Perjalanan ke Atap Dunia – Daniel Mahendra

Ulasan Perjalanan ke Atap Dunia | #50

Oleh Petronela Putri

Blurb:

Bacalah tentang Cina dengan segenap kedigdayaan ekonomi dan budayanya. Tetapi tak baik melupakan Tibet dan Nepal karena keduanya merupakan sumber pengetahuan terpenting tentang alam, manusia, spiritualitas, politik, seni, dan budaya.

Bagi yang merasa mustahil ke sana, nikmatilah buku liputan perjalanan ini karena memang menyediakan eksotisme kelas tinggi. Bagi yang ingin segera ke sana, baca dan bawalah buku ini sebagai karib perjalanan.

Royalti buku ini oleh sang penulisnya didedikasikan untuk amal kegiatan Rumah Dunia, sebuah komunitas belajar sastra, jurnalistik, teater, seni rupa, seni suara, juga film yang dibidani oleh Gol A Gong dan Tias Tatanka di kota Serang, Banten.

Review:

Belum lama ini, gue pernah nulis review mengenai novel Niskala. Nah, barangkali bisa dibilang, ini versi non fiksinya. Kalau Niskala punya beberapa unsur fiksi di dalamnya, maka Perjalanan ke Atap Dunia ini adalah murni catatan si penulis ketika traveling ke Tibet, Nepal dan Cina pada tahun 2011 lalu.

Catatan ini dimulai dengan cerita mengenai impian seorang Daniel Mahendra untuk menginjakkan kakinya di negeri atap dunia, karena semasa kecil pernah membaca Tintin di Tibet. Kemudian, pembaca akan dibawa masuk ke dalam cerita, oh, ralat.. maksud gue, ke dalam perjuangannya meraih impian tersebut. Ia menceritakan semua yang ia persiapkan, alami, hadapi, dari awal rencana keberangkatan, hingga tiba di Tibet, Nepal, Cina dan pulang kembali ke Indonesia.

Gue cukup suka sama buku ini karena gaya berceritanya seperti menulis novel. Seenggaknya, itu nilai plus yang membuat gue nggak langsung menutup buku dengan keki –seperti yang biasa gue lakukan pada buku traveling lain (yang mayoritas kebaca seperti brosur perjalanan dan bikin ngantuk). Gue orang yang nggak begitu suka baca buku traveling, tapi gue baru saja menyelesaikan buku ini dengan sukses. Itu salah satu keajaiban dan pertanda bukunya memang enak dibaca. Buku ini lebih terbaca seperti novel dengan PoV 1, atau seperti buku harian yang ditulis dengan begitu jujur.

Tapi, ada sedikit kekurangan pada bagian-bagian awal perjalanan menuju Tibet. Ada kalimat yang diulang-ulang dan itu cukup mengganggu. Rasa-rasanya, nggak perlu memulai tiga bab sekaligus dengan kalimat yang serupa, atau mencantumkan kalimat yang sama dalam beberapa halaman yang jedanya dekat sekali. Agak bosan ketika mendapati kalimat yang sama untuk kedua, bahkan ketiga kalinya.

Misalnya ini,

“Aku seperti Tom Hanks di film The Terminal yang kelelahan di bandara besar sebuah negara asing.”

Gue menemukannya di halaman 68, kemudian menemukannya lagi di halaman 71. Kedua kali, gue mulai merasa this is annoying. Mulai mengganggu. Kemudian, ternyata gue menemukan kalimat yang sama di halaman 75. Gue ingin kalimat ini segera berakhir. Dan ternyata, di halaman 83 dituliskan, “Nah, Ta, malam ini aku sudah tidak seperti Tom Hanks yang tersesat dan kelelahan di bandara besar di sebuah negara asing.”

Alhamdulillah, ikut lega.

Nggak nyasar lagi, dan kalimatnya nggak akan diulang lagi. Hahaha.

Atau seperti kalimat kedua berikut ini.

“Pagi hari tak ada kokok ayam atau suara ceceritan burung seperti biasanya di rumah. Aku lupa, rupanya ini di sebuah bandara.” (hal. 72)

Untuk kemudian diulang lagi pada awal bab berikutnya, “Pagi hari tak ada kokok ayam atau suara ceceritan burung seperti biasanya di rumah. Aku lupa, rupanya ini di sebuah hostel murah…” (hal. 84)

Dua kalimat serupa tapi hanya berbeda setting tempat. Untuk apa? Lebih menyenangkan jika ditulis dengan kalimat yang berbeda. Pengulangan kalimat membuat pembaca bosan sendiri, atau bahkan bisa sampai mengabsen berapa kali kalimat itu muncul (seperti yang gue lakukan sekarang).

Dan ketiga kalinya diulang di halaman 99.

“Pagi hari tak ada kokok ayam atau suara ceceritan burung seperti biasanya di rumah. Aku lupa, rupanya ini di sebuah kereta menuju Tibet.”

Selama traveling, pasti ada berkali-kali pagi yang terlewatkan di tempat asing. Tapi nggak mungkin setiap kali bangun pagi, ia lupa bahwa ia tidak di rumah. Menurut gue, sih 🙂 Makanya kalimat seperti itu malah aneh kalau diulang terus-menerus.

Sisanya, barangkali baik-baik saja. Buku ini menarik, gue ikut tenggelam dalam kebersamaann si penulis bersama teman-teman barunya; Juan dari Colombia, Tan dan saudaranya Chen, serta Eddy yang dikenalnya sepintas, dari Malaysia, atau seperti Jeanne dari Perancis yang sempat bikin cinlok selama beberapa saat.

Oh, sepertinya sebuah perjalanan selalu menyenangkan dan membawa pengalaman baru. Buktinya, banyak quotes keren yang gue temukan di buku ini.

  • Kalau kamu nggak pernah merencanakan pergi, kapan sampainya? – hal. 24
  • Semua keinginan dan harapan takkan pernah terwujud tanpa dimulai dengan sebuah tindakan. Betapapun kecilnya tindakan itu. Betapapun ringan langkah tersebut. Bukankah seribu langkah tetap dimulai dengan langkah pertama? – hal. 30
  • Ternyata kita bisa bekerja untuk mewujudkan impian kita; melakukan tindakan besar terhadap impian kita. Bukan melakukan sesuatu yang selama ini kita kerjakan secara keseharian, monoton dan terus-menerus. Bekerja adalah cinta yang mengejawantah, kata Kahlil Gibran. Dan aku setuju. – hal. 33
  • A journey of a thousand miles begins with a single step – Lao Tzu, hal. 63
  • Aku seorang diri, dari negara yang ribuan kilometer jauhnya. Ketika berada di posisi minoritas, kita pun belajar mengenal siapa diri kita di antara yang mayoritas. Bukankah begitu? – hal. 90
  • “Segi paling penting dalam perjalanan adalah bahwa kita mampu mempelajari diri kita sendiri lebih banyak dengan melihat orang-orang lain. Kita melihat tanah air kita dengan lebih jelas bila kita jauh daripadanya dibanding ketika kita berada di dalamnya.” – Nawal El Saadawi, My Travel Around The World, hal. 91
  • Ketika keinginan telah tercapai dan kita telah berada di sana, semua menjadi selesai dan berhenti. Terhadang, proses untuk mencapai sesuatu acap kali jauh lebih bermakna ketimbang tujuan itu sendiri. – hal. 115
  • “Twenty years from now, you will be more disappointed by the things you didn’t do than by the ones you did do. So, throw off the bowlines. Sail away from the save harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover.” – Mark Twain, hal. 169
  • “Ketika kita konsekuen dengan keputusan kita, segalanya bisa kalo kita mau. Yang kita butuhkan hanya keberanian.” – Juan. hal. 208
  • “Aku hanya sekolah. Karena dengan belajar kita bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang belum terkuak. Aku nggak lebih pintar dari kamu. Aku nggak bisa nulis novel.” – Jean, hal. 306

Selain beberapa quotes itu, gue paling suka scene ketika si penulis mendapat pencerahan dari seorang lelaki penjaga warung kopi di terminal Pokhara, Nepal. Si penjaga warung bertanya, “apa yang kamu cari, Daniel?” dan si penulis kebingungan, bahkan tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan sederhana itu. Lalu, kalimat berikutnya yang paling gue suka. Ketika si lelaki penjaga warung tersenyum, “Masa muda, Daniel. Masa muda. Memang seharusnya begitu. Pergilah ke mana pun kakimu melangkah. Itu akan menempamu. Memperkaya pengalaman batinmu. Tetapi pada saatya tiba, jadilah laki-laki yang merasa cukup dengan keluarga di rumah.”(hal. 319)

Nah, maka pada akhirnya, 3 dari 5 bintang untuk Perjalanan ke Atap Dunia. Secara general,gue suka. Buat yang suka traveling, coba bacalah buku ini. Kalau gue yang nggak begitu suka baca traveling aja bisa senang dengan gaya bercerita si penulis, gue yakin kalian juga akan suka.

_________________________________

* Penulis, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di petronelaputribooks.wordpress.com [Juli 2014].