Menyusuri Impian Kecil ke Tibet

Ngaji Sastra di Kafe Opium

Suara Merdeka, Rabu, 17 Mei 2017

Oleh Aristya Kusuma Verdana

SEMARANG – Asap dari dua batang dupa menciptakan wewangian khas di Kafe Opium, Jalan Tusam Raya 26 Banyumanik, Semarang, Senin (15/5) malam.

Dalang cilik Danang Lawu mengenakan celana hitam bermotif warna merah di bagian bawah, kaus putih, serta blangkon mendekati tempat dupa tersebut yang diletakkan di dekat panggung.

Tangannya sudah menggenggam wayang kulit gunungan dan Bethara Guru. Sejenak dia melihat ke dupa, lalu melemparkan sebuah gelang yang merupakan ronce kembang. Barulah dia membuka acara bertajuk ’’Ngaji Sastra: Alaya Cerita dari Negeri Atap Dunia’’. Danang Lawu memainkan wayang sambil berdiri. Dia dibantu dengan pelantang kecil yang ditempatkan di dekat mulut. Dua wayang kulit dimainkan dengan kelincahan tangan sambil bersuluk.

Penikmat acara yang terdiri atas sastrawan dan penggemar sastra melihat pertunjukan dalang cilik ini sambil menikmati sajian makanan dan minuman di kafe itu.

Acara itu juga diisi diskusi buku karya Daniel Mahendra berjudul Alaya, Cerita dari Negeri Atap Dunia. Buku tersebut merupakan kisah Daniel meraih impiannya pergi ke Tibet. Hal itu dimulai saat dia mendapat hadiah komik Eropa berjudul Tintin di Tibet.

Terngiang Tibet

Waktu itu, Daniel masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar sekitar 1985. Berkali-kali dia membaca komik itu. Bayangan tentang Tibet terngiang berkali ulang. Kemudian, para 1997 dia kembali diingatkan saat film Seven Years in Tibet yang dibintangi oleh Brad Pit ditontonnya. Dan, puncaknya pada 2011 saat Daniel bertemu kawannya yang melontarkan pertanyaan kapan dirinya pergi ke Tibet. Hingga akhirnya, Daniel memutuskan ke Tibet seorang diri. Kemudian mengunjungi Nepal dan Tiongkok. ’’Ini buku cetakan kedua. Saya tulis ulang dengan konsep saya bercerita kepada anak saya. Banyak orang tidak mengenal siapa kakek dari kakeknya. Itu yang saya lakukan, saya menulis untuk anak cucu saya,’’ kata Daniel.

Pemantik diskusi buku ini adalah Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Semarang (Dekase) Agung Hima dan Sofyan Adrimen dari Bengkel Sastra Taman Maluku. Agung Hima mengutarakan tentang tidak ada sisi sastra dalam buku. Dia membatasi, bahwa buku karya Daniel itu adalah sebuah catatan perjalanan. ’’Saya tidak mendapati penuturan yang memantik cerita yang lebih dalam. Ini hanya catatan perjalanan,’’ kata Agung.

Berbeda dari Sofyan. Dia mempunyai ketertarikan terhadap buku karya Daniel dari ketebalannya, sampul, serta cara bertutur dalam penulisan. Baginya, buku tersebut mempunyai sisi sastra. ’’Sastra tidak hanya dari struktur tulisan. Kegiatan yang dilakukan juga bisa termasuk sastra,’’ungkapnya. (akv-22)

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di Suara Merdeka [17 Mei 2017].