Perjalanan ke Atap Dunia (Bukan Resensi)

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #41

Oleh Ambar Arum

Berjumpa lagi dengan kamu. Ruang yang sudah lama tidak kusambangi. Sudah berdebu dan bersarang laba-laba. Bukannya aku melupakanmu, namun aku memang terlampau pemalas untuk sekedar menengokmu. Maafkan aku, wordpress.

Nah, sekarang aku mau cerita sesuatu! Kamu tahu siapa yang membuatku tahu-tahu kepingin menjengukmu lagi untuk sekedar mengunggah tulisan ini? Dengarkan baik-baik ya, namanya Daniel Mahendra. Ia adalah seorang penulis buku Perjalanan ke Atap Dunia. Baru saja aku melakukan perjalanan ke Thailand, Cina, Tibet, dan Nepal bersamanya dalam dua hari. Tentu saja melalui buku, kamu tidak berpikir aku sungguhan ke sana kan?! Hahaa!

Sudah lama sebenarnya aku mendengar nama Daniel Mahendra lewat bibir beberapa teman saat berbincang tentang buku-buku traveling dewasa ini. Satu-dua teman menyebut Daniel Mahendra sebagai penulis Indonesia terbaik nomor dua (setelah Agustinus Wibowo), yang menuliskan tema traveling. Saat nama itu dilontarkan, aku hanya bisa bersungut-sungut, siapa sebenarnya si Daniel Mahendra ini? Sementara bagiku penulis Indonesia terbaik yang berkarya di bidang traveling adalah Agustinus Wibowo dan Windy Ariestanty.

Kemalasanku memang akut. Aku malas mencari Daniel Mahendra di toko buku. Alhasil aku ketik saja pesan singkat untuk salah satu sahabatku: “Bawakan Daniel Mahendra ya! Barter sama Agustinus Wibowo. Oke sip.” Kebetulan sahabatku ini malah belum pernah membaca tulisan Agustinus Wibowo. Klop! Akhirnya selang sehari, Daniel Mahendra sudah ditanganku, dan kemudian kubawa menemaniku tidur. Tentu saja melalui buku, kamu tidak berpikir dia sungguhan bersamaku kan?! Hahaha…

Lagi-lagi aku pemalas. Walau buku Perjalanan ke Atap Dunia sudah ada di sebelah tempat tidurku, namun belum juga aku mulai membacanya hingga berhari-hari. Alasanku terlalu banyak, sibuk kerjaan, pulang sudah malam dan capek sehingga inginnya langsung tidur saja. Ah padahal aku sempat-sempat saja menyelesaikan game sudoku dan game-game lain di androidku. Ah dasar pemalas!

Hingga akhirnya kantorku libur, bosan main game, dan kondisi badanku kurang fit sehingga aku tidak mau jauh-jauh dari tempat tidur. Saat itulah akhirnya aku melirik buku Perjalanan ke Atap Dunia karya Daniel Mahendra. Baca aja ah, katanya doi penulis hebat. Masaa??

Beberapa puluh menit setelahnya, aku sudah berada di Bandung, sedang ketar-ketir mempersiapkan perjalanan ke Tibet. Lalu beberapa puluh menit setelahnya aku ada Chengdu, bersiap naik kereta menuju Lhasa selama dua malam. Ya, tentu semua itu melalui buku ini.

Kemudian aku tertidur, lalu bangun di pagi harinya melanjutkan aktifitasku, dan malamnya kembali aku niatkan untuk melanjutkan Perjalanan ke Atap Dunia. Dalam hitungan beberapa puluh menit, aku sudah sampai di Tibet, kemudian Nepal. Habis sudah buku itu aku lahap dalam beberapa puluh menit.

Huff.. Akhirnya aku mengerti mengapa temanku begitu menyukai karya ini. Kalau kata Gol A Gong (sastrawan, penulis Balada si Roy) dalam kata pengantar di buku ini, kita seperti dibawa ikut berpetualang bersama Daniel Mahendra. Pembaca seperti menjadi Juan Carlos, Tan atau Chen, teman seperjalanan Daniel.

Aku malah merasa seperti menjadi Daniel Mahendra itu sendiri! Aku ikut was-was saat membaca bahwa Tibet sempat ditutup untuk umum. Saat kesulitan bernafas di Tibet karena udara tipis, tanpa sadar aku ikut menarik nafas dalam-dalam, seperti yang Daniel Mahendra lakukan. Turut gelisah melihat bagaimana pariwisata menjadikan turis lumrah berlalu-lalang, hanya berjarak sekian jengkal dengan para monk yang sedang khusyuk beribadah, menjadikan monk sebagai tontonan. Ikut kesal saat dibuntuti oleh lelaki di Nepal yang getol menawarkan paket wisatanya, atau dengan penduduk Pokhara yang menawari marijuana. Ikut tertawa pula melihat tingkah Juan, Tan dan Chen yang kadang konyol.

Juga ikut terpaku saat diberi pesan oleh pemilik kedai kopi di terminal Pokhara: “Jadilah laki-laki yang merasa cukup dengan keluarga di rumah… Kelak istri dan anak-anakmu di rumah adalah harta sebesar-besarnya yang kamu miliki.” Ya, aku mendambakan seorang laki-laki yang seperti itu, bukan yang sibuk mengejar karir atau ambisi. Laki-laki yang mengutamakan keluarga. Untuk itu, aku pun (harus) menjadi perempuan yang demikian pula.

Serta yang paling penting adalah, ya, buku ini berkisah mengenai impian. Impian yang berawal dari pikiran, kemudian dituliskan, dan dilakukan. Impian yang menjadi kenyataan. Kembali mengingatkan bahwa apa yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan, adalah sebuah doa, yang apabila selaras, maka semesta akan mewujudkannya. Maka berpikirlah yang baik-baik, bertuturlah baik-baik, serta bertingkahlah dengan baik pula. Hati-hati pula, buku ini kadang berubah menjadi cermin, yang seperti bertanya: apa kabar dengan impianmu?

Demikanlah buku ini membawaku kembali menemuimu. Semoga ini pertanda baik, semoga aku jadi semakin rajin menulis dan mengunggahnya di ruangmu. Terima kasih, Daniel Mahendra. Sesungguhnya membaca buku Anda menyisakan sebuah tanda tanya, siapakah Ta yang sering Anda sebut? Ah maafkan keingintahuan saya yang tidak penting. Aku jadi merasa seperti ibu-ibu yang doyan gosip hahaha…

Namaste!

Jakarta, 26 Mei 2013

_________________________________

* Pembaca, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di ambardanarum.wordpress.com [Minggu, 26 Mei 2013].