Pseudonim, Kisah Pertarungan Idealisme Dunia Penulisan

Ulasan Pseudonim | #6

Dhenok Hastuti
Pembaca, tinggal di Bandung

Sebetulnya aku sudah menuntaskan Alaya, novel perjalanan Daniel Mahendra (DM) beberapa hari lalu. Tapi karena banyak ‘gangguan’ yang membuatku melewatkan beberapa detail, maka kupilih untuk menuliskan pengalaman membaca novel DM yang lain, Pseudonim. Buku ini kudapatkan secara acak. Pun seperti biasa, tak ku cari tahu terlebih dulu isinya tentang apa. Dan, ahaaa…cerita tentang penulis dan proses penulisan!

Yup, Pseudonim mengisahkan tentang seorang penulis novel, Wipra Supraba, yang memutuskan ‘hijrah’ dari profesinya. Atas sekian alasan, ia meninggalkan pekerjaan yang sudah sekian lama ditekuni, bahkan memang menjadi obsesinya sedari awal terjun ke dunia penulisan.

Pada awalnya, ia menerima tawaran yang menjanjikan. Menggarap skenario film animasi 3D. Meski konsep cerita, tokoh, karakter, keseluruhannya adalah pesanan, namun kontennya sedikitnya masih sejalan dengan idealismenya. Film tersebut mengangkat cerita tentang kerajaan Nusantara. Semuanya berjalan lancar. Secara finansial, Pra mulai bangkit dari keterpurukannya, bahkan terbilang berlebih. Hingga suatu kali kabar buruk itu datang. Proses produksi film dihentikan!

Life must go on. Pilihan berikutnya, Pra menggadaikan idealismenya. Menerima tawaran menulis skenario sinetron dan FTV. Bukan hanya menanggalkan idealisme, ia bahkan merelakan diri hanya menjadi ghostwriter. Titik inilah yang oleh penulis dijadikan judul novel. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pseudonim artinya adalah nama samaran, nama yang dipakai penulis untuk menyembunyikan identitas sebenarnya. Dalam hal ini tak pas betul juga sih. Karena yang terjadi, Pra bukan memakai nama samaran, namun menyerahkan karyanya bagi nama lain. Nama yang sudah dikenal malang melintang di dunia penulisan skenario film TV, Satar dan Landung, yang masing-masing memiliki latar cerita yang berbeda dalam pertautannya dengan Pra.

Apa yang diceritakan DM dalam novel yang terbit tahun 2016 ini, masih berlangsung hingga kini. Idealisme yang dilupakan, saling sikut untuk mendapatkan proyek penulisan, uang yang mengalir deras yang menjadikan penulis makin kehilangan kendali atas dirinya dan idealisme yang seumur hidup pernah dipertahankannya. Cerita yang masih relatif sama dan relevan dengan kekinian.

Buatku sendiri, ini tema yang menarik. Meski tak persis sama, dunia yang pernah kugeluti dan setidaknya masih kucermati hingga kini, dunia media, tak jauh berbeda. Dengan perkembangan teknologi, saat media konvensional makin terpuruk, ada banyak tawaran-tawaran menarik dengan harga menggiurkan sebagai pengganti idealisme. Jurnalisme ideal yang pernah kukenyam di bangku kuliah sekian tahun pun, seolah tak lagi ada artinya. Lupakan idealisme, dapatkan uangnya. Tak soal kau bikin berita hanya copas, ulik sana-sini dengan sedikit sentuhan SEO. Buat sebanyak-banyaknya, dan sebanyak itu pula akan kau bawa pulang uangnya. Begitu lebih kurangnya.

Kembali ke buku, meski cukup banyak mengulas soal dunia penulisan, tentu saja sebuah novel akan garing tanpa sentuhan kisah cinta. DM tak melewatkan itu. Kisah cinta yang semarak dari si tokoh penulis yang diakuinya sendiri adalah playboy. Tak kepalang, ada lima perempuan sekaligus dalam kehidupan Pra yang digambarkan berada pada kurun waktu sejajar. Bukankah itu kesemarakan yang hakiki? 😀 Geli mendapati bagian Pra yang harus mengelak dari tuntutan khas perempuan ‘pada umumnya’: ikatan pernikahan. “Aku lelaki yang takkan membiarkan cinta menjadi jangkar.” Begitu slogannya. Tapi ikut gemas membayangkan bagaimana ia ‘menghilangkan diri’ dari para perempuan yang mengejarnya. Serasa ingin mewakili para perempuan itu mengumpat: huh, dasar lelaki! Tenang, Dhenok, tenang 😂

Tapi, akhirnya, Pra menyerah. Saat ia menemukan tempat pulang. Seorang Radesya Dewantari, perempuan dengan idealisme yang sekaligus mengingatkan kembali kepada idealisme miliknya semula. Permintaan khusus datang dari perempuan itu, membuatkannya novel baru sebagai mahar pernikahan. Sayangnya, konflik mulai bermunculan. Dengan datangnya kabar buruk, kematian Satar dan Landung. Hal yang dijadikan pengantar oleh penulis, saat sang tokoh utama ditangkap polisi dan dijebloskan ke dalam penjara.

Detailnya, baca langsung novelnya ya. Masih bisa ditemukan di berbagai lapak buku.

Buatku pribadi, bahasan tentang penulisan akan selalu menarik untuk dibaca. Terlebih jika dikaitkan dengan keinginan diri untuk menulis novel, yang dari seabad lalu hanya sebatas wacana. Semoga dari baca novel ini tergerak untuk mulai serius menyiapkannya. Masa iya kudu nunggu ada lelaki tampan yang meminang dengan permintaan hadiah novel tulisan sendiri? 😉

Judul: Pseudonim
Penulis: Daniel Mahendra
Tebal: 272 halaman
Penerbit: Grasindo
Tebal: 266 halaman
Cetakan: I, Juli 2016

Ngomong-ngomong, Jack Keriting yang dijadikan desain sampul ini, konon adalah penggambaran dari salah satu Kesatria Meja Bundar dalam legenda Arthur, Sir Lancelot. Karena kehebatannya, Lancelot menjadi salah satu kesatria kepercayaan Raja Arthur.

Nah, nggak tahu juga, pemilihan desain sampul Pseudonim ini ada hubungannya dengan cerita itu atau tidak.

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di dhenokhastuti.com [19 Februari 2022].