Perjalanan ke Atap Dunia: Sebuah Resensi [01]

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #37

Oleh Lita Soerjadinata

Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengomentari buku ini. Faktor kedekatan dengan proses penulisan buku ini sempat membuat saya enggan untuk melakukannya. Bagaimana tidak, di sekitar pertengahan April 2011 DM mengontak saya untuk mengabarkan kalau dia sedang dalam perjalanan menuju Tibet. Surel ini pun kemudian menjadi korespondensi rutin yang sebagian isinya, tanpa pernah saya sangka, tertuang dalam buku ini.

Kedekatan itu tentu saja menimbulkan subyektifitas. Saya jadi merasa nyaman saat membacanya, mengikuti alur ceritanya. Saya merasa ikut dalam perjalanan DM; terburu-buru mengejar bis menuju bandara, kesepian saat bermalam di bandara di Bangkok, atau pun gemas setelah tahu bahwa di kereta menuju Lhasa disediakan keran air panas untuk menyeduh mie. Saya pun ikut terharu membaca adegan saat DM menjejakkan kakinya di Tibet. Sebuah impian yang lama terpendam dan akhirnya tercapai selalu mengundang haru.

Namun faktor kedekatan juga menimbulkan harapan akan hadirnya sebuah karya yang sempurna, dan itu membuat saya gatal untuk mengomentari beberapa hal dalam buku ini. Pertama, beberapa pengulangan kalimat yang membuat saya merasa bosan. Kedua, kesalahan-kesalahan kecil tapi terasa sangat mengganggu. Misalnya, kening saya langsung berkerut begitu membuka bab pertama, karena all ditulis al. Kemudian kalimat yang memuat “Gunung Himalaya” (hal.44). Duh, Himalaya itu nama pegunungan kan? Kesalahan lain adalah beberapa kali Italia ditulis menjadi Itali, dan Jeanne ditulis menjadi Jean. Padahal, di Prancis (nama yang saya sebutkan ini adalah untuk tokoh perempuan asal Prancis), Jean adalah untuk laki-laki dan Jeanne untuk perempuan.

Di luar kelebihan dan kekurangan itu, saya ingin berterima kasih pada DM. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik selama proses penulisan buku ini berlangsung, terima kasih atas kesempatan sebagai pembaca pertama buku ini, termasuk pembaca pertama untuk kata pengantarnya. Terima kasih atas kesempatan untuk memilihkan gambar untuk cover dan judul buku ini. Terima kasih atas janji yang ditepati: mengalungkan mafela khas Tibet, seperti yang tertulis di akhir buku ini. Dan terakhir, terima kasih karena telah menjadikan saya sebagai bagian dari impian DM, dan menjadikan saya sebagai bagian dari hidupnya. (lits)

_________________________________

* Penerjemah, tinggal di Bandung.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di goodreads dan di wahanakecil.wordpress.com [Maret 2013].