak umum dilalui traveler lain. Cara berpikirnya pasti “out of the box”!

Ketika saya melakukan perjalanan keliling Indonesia (1986-1988) dengan ber-liften; naik truk atau kucing-kucingan dengan kondektur kereta, serta kapal kayu, iklim backpacker seperti pelarian yang sempurna akibat perlakuan rezim Orde Baru yang represif. Banyak anak muda Indonesia bertebaran secara berkelompok atau sendiri di jalan-jalan, menyetopi truk dan pergi ke gunung. Tapi tidak banyak orang yang melakukan perjalanan sambil menulis. Rata-rata hanya wartawan yang bisa melakukan itu. Mereka difasilitasi perusahaannya atau lembaganya; melakukan ekspedisi dan memuat catatan perjalanannya secara bersambung di majalah atau koran. Saya mengingat beberapa nama; Emji Alif (Gadis), Daniel Chaniago (Kartini), Gerson Poyk (Sarinah), Norman Edwin (Kompas). Saat itu, saya hanya mengirimkan “buku harian” saya lewat pos ke Emak di rumah. Saya kadang mengurangi jatah makan saya, agar bisa mengirimkan “harta karun” itu ke Emak di rumah. Setelah saya pulang pada 1988 akhir, catatan selama keliling Indonesia itu teronggok berkarung-karung di pojokan kamar. Saya racik dengan imajinasi, maka jadilah novel serial “Balada Si Roy”, dimuat bersambung di majalah HAI.

Kemudian saya keliling Asia pada 1990-1992. Saya banyak menemukan hampir kebanyakan travelerdari mancanegara hanya bersenang-senang saja. Mereka rata-rata mahasiswa yang bekerja paruh waktu, dan saat musim dingin tiba di negaranya, mereka menyerbu Asia, menghabiskan uangnya dan syukur-syukur terlibat cinta lokasi. Anehnya, bertemu teman seperjalanan dari negeri sendiri sangatlah sulit. Saya pikir itu di era 90-an, di mana generasi teknologi informasi belum mewabah seperti sekarang. Tapi, ternyata begitu juga yang dialami Daniel; selalu dianggap bukan dari Indonesia. Traveler dari Indonesia belum dikenal luas. Tapi uniknya, traveler yang sembari menulis selalu menjadi pusat perhatian. Seperti saya waktu itu. Juga Daniel sekarang. Daniel selalu menulis di sela-sela waktu luangnya hingga suatu hari di sebuah telaga di kota Pokhara, Nepal, seorang cewek bule asal Perancis jatuh hati dibuatnya. Bukankah itu keren sekali, teman?

Betapa asyik menjadi traveler sembari menulis. Travel Writer! Lautan ide terhampar di sepanjang jalan, di rel kereta, di jalan mendaki berliku, di setiap tikungan jalan asing yang sengaja kita lewati atau di setiap tempat yang tak terduga kita lewati. Betapa suka dan duka selalu beriringan hadir dan tak ada perkara sulit mencari solusinya. Bukankah Tuhan menciptakan beban dan pundaknya sekaligus? Kenapa harus takut?

Bermula dari Mimpi
Saya mengenal Daniel belasan tahun lampau di Bandung, saat dia masih kuliah. Dia mengenalkan diri sebagai pembaca “Balada Si Roy”. Saya tidak menyangka, bahwa ternyata novel “Balada Si Roy” banyak sekali memberi inspirasi kepada para lelaki di Indonesia untuk menjadi lelaki sesungguhnya. Saya sering menyebut, bahwa novel “Balada Si Roy” adalah untuk “melelakikan lelaki”. Tak perlu harus berotot seperti Ade Rai jika ingin jadi lelaki, karena menjadi lelaki adalah sikap atau karakter. Menjadi lelaki harus berani mengambil risiko hidup, menghormati perempuan, mengagungkan cinta, mencintai keluarga, bersahabat dengan alam, toleran, menjadi pelopor dalam memecahkan masalah, dan memiliki solidaritas tinggi terhadap segala persoalan di sekitarnya. Bagaimana kita bisa disebut sebagai lelaki, jika di bus pura-pura tertidur ketika ada seorang perempuan berdiri?

Hmm, begitu rumitkah menjadi seorang lelaki?

Tidak rumit.

Seperti yang sedang Daniel lakukan ini: mengunjungi Tibet!

Jika kita menginginkan sesuatu, kita harus mengambilnya. Jika perlu: rebut!

Saya pikir, Daniel sedang menguji karakter kelelakianya. Dimulai dengan mencoba mewujudkan mimpinya: mengunjungi Tibet!

Semua lelaki pasti memiliki mimpi besar dalam hidupnya. Lelaki pemberani memang harus memulainya dengan menjadi seorang pemimpi. Kamu pikir, Columbus bisa menemukan benua baru tidak bermimpi dulu? Kamu pikir, Edmund Hillary tidak memulainya dari mimpi sebelum menaklukkan Mount Everest? Kamu pikir, Daniel tidak bermimpi dulu sebelum berhasil mengunjungi Tibet?

Ketika Daniel menyatakan dirinya ingin ke Tibet setelah membaca buku “Tintin di Tibet”, sebetulnya Daniel sedang melakukan sugesti terhadap dirinya (afirmasi). Dia menyadari itu dan yakin, bahwa jika niat itu terus ditanamkam ke dalam dirinya secara terus menerus, tiada henti, berusaha dan berdo’a, maka hal itu akan terwujud. Daniel meyakini, bahwa mimpinya suatu saat mengunjungi Tibet akan terbukti.  When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it, kata Paulo Coelho. Itulah kenapa Nabi Muhammad SAW mengingatkan kita, agar selalu memikirkan hal yang baik-baik, meniatkan yang baik-baik, bermimpi yang baik-baik, dan memiliki cita-cita setinggi langit. Karena kalau kita sudah berniat baik, maka itu sudah dicatat pahalanya sebagai sebuah perbuatan yang baik. Dan itu akan mendorong diri kita pada hasrat yang menggelora, ingin mewujudkannya, apa pun aral rintangannya akan kita terjang!

Saya sendiri dikenal sebagai lelaki pemimpi. Saya bermimpi keliling dunia. Hari-hari saya dipenuhi mimpi keliling dunia. Dan mimpi itu menggumpal menjadi cita-cita. Saya tidak pernah diam untuk segera mewujudkan. Saya tempelkan gambar-gambar land mark sebuah Negara; Taj Mahal di India, Pagoda di Bangkok, Himalaya di Nepal, Eiffel di Paris, Big Ben di London, Burj Kalifa di Dubai, Piramid di Kairo, Borobudur di Magelang, dan masih banyak lagi. Setiap saat sebelum tidur, saya pandangi lama-lama “dinding mimpi” saya itu. Bahkan saya selalu menuliskan keinginan keliling dunia di mana saja dan mengatakannya kepada siapa saja yang saya temui sambil meminta dido’akan oleh mereka. Saya mengatur strategi dan bekerja keras untuk mencapainya. Kalau dulu mesti jungkir balik ke perpustakaan untuk mendapatkan informasi tentang sebuah negara, kini cukup ke Mbah Google saja. Tapi, dengan segala keterbatasan waktu itu, saya sudah mengunjungi negara di mana Taj Mahal, Pagoda, Borobudur, Burj Kalifa, Piramid, dan Himalaya berada.

Dan saya yakin tidak sendirian.

Seperti halnya Daniel, yang bermimpi ingin mengunjungi Tibet. Saya bermimpi ingin keliling dunia. Kamu pasti memiliki mimpi besar yang lain juga. Mewujudkan mimpi yang tidak biasa seperti itu tentulah butuh keberanian. Banyak yang sudah melakukannya. Dan berbahagialah kamu, jika sudah melakukannya. Itulah sebabnya, kenapa pepatah lama pernah mengatakan “dunia milik orang-orang pemberani”. Bermimpi dan memutuskan untuk mewujudkan mimpi itu adalah juga milik orang-orang pemberani. Dan biasanya para pemberani memiliki keteguhan hati. Itulah karakter sejati seorang lelaki.

Goal Tersembunyi
Lantas, bagaimana karaktermu? Bisakah kamu menyimpulkannya sendiri? Termasuk ke golongan mana? Memiliki keteguhan hatikah kamu, jika urusannya adalah “bagaimana caranya mewujudkan mimpi”?

Pernahkah kamu bermimpi keliling dunia seperti saya? Atau bermimpi mengunjungi Tibet seperti Daniel? Jika belum, setelah membaca buku ini, mulailah menyusun strategi. Yakinlah, bahwa melakukan perjalanan adalah tidak sekadar naik bus, pesawat atau kereta api, check in di hotel mewah, hotel melati, atau dormitory bed, dan nge-net di sebuah café yang memberikan layanan internet gratis. Tidak hanya itu.

Pasti selalu ada goal-goal kecil di dalamnya. Seorang lelaki pejalan yang selalu menuliskan perjalanannya tentu memiliki kepekaan terhadap sekelilingnya. Dia akan membaca dirinya juga. Dia akan selalu bercermin pada segala peristiwa. Dia melihat, menemukan, menimbang, dan kemudian memutuskan. Perjalanan itu ibarat sebuah cara untuk menemukan jati dirinya.

Seperti halnya yang terjadi pada diri Daniel. Dia menemukan pencerahan tentang bahaya merokok justru ketika di Tibet. Bacalah apa yang ditulisnya:

Maka, sejak 20 April 2011 di kota Shigatse, Tibet, aku memutuskan untuk berhenti merokok selama-lamanya dari hidupku. Meski sejak di kota Lhasa beberapa hari lalu, aku memang sudah tidak merokok karena kesehatanku yang terganggu, tetapi tetap saja keputusan untuk berhenti aku ucapkan pada 20 April di kota Shigatse. Dan aku senang sudah berani mengambil keputusan.”

Begitulah sejatinya lelaki. Dia belajar di mana saja dan kepada siapa saja. Selama di Tibet, Daniel belajar kepada teman-temannya selama di perjalanan. Ada Juan Carlos dari Colombia, Tan dan Chen dari Malaysia. Daniel tergelitik ketika  memahami, bahwa setelah Tibet, ada hal yang belum berhasil menjadi goal-nya: mengalahkan diri sendiri. Kalau dianalogikan, saya jadi ingat sebuah percakapan dengan mendiang Norman Edwin, macan gunung di tahun 1990, di sebuah kantin di Kompas Gramedia, Palmerah Selatan. Saat itu saya sedang merencanakan perjalanan Asia dan Norman dengan maha karya “Seven Summit”-nya. “Lalu setelah puncak gunung, apa lagi?” tanya Norman Edwin gelisah. “Tuhan atau kematian!” jawabnya sendiri.

Jadi, setelah Tibet apa, Daniel? Berhenti merokok, sudah.

Lalu, goal apa lagi yang hendak kau capai?

Bacalah bercakapan di bawah ini, antara Daniel dan Barista, lelaki penjaga warung kopi di terminal bus Pokhara, Nepal.

“Apa yang kamu cari, Daniel?”

Tiba-tiba aku tercekat dengan pertanyaannya. Belum pernah ada orang yang bertanya seperti itu selama perjalananku. Apa yang aku cari? Gila! Aku tidak bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu. Apa yang aku cari? Aku menyeruput teh hangatku yang masih mengepul-ngepul. Ia tersenyum menangkap kegugupanku.

“Masa muda, Daniel. Masa muda. Memang seharusnya begitu. Pergilah ke mana pun kakimu melangkah. Itu akan menempamu. Memperkaya pengalaman batinmu.” Ia menyedot lagi rokoknya. “Tetapi pada saatnya tiba,” ia  melanjutkan, “jadilah laki-laki yang merasa cukup dengan keluarga di rumah.”

Ya, apa yang kamu cari, Daniel?

Menjadi lelaki memang harus pergi. Tapi dia juga harus pulang, karena ada yang mengasihi dan dikasihi di rumah! (*)

*) Rumah Dunia, 14 Januari 2012
*) Penulis adalah travel writer dan bermimpi mengelilingi dunia. Bukunya yang baru terbit: TE-WE (Travel Writer) – Jalan-jalan Hemat Dapat Duit (Kepustakaan Populer Gramedia, 2012). http://www.mytravelwriter.com
*) Tulisan ini sebagai Kata Pengantar di buku “Perjalanan ke Atap Dunia” karya Daniel Mahendra.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di mytravelwriter.com