Perjalanan ke Atap Dunia [12]

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #42

Oleh Panji Irfan

Saya seringkali membeli buku karena terpikat oleh judulnya dan kebiasaan ini terus berlanjut. Ketika saya berkunjung ke mall Barata yang baru beberapa bulan hadir di kota kecil Sampit. Saya cukup kaget dengan adanya kios buku yang lumayan lengkap koleksinya. Sebelumnya kegiatan membeli buku menjadi kegiatan yang rumit, karena seingat saya 50% toko buku di Sampit gulung tikar atau berubah menjadi toko ponsel.

Harga buku di kios ini pun tidak terlalu mahal, bahkan beberapa terlampau murah. Harga bersahabat tersebut bisa terjadi karena sebagian besar buku yang dijual di sini adalah buku operan dari Pulau Jawa yang kurang laku. Nah, saya lantas merasa beruntung dapat membeli buku bagus dengan harga murah. Judul bukunya adalah Perjalanan ke Atap Dunia. Sepertinya kesimpulan saya mengenai buku kurang laku yang “dibuang” kesini tidak terjadi berlaku untuk buku ini.

Buku ini dimulai dengan menu pembuka (appetizer) berupa cerita rencana petualangan  yang dimimpikan sejak kecil, dilanjutkan dengan (main course) hidangan teks yang ringan nan bergizi tinggi dilengkapi gambar dan taburan adagium. Jika itu belum memuaskan, nikmatilah kisah tambahan betapa menulis itu adalah kegiatan istimewa yang hanya dilakukan oleh orang-orang istimewa sebagai menu penutup (dessert), bahkan Gol A Gong yang tangannya buntung satu itu pun produktif sekali dalam menulis!

Daniel Mahendra adalah orang yang beruntung bagi saya. Nanti ketika dewasa, kita akan dihadapkan pada kata “rasional” atau “realistis”  (masuk akal). Sehingga mimpi-mimpi kecil kita seolah-olah layak untuk ditinggalkan. Daniel Mahendra sebaliknya, ia tidak seperti kebanyakkan orang yang mencampakkan impian masa kecilnya. Ia menyalakan mimpi dari pengalaman membaca buku komik Tintin di Tibet ketika ia masih SD.

Susah payah benar, dihadang badai kegamangan antara jadi berangkat atau tidak sama sekali. Mengapa demikian? Karena temannya yang akan menemani perjalanan ke Tibet tidak bisa berangkat. Dan bukankah tidak mudah melakukan perjalanan solo ke Tibet yang religius, dingin, sekaligus dikekang oleh Cina sebagai tempat wisata? Turis-turis umumnya pasti lebih memilih negara aman seperti negara-negara di Asean, Asia Timur, atau Eropa.

Selain saya diperkaya dari aspek sejarah hubungan Tibet dan Cina, saya pun berkali-kali tertawa dan kerap menahan tangis. Betapa berbahayanya Jalan Yandrok dengan jurang menganga, betapa bisunya Potala Place yang indah namun dikepung tentara, betapa hingarnya Lhasa dengan rel-rel kereta api tertingginya, betapa indahnya Danau Phewa lengkap dengan ketenangan masyarakatnya, dan betapa luhurnya Mount Everest untuk sekadar ditatap. Daniel telah terkena Accute Mountain Syndrome hingga menutup ritsleting saja tidak mampu, ditawari berkali-kali ganja oleh pemuda-pemuda Nepal, berhenti merokok setelah diskusi dengan Juan Carlos Munoz, dan kasmaran dengan dokter Perancis bernama Jeannette Marie-Claude. Oh, ya, jangan lupakan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun menikam di sepanjang jalan seperti, “Siapakah Allah, Daniel?”, “Apa yang kamu cari Daniel dari perjalanan ini Daniel?”, “Apakah kamu bahagia atau kesepian?”

_________________________________

* Guru Bahasa Indonesia sebuah SMP swasta di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di panjiirfan.wordpress.com [Rabu, 22 Mei 2013].