Ulasan Rumah Tanpa Alamat Surat | #2
Damuh Bening
Pembaca, tinggal di Denpasar
Selesai ku baca beberapa minggu lalu, dan berjanji untuk sekadar bebagi rasa tentang buku ini, baiklah, inilah janjiku, kawan…
Ketika selesai membaca buku ini, sempat ku lontarkan pertanyaan pada kawanku itu: ”Terbuat dari apa hatimu Dan? Pun juga Rella? Begitu dingin dan suram kisah2 itu yg terangkum dalam Rumah Tanpa Alamat Surat, bahkan ketika kisah bernuansa cinta pun wujudnya dingin dan beku”
Dijawabnya bahwa semua ditulisnya dengan riang.
Mungkin bukan sesuatu yang penting pertanyaan serupa, apa susahnya membaca dan kemudian setelah itu membiarkan semua itu berlalu tanpa ada upaya untuk mempertanyakannya, apa pentingnya?
Keterusikan rasa, itulah yang membuat pertanyaan itu muncul. Kumpulan cerpen ini berisikan kisah-kisah yang tidak sederhana. Cerpen yang cukup “berat”, sehingga tertangkap betapa suram dan dinginnya hati para tokoh utama yang sedang bercerita, hampir disemua judul, disemua kejadian, disemua gagasan. Bahkan ketika nafas cinta disertakan menjadi bagian, tetap saja berakhir dengan dingin, seolah tiada sedikitpun cahaya dalam hati tokohnya, semuanya bernada dingin.
Dadaku berdetak lebih kencang, jemariku sedikit bergetar, alisku berkerut, selama menjelajahi rangkaian kata dari ribuan kata yang telah tersusun dalam kumpulan cerpen tersebut. Dua penulis, dua pengalaman, dan satu nada: dingin, beku, kelam. Entahlah, rupanya mereka seperti bersepakat merawikan semua itu dalam satu buku. Ah! Terbuat dari apa hatimu kawan?
Terhanyutkan aku? Terbawa emosikah aku? Entahlah, hanya saja selama membacanya selalu muncul pertanyaan yang serupa…”terbuat dari apa hatimu kawan?” Bagaimana bisa kau pilih sudut yang begitu dingin itu? Pesan apa yang ingin kau sampaikan?
Bergidik rasanya membayangkan, bagaimana semua kekerasan hati masing-masing tokohnya jika benar ditulisnya dalam keriangan hati, betapa salutnya diriku membayangkan semua itu. Mereka mampu konsisten dalam suasana yang keras dan beku dari beberapa hati yang dilibatkan dalam kisah-kisah yang terbangun. Mengagumkan.
Rupanya benar bahwa kehidupan selalu seperti mata uang, ada dua sisi yang berlawanan namun ada dalam satu hati. Jika sudah begitu banyak penulis yang memilih sisi kedamaian, keindahan, cinta berpuncak bahagia dan melankolis, maka dua penulis ini sukses berada dan menuliskan sisi lainnya dari keindahan kehiduoan ini. Mungkin agar kita sadar bahwa hidup tak melulu berbunga-bunga.
Kalian mampu dan unggul dalam ruang itu. Kumpulan cerpen ini seperti sebuah pembuktian bahwa masih ada kehidupan yang begitu keras, kelam dan beku diantara senyuman yang indah yang entah itu keindahan asli atau hanya bualan.
Rasanya, jika ada yang ingin menyelami sisi lain dari kebahagiaan dan keceriaan hidup, maka bacalah kumpulan cerpen ini, kita akan diajak berwisata dalam jalur yang menyesakan rasa. Dan mungkin akan menyadari bahwa hiduo itu tidak selamanya indah.
Tabik.
Damuhbening, dalam kebingungan mengungkap rasa 🙂
________________________________
Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di halaman facebook penulis [13 Juni 2016].