Sibayak dan Susuk Orba

Ulasan Epitaph | #16

Oleh Bode Riswandi

Meraba Fiksi dalam Fakta

“Ada tiga syarat, sebagai jalan tengah agar kerangka (korban) bisa dibawa keluarga: jangan adapers yang meliput pemberangkatan, tidak boleh ada penyambutan di bandara, atau upacara di kampus. Dan terakhir korban tidak dimasukkan ke dalam peti, tapi dibungkus lalu dimasukkan ke dalam tas. Ini semua demi nama baik institusi…”

Tiga syarat itulah seyogyanya yang saya garis bawahi sebagai sumbu cerita yang menjadi kekuatan bagaimana novel Daniel Mahendra ini, seolah melepaskan jarak antara fakta dan fiksi atau fakta yang berwajah fiksi yang berkembang sebagai satu kesatuan peristiwa, di samping kengungunan tokoh, memorabilia, dan romantisme yang lumrah, juga memosisikan takdir dan nasib.

Senin, 22 Agustus 1994 pesawat helikopter TNI Kodam I Bukit Barisan BO 105 reg. 7060 yang diawaki Pilot Lettu (Art) Irsan bersama Letda (CZI) Yana, jatuh di Sibayak.

Jatuhnya helikopter milik TNI Kodam I Bukit Barisan ini jadi penanda dua peristiwa besar, yakni tragedi kemanusiaan dan kerasnya rezim di tanah air pada saat itu. Siapa sangka peristiwa Sibayak yang terjadi empat tahun sebelum pecah reformasi, menyimpan tabir kelam yang maha dahsyat. Kebohongan yang diciptakan secara sistematis, penyalahgunaan wewenang, pengkhianatan kepada rakyat dengan kedok penyewaan barang inventaris negara secara komersil dan ilegal dan yang tak kalah pentingnya dalam tragedi Sibayak adalah dehumanisasi-complexBandrol bagi tubuh manusia wajib dimurahkan demi integritas sebuah institusi.

Musibah memanglah sudah takdir. Dan takdir itu sendiri tidak mungkin ditepis datangnya. Ia bisa saja datang tanpa diduga pada orang miskin, si kaya, mahasiswa, sutradara, ulama dan pendeta, juga Presiden atau TNI-POLRI. Bagitulah sakadang takdir meriwayatkan dirinya, kecuali nasib yang bisa dipercantik.

Novel Epitaph ini juga menggarap tugas (kilah pejabat TNI-AD), dan takdir dua penumpang heli lain yang mengerjakan iklan BUMN yakni Birhi dan Laras Sarasvati (nah dua orang ini, tidak diakui sebagai penumpang heli naas oleh pejabat tinggi TNI-AD). Nasib Birhi dan Laras Sarasvati inilah yang dipercantik sistem orde baru saat itu.

Sosok Birhi dan Laras jadi inti persoalan personal pada awalnya. BUMN dan rental pesawat negara oleh TNI-AD tumbuh sebagai permasalahan yang sistematis dan kompleks itu. Sehingga nilai kemanusiaan harus tunduk oleh sistem. Bukan sistem yang semestinya disesuaikan dengan nilai kemanusiaan itu. Kekuatan paradoksal sebagai aforisma yang mutlak.

Inilah faktanya yang diangkat dalam novel karya DM. Kemudian Anda atau saya, dipaksa bahkan secara alamiah dibawa oleh irama alur cerita novel ini sampai ke sumber air mata yang miris, membayangkan setiap detail kejadian, dan menabung kecemasan-kecemasan juga kengerian yang dialami para tokoh, yang sebenarnya Anda atau saya tidak sama sekali menjadi bagian penumpang heli milik negara itu. Ekstrimnya, saya dan Anda sama sekali absen dalam informasi Sibayak tadi, di situlah letak fiksinya. Angin fiksi yang santun. Itu pula yang disampaikan Gerson Poyk dalam endorsmennya di sampul muka “Tragis!” Memainkan emosi pembaca. Kita mereka-reka: mana fiksi dan mana fakta”.

*Realitas di Atas Segalanya
Cinta, politik, pergolakan batin, dilematik keluarga, sembelit sosial, dan maut adalah realita di atas realita. Semuanya berputar bagai rantai yang saling mengikat. Sebuah lingkaran meta-hidup dari sekian peristiwa yang datang dan pergi kepada kita.

Boleh jadi lingkaran itu sedang kita alami, sudah kita alami, atau misteri selanjutnya yang mungkin dirasakan bahkan tidak sama sekali. DM meramu semuaya menjadi rasa yang baru dalam Epitaph ini, yakni aroma cinta yang kuat dan aroma kengerian yang luar biasa.

Jika ditarik ke dalam tataran intertekstual, jalan cerita yang dihidangkan DM ini semacam protes sosial yang bukan lagi berwajah baru dalam kesusastraan Indonesia dan dunia. Jauh sebelumnya sudah dilakukan para pengarang periode Balai Pustaka, atau para pengarang dunia seperti Nadine Gordiner dengan tema besar apartheid dan Man’en ganen no futtoboru yang ditulis Kenzaburo Oe yang menggemakan perjuangan perdamaian dan kemanusiaan, di mana kata, bahasa, dan karya sastra sebagai bentuk pengucapannya digunakan sebagai media protesnya terhadap rezim. Letak kebaruan terdapat dalam keberanian DM untuk membuka tabir ini sejelas-jelasnya kepada khalayak.

Meski arah napas cerita berbeda dengan Siti Nurbaya misalnya, akan tetapi kekuatan motivasi dalam menghantam krisis sosial yang kadung jadi prasasti mutlak di negeri ini dapat dirasakan di dalamnya. DM hadir dengan benteng tebal orbanya, sedang Marah Rusli muncul dengan dinding kekakuan adatnya. Yang satu melawan institusi yang berkuasa, yang satunya berontak dari kekuasaan rupiah. Keduanya saling memberikan efek kausalitas. Keduanya sama-sama jadi arus yang menghanyutkan nilai-nilai kemanusiaan.

Tapi apa mau dikata, empat tahun sebelum pecah reformasi, dua tahun sebelum bangkai pesawat dan korban yang diakui atau tidak, belum ditemukan titik kordinatnya, dan para Tim SAR dari TNI juga swasta dipulangkan dari pencariannya, tak ada satu pun yang mampu mencabut susuk Orde Baru. Semuanya hening pada masa itu jadi jawaban paling arif bagi siapa pun.

Saya mengandai-andai jika novel DM ini terbit dalam kurun waktu 1995-1997 kecil kemungkinan saya bisa membaca karya yang hebat ini. Kalau tidak dibredel tentu dibakar. Tapi beruntung paruh waktu 2009 jadi tahun keberuntungan bagi DM dan telur kegelisahannya. Meski demikian karya sastra yang mengandung kekuatan sastrawi senantiasa relevan untuk dikaji. Yang tidak beruntungnya, jika Anda menyiakan kesempatan membaca novel yang jarang mengangkat kasus yang riskan seperti ini, di abad milenia yang serba tak pasti.

*Fiksi atau Fakta?
Kejelian sosok DM terasa dominan untuk memisahkan sentimental pribadinya sebagai pengarang sekaligus tokoh. Dan membaca Epitaph pada bagian satu dan akhir, sosok DM kuat menjaga emosi. Baik ia diposisikan sebagai secondhand juga pembaca peristiwa. Saya tidak berani mengatakan DM adalah Langi, tapi cukup menerka DM memasuki tubuh dan roh Langi.

Seandai memasuki lorong ekspresif penciptaan secara kongkret dengan melepaskan embel-embel teori kesusastraan atau pisah bedah kritikus, sebenarnya DM tidak menuliskan novel ini, tapi ia adalah “Langi” yang hanya punya kesempatan membaca seikat stambomnya Haikal.

Lantas mengapa harus DM yang ditakdirkan membaca stambom itu, sebab Haikal yang penulis cemerlang itu tahu seandainya ia yang menuliskan semuanya, tentu ia merasa takut jika apa yang ditulisnya sebatas sentimentil suasana saja, karena kepergian kekasihnya Laras Sarasvati itu.

Dan seikat stambom itu telah dirapihkan Langi atau DM dalam novel Epitaph ini. Tentu Anda sebagai pembaca tidak akan menemukan sentimentil itu di dalamnya, seperti yang saya alami. Selain kalimat dahsyat yang tak kalah pentingnya dengan tiga syarat TNI-AD itu, yakni suara hati calon mertua kepada menantunya “Teruskan hidupmu, Nak. Ibu tahu kamu pasti sedih. Kita semua bersedih. Tapi kamu juga punya hidupmu sendiri yang harus tetap kamu jalani. Adalah hakmu untuk tetap mengingat Laras atau melupakan Laras. kamu harus kuat” … “Ini kenyataan, Nak. Kamu masih punya hidup. Lanjutkan. Kita semua merasa kehilangan. Tapi kita masih punya tugas untuk melanjutkan hidup. Tidak lantas berhenti sampai di sini

Saya merasa terhipnotis untuk membayangkan keberhasilan pengucapan dan penggambaran cerita ini, dan saya jadi cukup sentimentil seperti seseorang yang penting dalam kehidupan Laras. Lalu meninggalkan pusara Laras dengan kekangenan yang tak berkata. Seperti sesuatu yang tak biasa yang tertulis di nisan Laras itu:

Laras Sarasvati
Lahir: 01 Oktober 1972
Wafat: 22 Agustus 1994
Dimakamkan: 8 April 1996

* * *

________________

* Lahir di Tasikmalaya, 6 November 1983. Mengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Siliwangi Tasikmalaya (Unsil). Bergiat di Komunitas Azan, Sanggar Sastra Tasik (SST), Rumah Teater, dan Teater 28.

Menulis puisi, cerpen, esai, dan naskah drama. Tahun 2005 mendapat anugerah Duta Kesenian dalam Misi Kebudayaan ke Malaysia.

Makalah ini disampaikan dalam bedah Novel “Epitaph” karya Daniel Mahendra di Gedung Dakwah Islamiyah, Tasikmalaya, 23 April 2010.

Dimuat pula di Radar Tasikmalaya dalam rubrik Budaya pada Minggu, 25 April 2010 serta Minggu, 2 Mei 2010 dengan judul “Meraba Fiksi dalam Fakta”.