Makna Kehidupan dan Konsep Pulang dalam Perjalanan

Ulasan 3360 | #8

Sudury Septa Mardiah
Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Pasundan, Bandung

Daniel Mahendra, kembali ‘melahirkan’ buku dengan latar cerita perjalanannya ke Tibet. Artinya sudah ada dua novel dengan tema yang sama, Perjalanan ke Atap Dunia dan 3360. Selanjutnya pun akan terbit Novel Alaya yang masih berkisah di negeri atap dunia pada 19 Desember mendatang.

Cerdiknya, kini sudut pandang yang diambil adalah perjalanan selama 44 jam di atas kereta dari Chengdu – Lhasa dengan jarak tempuh 3360 km. Meskipun dari novel yang berbeda ada satu kesamaan cerita antara Perjalanan ke Atap Dunia dan 3360 yaitu berani! Berani untuk mewujudkan impian.

Tetapi, novel setebal 332 halaman ini lebih menitikberatkan pada memaknai kehidupan dan memahami konsep pulang dalam setiap perjalanan. Sebelum pembaca melahap isi novel tersebut, DM, sapaan akrab Daniel membukanya dengan kata-kata yang (bagi saya) cukup menyindir sekaligus menggugah.

“Untuk mereka yang tidak pernah tahu ada kereta api.

Untuk mereka yang tahu ada kereta api, tetapi tak merasa perlu mencobanya.

Untuk mereka yang ingin naik kereta api, pergi ke stasiun, namun tak pernah berani menaikinya.

Dan untuk mereka yang bermimpi naik kereta api, pergi ke stasiun, antre beli tiket, lantas pergi menggunakan kereta api; mendatangi tujuan hidup (hal iii)

Dalam novel ini pembaca akan menemukan hakikat kehidupan melalui perjalanan. Kereta yang digunakan adalah alat untuk menggambarkannya. Secara sederhana digambarkan melalui cerita seorang perempuan bernama Namara atau disapa Ra, yang memiliki mimpi menyusuri seluruh jalur kereta mengelilingi dunia.

Life is the train, not the station,” ucap Ra, mengutip dari novel Aleph karya Paulo Coelho. (Hal 318)

Bagi pembaca yang gemar melakukan perjalanan bagai diingatkan kembali bahwa makna dalam setiap perjalanan terletak pada proses mencapai tujuan. Tidak ada perjalanan yang sia-sia. Proses, orang-orang sekitar yang ‘terlibat’ dalam perjalanan kita adalah ‘guru’ yang membuat kita mengetahui berbagai hal baru.

Sehingga akan (selalu) ada pelajaran yang bisa dipetik dari tiap perjalanan. Hal itu digambarkan pada cerita Ra yang mengenal Fabio yang menjadi salah satu rekan perjalanannya yang berasal dari Italia. Kedekatannya dengan Fabio membuat Ra memahami konsep pulang dalam setiap perjalanan dan memahami makna kehidupan.

“Orang selalu kembali ke asal. Kembali ke akar. Ke permulaan. Karena di situlah tempat mereka berangkat pada awalnya,” terang Fabio tampak bersemangat. (Hal 311)

Perbedaan yang paling mencolok dibanding dengan novel lainnya, nyaris seluruh bab dalam buku ini adalah judul lagu. Begitu pula di akhir cerita pada setiap bab terdapat lirik lagunya. Lagu-lagu tersebut berkaitan dan menggambarkan perasaan si tokoh utama.

Musik memang dapat memengaruhi emosi pendengarnya. Sepertinya dalam novel ini pun penulis ingin menyentuh emosi pembacanya lebih dalam lagi melalui lirik-lirik lagu. Apalagi jika pembaca sengaja memutar lagu yang disebutkan di akhir cerita tiap bab nya. Menarik.

Novel ini bercerita tentang Namara, seorang editor di penerbit yang tengah naik daun justru memilih resign dari perusahaannya. Alasan yang dilontarkan pun berkali-kali mendapat tanggapan “Sableng!!!” dari tiap orang-orang yang menanyakan alasannya berhenti bekerja. Meninggalkan dan ditinggalkan Damar, kekasihnya tanpa kejelasan membuatnya ingin berkelana mewujudkan mimpi.

Pada permulaan cerita berbagai konflik telah terasa, mulai dari kondisi keluarga Ra, rekan kerja dan ‘ibu’ nya yang melarang ia berpergian dalam waktu yang tak menentu, dll. Namun Ra mendapat dukungan dari Bosnya dalam perjalanan tersebut dengan syarat mengirimkan tulisan tiap minggunya. Dan dibayar! Bahkan setelah kembali dari waktu yang tak bisa ditentukan, posisi untuknya di kantor tersebut sudah disiapkan kembali.

Ra pun mulai perjalanannya, menyusuri berbagai jalur kereta ke setiap kota di Indonesia. Mengelilinginya. Mulai dari lintas kota hingga lintas negara. Semua orang yang mendengar ceritanya hanya bisa terbelalak dan berkata “Gila!”. Namun saat itu, Ra kukuh tak ingin pulang karena merasa perjalanannya akan sia-sia.

Hanya saja, banyak kesamaan penggalan cerita yang terdapat dari buku Perjalanan ke Atap Dunia. Sehingga mudah ditebak dan sedikit jenuh. Tapi bukan berarti jadi malas untuk membaca cerita sampai akhir karena selalu ada kejutan yang menanti.

DM mengaduk emosi pembaca melalui konflik yang terjadi di atas kereta sehingga membuat Ra bersama seluruh teman satu biliknya diturunkan secara paksa di Delingha. Ra terpaksa menunda perjalanannya berhari-hari karena harus diinterogasi secara kasar dengan pertanyaan yang sama terus menerus. Dipindahkan ke satu tempat ke tempat lainnya tanpa kejelasan nasibnya. Seketika Namara merasa perjalanannya menuju Tibet gagal total!

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini didapat langsung dari penulis.