Pikiran Rakyat, Minggu, 6 April 2003
Eriyandi Budiman
JIKA sedang teringat masalah pencerahan, saya sering teringat Dr. Ali Syariati. Saya masih mengingat kata-katanya dalam pengantar “The Enlightened and Islam Renaisance”, yang diterjemahkan dangan “Membangun Masa Depan Islam” oleh Rahmani Astuti dan diterbitkan Mizan. Beliau mengatakan, “Dengan semangat pemberi kehidupan dan kreatif Islam, saya merujuk kepada semangat yang menyulut dalam jangka waktu pendek, suatu revolusi, suatu kebudayaan, sebuah sejarah, dan seorang manusia yang dinamis dan sadar, di tengah-tengah kebokbrokan, kebodohan, keterpecahbelahan, kelemahan, penyerahan, kemiskinan, kesengsaraan, diskriminasi, kefanatikan, ketakhayulan, dan barbarisme.
Saya merujuk kepada semangat yang menyulut api cinta kasih, pemikiran-pemikiran dan aspirasi-aspirasi mulia serta semangat yang mengarahkan revolusi-revolusi besar yang berlandaskan jihad dan syahadah.
Saya merujuk kepada semangat yang membangun suatu peradaban yang penuh dengan kemakmuran dan kekuatan serta semangat yang melahirkan suatu kebudayaan yang dilimpahi dengan pemikiran-pemikiran dan bakat-bakat baru yang mencengangkan atau perasaan yang dipenuhi oleh kesucian jiwa, juga kedalaman intelek serta cahaya hati.
Saya merujuk kepada semangat yang mewariskan untuk umat manusia suatu khazanah pustaka yang berlimpah dengan keindahan insani, suatu khazanah pustaka yang mencerminkan perasaan batiniah terdalam umat manusia. Akhirnya, saya merujuk kepada kedahsyatan iman yang tak habis-habisnya yang sekarang mungkin masih terkubur dan tak dikenali atau terbuang percuma.”
Lalu, apa hubungan kata-kata beliau dengan semangat kesusasteraan dalam diri kita? Pasti banyak.
Semangat profetologi dalam kesusateraan, sebenarnya sudah menjadi landasan awal penciptaan karya-karya sastra, khususnya bagi kaum beriman. Kerinduan untuk bertemu hingga semangat membaca kecintaan Sang Khalik, telah berlangsung berabad-abad dalam diri para sastrawan sufistik. Dalam pada itu, tatanan penciptaan lebih merupakan upaya peleburan diri dengan cinta yang ilahiah. Profanitas disimpan sebagai akibat dan bukan tujuan. Hal itu pun dengan perhitungan, efek profannya tetaplah yang bersifat ilahiah, taruhlah masih dalam tuntunan keimanan.
Ada banyak yang terjadi, pascakesusasteraan lebih “mengebor” imajinasinya ke dalam “candradimuka” sosiologis, bahkan membongkar individu hingga ke tingkat paling rahasia. Ungkapan-ungkapan terhadap hal-hal tabu atau sentuhan-sentuhan estetika pada unsur-unsur keliaran manusia, kemudian menempati tingkat pastisipasi yang tinggi dalam karya-karya sastra.
Mungkin, karena karya-karya sastra yang memuja Tuhan, Rasul, hingga orang-orang saleh sudah sedemikian banyak, juga mencapai estetika yang tinggi, pergerakan sastra melebar ke wilayah lain. Lalu yang dianggap puncak-puncak estetika pun beragam, khususnya pada yang bersifat sosiologi dan belakangan ke psikologi. Sesuatu yang lebih pribadi.
Dunia transendensi sastra, juga memuai. Ia melaju ke atribut-atribut lain, bahkan hingga pada taraf entertainment. Maka sejarah mencatat, ketika Rendra membaca puisi dibayar puluhan juta, juga masuk ke wilayah teknologi dengan mengekranisasi puisi menjadi sebuah kumpulan video klip.
Wajar kemudian pertumbuhan puisi dan penyair beserta efek kepenyairannya, sebagai misal, tumbuh tak lagi pada pengertian teks sebagai kata-kata yang hanya tercetak di buku-buku saja. Sastra mengalami perkembangan beserta perkembangan pengertian teks itu sendiri, sebagai sesuatu yang bisa dibaca terdiri dari sekian tanda. Kemunculan sastra cyber, beserta copy-annya dalam disk adalah salah satu contoh. Kemunculan itu juga ditandai dengan independensi kepenyairan, yakni runtuhnya hegemoni pentasbihan kepenyairan yang biasanya muncul dari para kritikus dan pemuatannya di majalah Sastra dan belakangan koran-koran berubrik budaya.
Sastra independent, juga dimunculkan oleh sekian banyak penyair, yang dengan kesungguhan dan pengorbanan berat, kemudian membuat buku antologi sendiri. Di luar pemahaman estetika puisi, atau sebutlah pencapaian puitik, sastra independent ini, mengukuhkan sebuah perjalanan lain dari sosialisasi sastra. Ini juga diperkuat dengan beberapa orang sastrawan lain yang juga membuat antologi cerpen dan novel sendiri. Mereka tak menerbitkannya lewat jalur penerbitan besar, namun dibuat secara underground dan juga dijual/dibagikan secara langsung. Ada risiko tentu.
Kemunculan sastra independent ini mungkin semacam revolusi kecil-kecilan. Revolusi ini memang tak bisa ditahan karena hubungannya sangat erat dengan antusiasme yang tak terwadahi jalur formal. Sastrawan tumbuh lebih banyak daripada medianya. Juga batasan-batasan estetika yang lama dan baru, bersitegang membentuk opini masing-masing. Ada berbagai bentuk ungkap, yang mungkin sulit diwadahi jalur formalisme sastra seperti dalam majalah dan koran, juga batasan dari penerbitan besar.
Oleh karena itu, muncul persoalan bahwa akan ada adu argumentasi mengenai kadar estetika sebuah karya.
Kemunculan sastra pop islami, lewat media independent-nya, seperti majalah Ummi dan Annida, juga belakangan menjadi buku kumpulan cerpen dan novel, toh semula merupakan gerakan sastra independent yang tak tertawadahi jalur formalitas sastra (pop) saat itu. Kini genre ini telah berkembangan menjadi sebuah kekuatan sastra yang besar dan diperhitungkan. Saya tak tahu, apakah mereka disemangati oleh gairah semacam dari Ali Syariati atau tidak. Yang jelas, mereka telah melakukan gerakan sastra independent yang sukses. Yang jelas, kelompok ini juga telah memberikan pencerahan sastra, apalagi kini kemudian mereka mengimbanginya dengan karya-karya yang tak cuma sebatas di ambang karya pop. Penerbit Assamyl Bandung, konon tengah menyiapkan buku-buku karya sastra Indonesia, setelah menerbitkan terjemahan karya sastra timur (Arab) dan novel sastra religius berlatar sejarah.
Gerakan sastra independent lain, seperti yang dilakukan Dewi Lestari lewat “Supernova I” (“Ksatria dan Bintang Jatuh”) “Supernova II” (“Akar”) yang diterbitkan True Dee Book, Soni Farid Maulana lewat “Anak Kabut”, Daniel Mahendra lewat “Selamat Datang Di Pengadilan”, Dwi Hendro Basuki lewat “Dari Kamar (Paling) Belakang”, Mat Don dan Deddy Koral lewat “Persetubuhan Batin”, kemudian Sanggar Sastra Tasik lewat “Nafas Gunung”, dan “Datang Dari Masa Depan”, Yayasan Jendela Seni Bandung lewat Bandung. Dalam Puisi, Yayasan Mekar Parahyangan lewatTi Pulpen Nepi ka Pajaratan, serta beberapa buku sastra lain seperti yang diterbitkan Komun itas Malaikat-Bandung, Komunitas Sastra di Serang-Banten, Majalengka, Indramayu, juga Komuntas Sastra Indonesia-Jakarta, dan lain-lain, telah memberi napas baru bagi pertumbuhan gerakan sastra independent ini.
Gerakan sastra independet ini, bagaimanapun telah turut melahirkan pemikiran-pemikiran dan bakat-bakat baru yang mencengangkan. Pencerahan itu memang tidak semua sastrawan baru, juga buku-buku independent itu, memiliki napas independent dalam kekaryaan. Artinya, beberapa hal dari mereka, masih mencoba jalur independent hanya sebatas mencoba memunculkan karya yang mungkin bagi mereka sendiri masih berkadar estetika biasa.
Tentu tidak apa-apa. Daripada pusing mengharapkan pencapaian estetika baru dalam karya sastra, mungkin memang lebih baik melakukan gerakan-gerakan sastra yang tak cuma memikirkan estetika. Apalagi dengan kritik sastra yang makin langka. Gerakan parsial itu, juga akan tampak lebih menggairahkan bila diadakan sebuah festival untuk menyambutnya. Sebuah gerakan lain dari cara para sastrawan menghibur diri dan publik barunya yang kian berkembang pesat.***