Toko Buku Alternatif, Sebuah Sumbangan Bagi Literasi Bangsa

Oleh Andalusia Neneng Permatasari

Siapapun yang menyukai buku…
Siapapun yang suka membaca…
Siapapun yang bercinta dengan sastra…
Siapapun yang doyan kopi…
Siapapun yang menyeruput teh manis…
Siapapun yang gemar diskusi…
Siapapun yang kerap bertukar pikiran…
Siapapun yang senang bertemu…
Siapapun yang bersahabat dengan kesendirian…
Siapapun yang berkawan dengan ketenangan…
Siapapun yang menyukai keindahan…
(Rumah Malka)

Setiap kali menjelang senja, sekelompok orang kerap terlihat berkumpul. Bukan di tempat mewah. Tak ada fasilitas yang serba wah. Hanya bermodal keinginan dan kecintaan. Kita juga tak kan pernah menemui obrolan yang percuma. Meski tetap hangat dan ceria, keseriusan adalah menu utama dalam ruang diskusi mereka.

Itulah suasana yang kerap terlihat di Rumah Malka dan Tobucil. Berkumpul dan berdiskusi merupakan bagian dari kegiatan mereka sehari-hari. Dengan hanya ditemani kopi panas dan makanan kecil, diskusi mereka akan berbuah pemikiran dan karya yang hebat. Ya, semuanya memang berawal dari minat dan hobi yang sama. Hobi dan minat yang berusaha dituangkan dalam wadah yang positif.

Adalah Tobucil yang digagas oleh Tarlen Handayani. Awalnya hanya berupa sarana bagi para pecinta buku, untuk saling mendiskusikan hasil bacaannya. Seiring waktu, Tobucil berusaha menjawab tantangan zaman. Kini di Tobucil ada sejumlah kegiatan. Mulai dari kelas filsafat, kelas menulis, sampai kelas merajut dan melipat kertas (origami). Adapula kelas CDA (Critical Discourse Analysis), yang disiapkan bagi para peminat dan peneliti CDA untuk berbagi pengalaman dan informasi.

Seperti yang tercantum dalam website Tobucil, bahwa sejak awal berdiri, 2 Mei 2001, Tobucil berkomitmen mendukung gerakan literasi di tingkat lokal. Komitmen ini diwujudkan melalui kegiatan yang berbasis pada aktivitas sehari-hari seperti membaca, menulis, apresiasi dan pengembangan hobi. Literasi bagi Tobucil bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, namun juga termasuk kemampuan membaca lingkungan sekitar secara kritis, serta keberanian untuk memahami diri sendiri sebagai individu yang mandiri, memiliki potensi untuk berkembang dan berkontribusi pada perubahan.

”Acara-acaranya asyik. Tidak hanya berkisar buku dan baca saja. Dan suasananya tidak seformal tempat kursus atau les. Hangat dan bersahabat,” ujar Dewi, mahasiswa Fikom Jurnalistik, salah seorang peserta kelas CDA.

Senafas dengan Tobucil, di sebelah timur Kota Bandung, tepatnya di Jl. PHH Mustafa No. 54, berdirilah Malka yang digawangi Daniel Mahendra. Setiap menjelang senja, Malka seolah tak pernah sepi dari kerumunan orang. Baik yang sekadar melihat-lihat koleksi toko bukunya, sampai yang mengikuti setiap kegiatan di Malka. “Saat menjelang senja, biasanya orang-orang telah lepas dari kesibukan dan rutinitasnya,”jawab Daniel saat ditanya mengenai jadwal acara Malka. “Kalau pagi, cukuplah hanya toko buku dan perpustakaan saja,” jelasnya lagi.

Tobucil dan Malka dikenal sebagai toko buku alternatif. Biasa disebut toko buku alternatif karena tidak hanya berorientasi pada profit semata. “Pelayanan di toko buku alternatif harus dapat memberikan alternatif-alternatif yang lain ketika buku yang dicari konsumen tidak ada. Jadi, yang menjaganya pun harus tahu betul tentang masalah perbukuan,” ujar Daniel.

Memang, pada awalnya Tobucil ataupun Malka bukanlah berupa toko buku. Toko buku ini hanya sekedar usaha agar komunitas dan kegiatan yang ada dapat bertahan. “Komersil sekaligus tetap idealis,” seloroh Daniel mengenai toko alternatifnya.

Di Bandung, memang telah banyak tumbuh toko buku-toko buku alternatif, buah kreativitas anak muda yang peduli terhadap budaya literat Indonesia. “Sebenarnya di Indonesia ini bukan minat baca yang rendah, tapi daya beli buku yang rendah,” jelas Daniel mengenai kegelisahannya terhadap budaya baca di Indonesia. Karena kegelisahan dan kepedulian inilah, sekelompok anak muda ini berusaha membuat sebuah sarana yang tidak jauh dari hobi mereka. Menurut Daniel, pada awalnya semua kegiatannya dirintis untuk menyalurkan hobi, hingga hobi itu bisa berguna untuk yang lain.

Kehadiran toko-toko buku alternatif ini disambut baik, tidak hanya oleh para pecinta buku dan sastra, tetapi oleh sebagian masyarakat pada umumnya. Indah, siswi SMPN 8 Bandung, mengaku kehadiran toko buku alternatif seperti Tobucil ataupun Malka, memudahkannya mencari buku yang dibutuhkannya. Kalaupun tidak menemukan buku yang dicari, tak jarang ia diberi alternatif lain oleh para pengurus toko buku tersebut. ”Lagipula enak, bisa dikasih diskon. Kan lumayan daripada di toko-toko buku besar…” ujar Indah lagi.

Lain halnya dengan Indah, Khania salah seorang anggota komunitas Malka, mengatakan bahwa kehadiran komunitas dan toko buku alternatif memudahkannya mendapatkan info mengenai hobi menulisnya. ”Acara-acara sastra, itu yang paling saya tunggu. Karena ditangani oleh orang-orang yang memang punya kecintaan dan ketertarikan pada sastra, maka acara yang tersaji pun memiliki konsep yang jelas,” begitu Khania menjelaskan.

Seperti yang dikatakan Khania, toko buku alternatif seperti Malka dan Tobucil memang kerap dijadikan tempat untuk acara-acara sastra. ”Sastra dan kesukaan membaca adalah sesuatu yang linier,” ujar Hedi salah seorang yang aktif di Rumah Penulisan Malka. Tak jarang launching buku terbaru para penulis ternama diadakan di tempat-tempat seperti ini, misalnya saat Dewi Lestari me-launching buku terbarunya, yaitu sekuel Supernova ”Petir” di Rumah Malka.

Hal seperti ini memberikan keuntungan baik kepada penulis buku tersebut, maupun toko buku tempat acara berlangsung. Hal ini penting bagi publikasi toko buku bersangkutan. ”Saat Malka baru berdiri, disadari bahwa kita butuh publikasi. Maka acara yang diselenggarakan bisa dijadikan langkah awal untuk publikasi. Jadi, ketika kawan-kawan media meliput acara yang diselenggarakan, secara tidak langsung Malka pun akan terliput,” jelas Daniel saat ditemui di tempat kerjanya di PT Inti, Jalan Moch. Toha Bandung.

Malka dan Tobucil mungkin hanya sebagian kecil dari mutiara yang tumbuh di tengah nihilnya identitas anak muda bangsa ini. Ketika banyak anak muda asyik dengan pergaulan dan kehidupan ala baratnya, masih ada sebagian anak muda cerdas yang berusaha memberi baktinya kepada bangsa. Sebuah sarana pendidikan non formal yang mampu membangun energi kreativitas dari dalam diri setiap orang.

Sumber: crayoners.wordpress.com