Alaya, Muara Kembalinya Asa

Ulasan Alaya | #07

Ecka Pramita
Jurnalis, penulis

“Anda harus melakukan sesuatu yang Anda pikir tak bisa Anda lakukan.” Eleanor Roosevelt

Pembuka di bab Revolvere tiba-tiba menyentil saya saat larut membaca buku bertajuk Alaya – Cerita Dari Negeri Atap Dunia karya Daniel Mahendra yang sengaja saya bawa tiap kali melakukan perjalanan di kereta. Kutipannya memang familiar bahkan klise, tetapi entah mengapa karena menjadi penguat catatan perjalanan penulis membuat saya berpikir spontan: Kalau hanya dipikir saja, kapan mau dilakukan.

Lantas saya coba buka kembali laci harapan, ada beberapa tempat tujuan yang selama ini diendapkan tanpa pernah ditengok apalagi sering disebut agar menjelma jadi kenyataan. Barangkali teman-teman juga demikian, jika punya resolusi ke tempat yang ingin sekali kalian datangi bisa saja setelah membaca buku ini tiba-tiba keinginan itu tak lagi ingin disimpan di laci.

Ya, buku yang disusun oleh penulis yang sudah makan asam garam sebagai travelnarrative ini bukan sekadar berisi catatan perjalanan, saya menamainya dengan sebutan istimewa bahkan sejak pertama kali membuka. Bagaimana perjuangan penulis menapaki negeri atap dunia, Tibet yang telah menjadi mimpinya sedari lama. Berkali-kali ia membaca komik Tintin di Tibet, menonton film Seven Years in Tibet, dan tentu saja kerap bertanya mungkinkah ia pergi ke Tibet.

Nyatanya, tak semudah kita beli tiket kereta api tujuan Bandung, pergi ke Tibet sama saja dengan memulai perjuangan baru, pasang surut semangat, niat yang sempat berubah arah lantaran Tibet sempat ditutup bagi warga asing. Belum lagi ditambah kawannya, Ijul yang rencana akan pergi bersama-sama, tetiba tak bisa ikut. Selesai sampai di situ, oh tentu tidak urusan teknis tiket perjalanan sangat menguras emosi, bacanya benar-benar ikut gemas.

Sejurus kemudian perasaan gemas pun berubah jadi semringah untuk mengikuti perjalanan penulis mulai dari Thailand, Cina, Tibet hingga Nepal. Serupa dengan Gola Gong yang memberi komentar untuk buku ini betapa ia, begitu pula saya larut tenggelam seolah merasakan bab demi bab. Mulai dari menaiki kereta api sepanjang 3.360 kilometer dengan jarak tempuh 44 jam menuju ketinggian di atas 3.000 mdpl, merasakan stasiun tertinggi di dunia di Tang Gu La. Bercengkrama seru dengan teman seperjalanan yang penulis temui, mulai dari tipe traveler pakai koper hingga backpacker sepertinya.

Lalu merasakan nuansa spiritualitas saat melantunkan doa di masjid Lhasa, berkeliling mencari sarapan unik, mengunjungi toko buku tapi lagi-lagi gemas karena tak bisa membawa pulang. Dan, tentu saja perjalanan belum lengkap jika tak berbalut romansa. Tepat sekali, penulis kesandung cinta lokasi dengan perempuan bernama Jeanne saat di Pokhara. Gadis asal Prancis yang menemaninya bersampan di telaga menjemput senja, nongkrong di kafe mungil seberang Danau Phewa, dan saling memeluk saat berpisah di Lumbini.

Ditambah untaian personal surat penulis untuk putranya, Sekala Sequoia Mahendra. Buku ini dirawi memang untuk sang buah hati yang kelak akan banyak mendapat hikmat dari membaca buku ayahnya. Bayangkan, bagaimana tidak seperti menaiki rollercoaster manakala sedang seru-serunya tiba-tiba ada jalinan kisah yang menyentuh dan penuh haru. Siapa, sih, yang bisa diam saja jika disenggol dengan kisah orang tua dengan anak, baik itu penulis kepada ayah dan anaknya.

Bagi saya, tak mudah menuliskan catatan perjalanan –apalagi setebal 413 halaman- yang bisa mengajak pembaca seperti benar-benar ingin ikut jadi pejalan atau bahkan ikut merasakan petualangan. Ditingkahi dengan gaya bertutur penulis yang detail, renyah, mengalir, jenaka, hingga reflektif.

Secara keseluruhan, buku ini berjodoh dengan kalian yang rindu bertualang, mengelilingi dunia, bahkan mungkin ke tujuan yang sama ke atap dunia. Nyaris tak saya temukan kekurangan yang signifikan dalam buku yang memang dibuat tak ubahnya seperti kolase nostalgia ini. Sebab, catatan perjalanan sifatnya memang personal, punya kisahnya masing-masing yang tentu saja tak akan sama jika kita juga menuliskannya.

Sebentar, jangan keburu semangat dulu mau bikin visa dan pesan tiket, sebab barangkali saja kamu akan tergugu- sama seperti saya- saat membaca bagian penulis bertemu dengan pria paruh baya di sebuah warung kopi di Nepal. Memangnya dia bilang apa? Lengkapnya lebih asyik bila kalian membacanya sendiri, tapi saya akan spill sedikit, deh.

“Apa yang kamu cari, Daniel?” Penulis sampai tidak bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu, mungkin juga dengan kalian.

Yang jelas Alaya, diambil dari bahasa Sanskerta berarti rumah, tak hanya menarasikan ulang momen perjalanan penulis yang sangat kaya, tetapi juga mengajak pembaca sejenak merenung. Seperti yang disampaikan penulis, tempat tinggal ialah tempat di mana segalanya berangkat dan pulang. Tempat kita melihat sejarah kita di masa lalu untuk menentukan hendak ke mana ke masa depan. Maka kelak, setiap kamu pergi selalu pulanglah pada hatimu.

Akh, rasanya pas sekali jika ulasan ini diakhiri dengan pembuka pada bab Stasiun dari Putu Wijaya; “Kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tak putus-putusnya.”

Palmerah, 3 Desember 2022.

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di opinia.id [4 Desember 2022].