Epitaph, Sebuah Novel untuk Kisah yang Tak Terwartakan

Ulasan Epitaph | #30

Oleh Dhenok Hastuti

Hal konyol yang kulakukan saat mendapati judul novel ini adalah mencari tahu arti Epitaph. Sedari awal mengenal istilah ini sebagai judul lagu dari King Crimson, aku tak terpikir untuk tahu artinya. Tahu novel ini sendiri baru November 2021, dan tak sengaja menemukannya pada beberapa bulan lalu.

Epitaph mengisahkan romantika percintaan Laras dan Haikal, dengan beberapa sudut pandang pencerita.

Laras, mahasiswi IKJ. Bersama dua sahabatnya, Birhi dan Tedi, Laras terlibat dalam pengambilan gambar untuk film dokumenter yang berlokasi di Pegunungan Sibayak, Medan, pada Agustus 1994. Perjalanan yang dirancang bakal penuh tantangan dan proses menyenangkan itu ternyata berbuntut peristiwa tragis. Heli yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Kandas di wilayah antah berantah di pegunungan Sumatera Utara tersebut. Tak terlacak, tak tertemukan.

Kabar yang harusnya diwartakan oleh media massa itu nyaris tak terdengar bunyinya. Apa pasal? Karena helikopter yang mereka tumpangi adalah milik Angkatan Darat. Muncul dalam pemberitaan, namun tak dijelaskan adanya warga sipil yang ikut menjadi korban. Terlebih fakta bahwa warga sipil tersebut menyewa perangkat militer, yang sebetulnya tak ada izinnya.

Pada April 1996, dia tahun setelah peristiwa naas tersebut, puing heli beserta kerangka para korban ditemukan. Seperti halnya yang terjadi sebelumnya, Angkatan Darat hanya mengabarkan ditemukannya kerangka dua korban yang adalah awak heli. Tak disinggung sama sekali perihal kerangka warga sipil. Bahkan pihak keluarga hanya diperbolehkan mengambil kerangka asal memenuhi persyaratan, yakni, tak boleh diketahui media massa, tak ada seremoni, dan hanya boleh dikemas dalam peti; harus dibawa menggunakan tas yang bisa masuk kabin.

Sebuah kisah tragis, yang diramu dalam cerita cinta yang manis. Epitaph berangkat dari kejadian nyata yang dialami penulis, yang tampaknya menemukan cara pewartaan lebih tepat melalui novel.

Judul: Epitaph
Penulis: Daniel Mahendra
Penerbit: Kaki Langit, Cetakan 1, 2009
Tebal: 366 halaman

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di Instagram [23 Desember 2022].